Yoo.. Hindari Perilaku Korup...!!

Jumat, 13 Desember 2013

MUNGKINKAH GBHN KEMBALI DIBERLAKUKAN?

Kalau kita baca judul di atas, jawabanya mudah; bisa saja karena di dunia selalu ada celah dan banyak kemungkinan!
Jawaban memang simpel, tetapi untuk mewujudkan kembali tidak sesimpel jawaban di atas, karena berbagai aspek harus dikaji terlebih dahulu. Model GBHN yang baru tidak boleh seperti GBHN pendahulunya.

GBHN yang baru harus lebih dinamis dan mengakomodir kepentingan hidup bangsa secara komprehenship. Tidak untuk segelintir orang, golongan atau bahkan menguntungkan partai tertentu saja.

Pembentukan, pemberlakuan dan pengawasannya harus lebih transparan. GBHN sebagai pedoman arah pembangunan nasional menjadi pedoman kerja bagi eksekutif selaku pelaksana maupun DPR-DPD-MPR sebagai pengawas/pengendali. Wacana pemberlakuan kembali GBHN telah sering muncul dan dibicarakan di forum-forum resmi, baik oleh akademisi, politisi, pimpinan lembaga negara, mahasiswa ilmu politik dan masyarakat umum yang peduli dengan tata kelola kehidupan negara tercinta ini.

Dibawah ini dapat kita simak berbagai pendapat tentang pemberlakuan kembali GBHN. 

Guru Besar UGM Usul GBHN Kembali Dihidupkan 

Penghapusan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menentukan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dinilai sebagai kesalahan fatal. Jika kesalahan tersebut tidak segera dikoreksi, cita-cita bangsa menjadi ekonomi ketiga Asia diyakini hanya sebatas mimpi semata.

Sejumlah pakar yang tergabung dalam Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) mengusulkan agar GBHN dihidupkan kembali. Sebab, tanpa pedoman jangka panjang, pembangunan Indonesia sulit diharapkan dapat berkesinambungan.

Ketua HIPIIS yang juga Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Dr. Sofian Effendi meminta agar penghapusan GBHN dikoreksi kembali. Karena, dia menilai, GBHN mampu menjadi jalan keluar terhadap ancaman di masa yang akan datang.

"Jika tidak dikoreksi, Indonesia akan menghadapi ancaman yang sangat besar yakni masuk dalam jebakan negara pendapatan menengah", ujar dia seusai mengikuti Seminar dan Kongres ke-9 organisasi tersebut di Solo, Jawa Tengah, Rabu (23/10/2013).

Sofian mengaku usulan ini sudah disampaikan secara lisan kepada Ketua MPR, Sidarto Danusubroto yang hadir sebagai pembicara kunci pada seminar itu. "Saya tadi sudah sampaikan ke pak Sidarto. Dan beliau merespon positif dan meminta agar diajukan secara tertulis dan resmi kepada MPR RI", jelasnya.

Menurut Sofian, arahan pembangunan yang ditentukan presiden melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tidak akan cukup untuk membawa Indonesia maju. Karena RPJP terbatas pada masa jabatan presiden yang hanya bertahan lima hingga 10 tahun. Padahal rencana pembangunan membutuhkan waktu antara 20 hingga 30 tahun.

"Dibutuhkan kesinambungan, jika tidak diikat oleh otoritas yang lebih tinggi maka akan menjadi kesalahan yang fatal. Apalagi saat ini masa jabatan presiden, gubernur dan bupati atau wali kota tidak sama, Indonesia bukan lagi menjadi negara kesatuan tetapi sudah menjadi multi goverment", jelas dia.

Hal yang lebih gawat lagi, lanjut Sofian, di dalam RPJP dan RPJM tidak ditemukan nilai-nilai keadilan sosial. Akibatnya, pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat justru menciptakan kesenjangan sosial dan daerah.

Sementara itu, Ketua MPR RI, Sidarto Danusubroto, mengaku sudah mendengar usulan HIPIIS tersebut. Baginya, hal itu merupakan sumbangan pemikiran yang sangat berharga, karena berasal dari para pakar dan akademisi.

"Itu usulan yang bagus. Namun nasibnya tergantung pada sikap dan keputusan pemerintahan mendatang," pungkasnya (Harian Merdeka, 23/10/2013). 

GBHN Dirindukan 

Setelah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihilangkan, ternyata pembangunan kita kehilangan arah. Kini banyak yang ingin hidupkan GBHN. Dulu dihilangkan, karena GBHN diidentikkan dengan rekayasa Orde Baru, padahal itu murni karya pendiri bangsa.

“Saat terjadi gerakan reformasi, amandemen menghilangkan GBHN, yang rupanya dikira sebagai rekayasa Orde Baru. Sama sekali bukan, GBHN itu karya otentik para pendiri bangsa ini, makanya jangan dihilangkan”, kata pengamat dan pemikir kenegaraan dari Reform Institute Yudi Latif, dalam seminar ‘Reformasi Model GBHN dan Kepemimpinan Nasional’ di MPR, Selasa (3/12/2013).

