Djoko Suud Sukahar |
Tahun politik sekarang ini ternyata menyayat hati. Keresahan menggelora. Kecelakaan, selingkuh, perkosaan dan naiknya pejabat yang diragukan kejujurannya meninggi. Sedang negara melakukan impor menggila. Masa ini seperti gambaran Jangka Jayabaya, sedang terjadi kekosongan pemimpin. Negara kehilangan figur yang eling (ingat) dan waspada. Minim manusia yang berjuang agar dirinya baik, apalagi berkeinginan agar negara jaya.
Jika
menyimak peristiwa di beberapa pekan ini, petaka dan prahara memang mengerikan.
Datang bertubi-tubi. Di jalan raya, rombongan mati tak terkira jumlahnya. Ada
pengantar jamaah haji yang nahas. Ada anak-anak nabrak dengan korban banyak.
Ada truk rem blong nyasak apa saja yang ada di depannya. Bus oleng dengan
puluhan penumpang masuk jurang membawa jerit tangis sebelum berpindah ke alam
barzah. Dan tangis serta airmata itu sulit ditakar akibat itu semua.
Di
chanel kriminal dan infotainment, aksi tipu-tipu dengan janji nikah tak
terbilang lagi. Perempuan pamer selingkuh dan ternoda saban hari memenuhi layar
kaca dan dunia maya. Tidak malu dan tidak tabu. Malah jalur itu dipakai sebagai
jalan menuju popularitas. Mirip woro-woro, agar yang lain tahu tabiat jeleknya
bisa ditransaksikan. Itu supaya dapat job sesuai bidangnya. Atau job
lain yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Perempuan-perempuan
itu telah kehilangan kewanitaannya. Sikap cerdas dan setara telah raib nilai
intrinsiknya. Dia berubah betina. Liar, garang, dan jalang. Jangan lagi bisa
ditata dan dijadikan 'teman wingking' sebagai sigarane nyowo (pecahan
jiwa). Berdekat-dekat saja akan mengundang aib bagi pasangannya.
Para
pejabatnya juga tak kalah parah. Yang penegak hukum melanggar hukum. Demi
jabatan tidak segan menyuap. Uang suap didapat dari korupsi. Dan 'uang-uang
setan' itu yang beranak-pinak meracuni kehidupan pemberi dan penerimanya. Dari
diri sendiri, keluarga, dan lingkungan kerja. Ini lingkaran setan yang
betul-betul berasal dari setan. Aura kejahatannya menciptakan kumpulan-kumpulan
penjahat.
Negara
pun telah terperosok pada ketidakberdayaan. Pangan yang menjadi kebutuhan utama
tidak ada yang berhasil dipenuhi. Impor datang susul-menyusul. Swasembada yang
pernah dijanjikan para menteri saat dilantik, sekarang berbuah revisi dan
alasan-alasan. Antar-menteri saling tuding, cuaca dipersalahkan, dan
ujung-ujungnya, swasembada itu hanyalah igauan.
Jika
ditarik benang merah, semua itu menuju satu muara, urusan syahwat dan perut.
Hanya bangsa barbar saja yang berkutat dalam urusan nafsu, selain binatang.
Dalam peradaban, manusia macam ini adalah manusia yang tidak beradab. Patut
dicurigai omongan baiknya. Patut diragukan sikapnya yang seakan santun.
Terus
mengapa bangsa dan negara ini menjadi begitu terpuruk? Anak-anak tidak lagi
seperti anak. Perempuannya kehilangan susila. Pemimpinnya lupa etika. Yang
dipimpin tidak lagi menaruh hormat terhadap pemimpinnya yang tidak layak
dihormati? Dan negara seakan sudah separuh tergadai?
Sangat
kompleks untuk mengurainya. Namun kata Jangka Jayabaya, jika sudah banyak bapak
lupa anak, anak melawan bapaknya, perempuan kehilangan rasa malu, perempuan
jual diri, laki-laki kehilangan sikap ksatria, orang jahat naik pangkat, dan
ibu menjual anaknya, itu tanda memasuki zaman transisi. Zaman macam ini akan
diawali dengan situasi chaostis sebelum datangnya zaman baru dengan pemimpin
baru.
Zaman
peralihan itu, kata Jayabaya, akan dipenuhi sikap laknat dan pengkhianat. Orang
mengaku suci dengan kesucian palsu. Banyak bayi lahir mencari bapaknya. Tidak
terkira jumlah orang melanggar sumpah. Banyak janji tidak ditepati. Orang
mengutamakan uang. Orang jahat naik pangkat. Dan ratu (presiden) tidak adil,
termasuk hukum yang ada.
Zaman
seperti ini adalah era kepanikan. Manusia kehilangan kediriannya. Ragu dan
rentan terhadap gesekan. Kehilangan kepercayaan diri. Yang berpikir pragmatis
gampang tercebur mengikuti arus. