Yoo.. Hindari Perilaku Korup...!!

Jumat, 11 Oktober 2013

TUMBAL ZAMAN BEJAT


Djoko Suud Sukahar
Bencana menggila. Bunuh diri, tindak asusila, korupsi, dan kecelakaan terus terjadi. Orang bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi. Benarkah ini seleksi metafisis hingga datangnya pemimpin baru? Dan adakah untuk menyikapinya harus seperti kata Ronggowarsito, berbaik-baiklah hidup jika tidak ingin menjadi tumbal? Ini era rawan bagi yang menyimpang. Dan asusila, kecelakaan, serta korupsi ini baru mereda sampai pemilu tiba?

Tahun politik sekarang ini ternyata menyayat hati. Keresahan menggelora. Kecelakaan, selingkuh, perkosaan dan naiknya pejabat yang diragukan kejujurannya meninggi. Sedang negara melakukan impor menggila. Masa ini seperti gambaran Jangka Jayabaya, sedang terjadi kekosongan pemimpin. Negara kehilangan figur yang eling (ingat) dan waspada. Minim manusia yang berjuang agar dirinya baik, apalagi berkeinginan agar negara jaya.

Jika menyimak peristiwa di beberapa pekan ini, petaka dan prahara memang mengerikan. Datang bertubi-tubi. Di jalan raya, rombongan mati tak terkira jumlahnya. Ada pengantar jamaah haji yang nahas. Ada anak-anak nabrak dengan korban banyak. Ada truk rem blong nyasak apa saja yang ada di depannya. Bus oleng dengan puluhan penumpang masuk jurang membawa jerit tangis sebelum berpindah ke alam barzah. Dan tangis serta airmata itu sulit ditakar akibat itu semua.

Di chanel kriminal dan infotainment, aksi tipu-tipu dengan janji nikah tak terbilang lagi. Perempuan pamer selingkuh dan ternoda saban hari memenuhi layar kaca dan dunia maya. Tidak malu dan tidak tabu. Malah jalur itu dipakai sebagai jalan menuju popularitas. Mirip woro-woro, agar yang lain tahu tabiat jeleknya bisa ditransaksikan. Itu supaya dapat job sesuai bidangnya. Atau job lain yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Perempuan-perempuan itu telah kehilangan kewanitaannya. Sikap cerdas dan setara telah raib nilai intrinsiknya. Dia berubah betina. Liar, garang, dan jalang. Jangan lagi bisa ditata dan dijadikan 'teman wingking' sebagai sigarane nyowo (pecahan jiwa). Berdekat-dekat saja akan mengundang aib bagi pasangannya.

Para pejabatnya juga tak kalah parah. Yang penegak hukum melanggar hukum. Demi jabatan tidak segan menyuap. Uang suap didapat dari korupsi. Dan 'uang-uang setan' itu yang beranak-pinak meracuni kehidupan pemberi dan penerimanya. Dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan kerja. Ini lingkaran setan yang betul-betul berasal dari setan. Aura kejahatannya menciptakan kumpulan-kumpulan penjahat.

Negara pun telah terperosok pada ketidakberdayaan. Pangan yang menjadi kebutuhan utama tidak ada yang berhasil dipenuhi. Impor datang susul-menyusul. Swasembada yang pernah dijanjikan para menteri saat dilantik, sekarang berbuah revisi dan alasan-alasan. Antar-menteri saling tuding, cuaca dipersalahkan, dan ujung-ujungnya, swasembada itu hanyalah igauan.

Jika ditarik benang merah, semua itu menuju satu muara, urusan syahwat dan perut. Hanya bangsa barbar saja yang berkutat dalam urusan nafsu, selain binatang. Dalam peradaban, manusia macam ini adalah manusia yang tidak beradab. Patut dicurigai omongan baiknya. Patut diragukan sikapnya yang seakan santun.

Terus mengapa bangsa dan negara ini menjadi begitu terpuruk? Anak-anak tidak lagi seperti anak. Perempuannya kehilangan susila. Pemimpinnya lupa etika. Yang dipimpin tidak lagi menaruh hormat terhadap pemimpinnya yang tidak layak dihormati? Dan negara seakan sudah separuh tergadai?

Sangat kompleks untuk mengurainya. Namun kata Jangka Jayabaya, jika sudah banyak bapak lupa anak, anak melawan bapaknya, perempuan kehilangan rasa malu, perempuan jual diri, laki-laki kehilangan sikap ksatria, orang jahat naik pangkat, dan ibu menjual anaknya, itu tanda memasuki zaman transisi. Zaman macam ini akan diawali dengan situasi chaostis sebelum datangnya zaman baru dengan pemimpin baru.

Zaman peralihan itu, kata Jayabaya, akan dipenuhi sikap laknat dan pengkhianat. Orang mengaku suci dengan kesucian palsu. Banyak bayi lahir mencari bapaknya. Tidak terkira jumlah orang melanggar sumpah. Banyak janji tidak ditepati. Orang mengutamakan uang. Orang jahat naik pangkat. Dan ratu (presiden) tidak adil, termasuk hukum yang ada.

Zaman seperti ini adalah era kepanikan. Manusia kehilangan kediriannya. Ragu dan rentan terhadap gesekan. Kehilangan kepercayaan diri. Yang berpikir pragmatis gampang tercebur mengikuti arus. Dan kerusakan yang semakin parah tidak sulit untuk mengejawantah.

Dalam kepercayaan Jawa, untuk mengatasi prahara itu perlu ditanam tumbal. Dalam teks keyakinan, tumbal itu adalah benda mistis untuk menggantikan benda sejenis yang sudah kedaluwarsa. Namun dalam konteks global (rasional), tumbal itu adalah sikap tegas pemimpin untuk memberi arah jelas terhadap tatanan. Tatanan wewengkon atau negara.

Jika pemimpin yang punya ketegasan tidak kunjung hadir, maka situasi tidak kondusif itu akan makin tidak kondusif. Batin rakyat gundah gulana, pejabat yang sudah terasuki setan (ambisius, hedonis, dan korup) semakin merajalela, dan negeri akan kian gonjang-ganjing tanpa kendali.

Menurut Ronggowarsito dalam Kalatidha, zaman seperti ini akibat kosongnya pemimpin negeri. Situasi yang bak orang sakit meriang itu akan tenang jika sudah tampil pemimpin yang sepadan. Namun jika pemimpin yang datang kelak tidak memenuhi harapan itu, maka kerusakan yang kian parah akan menjadi nyata.

Akankah tumbal zaman bejat itu akan terus berjatuhan hingga pemilu mendatang? Adakah pemilu nanti mampu melahirkan pemimpin baru yang sesuai harapan? Rasanya, jika itu tidak terjadi, maka penjajahan bentuk baru benar-benar akan dialami bangsa ini.

Oleh: Djoko Suud Sukandar *
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta

Sumber: detikNews