Acara dihadiri oleh Ketua MPR Sidarto Danusubroto, Ketua FPD di MPR Jafar Hapsah, Ketua FPG MPR Rully Choirul Azwar, pengamat politik Sukardi Rinakit, pemikir kenegaraan Yudi Latief, dan Refli Harun, Rektor Universitas Pancasila Universitas Pancasila Ade Saptomo.

Yudi menyatakan, GBHN merupakan hasil pemikiran pendiri bangsa Indonesia, seperti termuat dalam UUD 1945 sebelum amandemen (perubahan), yakni tertera dalam Bab II pasal 3. Pasal itu menyebutkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis Besar Daripada Haluan Negara.

Setelah amandemen, ujarnya, GBHN diganti dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Tapi, hal ini tidak nyambung, karena dari kepentingannya sudah berbeda. “Kalau RPJM itu kan lebih banyak kepentingan Presiden, karena dia yang membuat. Kalau GBHN kan memang untuk rakyat dan negara”, katanya.

Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto mendukung dikembalikannya GBHN melalui amandemen UUD 1945 agar arah pembangunan lima tahunan berkelanjutan. Apalagi, kalau RPJM berdasarkan kepada visi dan misi presiden terpilih dalam pemilihan umum, ganti presiden pasti ganti.

Sehingga pembangunan jangka panjang tidak bisa berkesinambungan, karena setiap lima tahun terjadi pergantian presiden,” ujarnya.

Sidarto mengatakan, bahwa visi dan misi presiden dan wapres sarat dengan pertimbangan politik, sehingga sulit menentukan ukuran apakah visi dan misi presiden telah on the track sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang yang telah ditetapkan tersebut.

Dengan demikian bila GBHN ini dikaitkan dengan proses Pilpres secara langsung saat ini, maka program pembangunan ini masih sesuai, karena para kandidat presiden dan wapres dapat merancang visi dan misi mereka dengan tetap mendasarkan kepada rumusan GBHN. Dengan cara ini dapat diharapkan program pembangunan jangka panjang dapat diselenggarakan secara berkesinambungan, meski presiden atau wapres akan berganti-ganti selama 25 tahun (Pos kota, 4/12/213). 

Berlakukan GBHN Itu Baik 

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah, Maluku Utara (UMMU), Irmon Machmud, menilai pemberlakuan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada masa mendatang itu baik.

Pembangunan dan arah yang ingin dituju Indonesia sebagai bangsa dan negara tidak akan tergantung pada pergantian kepresidenan.

"Tidak ada ruginya memberlakukan kembali GBHN, asalkan dalam pelaksanaannya tidak seperti GBHN pada masa Orde Baru", katanya, di Ternate.

Menurut ketua Pusat Studi Politik UMMU itu, salah satu sisi positif dari pemberlakuan kembali GBHN adalah akan menciptakan kesinambungan pembangunan nasional walaupun terjadi pergantian presiden.

"Itu karena setiap presiden yang memimpin Indonesia akan selalu mengacu pada GBHN itu. Jadi, saya justru melihat banyak sisi positifnya bagi kepentingan bangsa Indonesia", katanya.

Sejak reformasi, GBHN tidak diberlakukan lagi, sehingga setiap presiden yang memimpin Indonesia dalam melaksanakan pembangunan lebih menekankan pada selera presiden bersangkutan. "Akhirnya, setiap pergantian presiden terkesan akan terjadi perubahan mendasar kebijakan pembangunan nasional", katanya.

Menurut dia, konsep dan kebijakan pembangunan nasional yang dilakukan oleh masing-masing presiden lebih didasarkan pada hasil pemikiran dari orang-orang kepercayaan presiden. Bahkan, bisa jadi dipengaruhi pula oleh titipan dari pihak asing yang memiliki kepentingan dengan Indonesia. Indikasi ke arah itu dapat dilihat dari adanya berbagai kebijakan dari presiden setelah reformasi yang terkesan menguntungkan pihak asing, misalnya dalam perdagangan dan pengelolaan tambang migas dan tambang mineral lainnya di negara ini.

"Kalau ada GBHN maka hal seperti itu bisa dihindari karena dalam setiap melaksanakan kebijakan pembangunan nasional presiden harus memperhatikan arah dari GBHN yang sudah pasti dalam penyusunannya akan lebih mengutamakan kepentingan bangsa Indonesia", katanya.

Menurut Irmon, kalau GBHN diberlakukan kembali maka polanya harus diatur secermat mungkin agar tidak sampai membelenggu presiden, khususnya dalam melaksanakan berbagai program yang pernah dijanjikan kepada masyarakat saat kampaye pemilihan presiden.

Ditanya apa lembaga yang menyusun GBHN itu, ia mengatakan, adalah MPR yang berhak untuk itu, namun posisinya bukan sebagai pemberi mandat seperti pada masa Orde Baru, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan MPR.

"Persoalan apakah MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara atau seperti sekarang, itu tergantung kesepakatan semua pihak. Lebih penting adalah jika memberlakukan kembali GBHN harus ada undang-undang yang mengaturnya", kata Machmud (Antara, 18/11/2013). 

Irman Gusman Setuju Adanya GBHN Kembali 

Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Irman Gusman setuju dengan usulan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai dasar penentu arah pembangunan bangsa, namun tak perlu menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.

"Saya setuju saja adanya GBHN kembali, itu tidak ada persolan tetapi tidak perlu MPR harus ditingkatkan statusnya menjadi lembaga tertinggi negara", kata Ketua DPD RI Irman Gusman usai pelantikan Sekjen DPD RI Sudarsono di Kompleks Senayan Jakarta. Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto dilantik sebagai Sekjen DPD RI menggantikan Siti Nurbaya yang sejak 25 Januari 2013 telah mengundurkan diri.

Lebih lanjut Irman menjelaskan, saat ini dengan FJPP yang dibuat Bappenas dirasakan tidak memadai karena begitu ganti pemerintahan maka akan berganti pula.

"Yang penting sekarang ini supremasi Konstitusi bukan supremasi MPR", kata Irman. MPR tetap saja sebagai lembaga tinggi negara dengan tambahan satu tugas lagi yakni; membuat GBHN. "Jadi MPR ada tambahan tugas membuat GBHN, sehingga siapapun presidennya, dia mengacu kepada GBHN tersebut", kata Irman (Antara, 18/11/2013). 

Wiranto: GBHN Harus Kembali Diberlakukan 

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto menyatakan Indonesia perlu memberlakukan kembali konsep Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) guna memperbaiki kualitas bernegara. "GBHN harus kembali diberlakukan, sebab tidak adil kalau digantikan konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat, dikontrol dan dinilai oleh pemerintah sendiri", kata Wiranto dalam Kongres Kebangsaan Forum Pemimpin Redaksi bertajuk "Menggagas Kembali Haluan Negara Menuju 100 Tahun Kemerdekaan Indonesia" di Jakarta, Selasa, (10/12/2013).

Wiranto menegaskan bahwa penerapan konsep semacam RPJP tidak memenuhi rasa keadilan dan terutama kesesuaian dengan prinsip demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. "Sebab dalam merumuskan kebijakan pemerintah harus menyerap aspirasi dan ide masyarakat, bukan hanya pemikiran yang ada di kepala mereka saja," katanya.

"Termasuk juga presiden harus menjalankan mandat rakyat. Kalau presiden merencanakan sendiri, melaksanakan sendiri, mengawasi sendiri, mengontrol sendiri dan menilai sendiri tentu itu tidak memenuhi prinsip keadilan", katanya.

Menurut Wiranto, dalam rangka menerapkan kembali GBHN tentu ada banyak pilihan jalan yang bisa ditempuh. "Nanti bisa dimodifikasi atau dikembangkan lagi", ujarnya.

Ia menekankan bahwa pemerintahan, sebagai pengemban mandat rakyat, harus berlangsung dengan menerapkan kebijakan yang berdasar pada opini dan kepentingan publik.

Sementara itu, ia juga menyarankan peninjauan kembali model pemilihan satu kepala satu suara yang saat ini diselenggarakan secara langsung. Sebab, dalam proses kehidupan berdemokrasi terdapat prasyarat zona ekonomi yang harus dipenuhi demi optimalisasi kualitasnya.

"Kalau Indonesia sudah bisa mencapai pendapatan per kapita 6.600 dolar AS, silakan. Nyatanya kan belum, jangan berharap penerapan demokrasi bisa berjalan baik", ujarnya. "Karena di bawah itu, masyarakat masih memikirkan perut dan sulit menjalankan demokrasi yang berkualitas. Masih tersandera dengan urusan-urusan pemenuhan kebutuhan hidup", kata Wiranto melanjutkan.

Ia juga berharap, dirumuskan sebuah produk Undang-Undang yang dapat mewajibkan partai-partai politik melaksanakan redefinisi, reorientasi dan reaktualisasi misi mereka.

Kongres Kebangsaan Forum Pemred mengambil tajuk "Menggagas Kembali Haluan Negara Menuju 100 Tahun Kemerdekaan Indonesia" berlangsung di Hotel Bidakara Jakarta pada 10-11 Desember 2013.

Kongres tersebut menghadirkan sejumlah pimpinan lembaga negara sebagai pembicara seperti Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua DPD RI Irman Gusman, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva.

Selain itu dijadwalkan pula hadir yaitu perwakilan dari partai-partai politik peserta Pemilu 2014, Komite Ekonomi Nasional, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM serta beberapa BUMN (Antara, 10/12/2013).

Harapan yang paling hakiki bagi rakyat Indonesia ialah kehidupan berbangsa yang aman, tentram, sejahtera, bersatu dan mempunyai harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia.

Kang Wirya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar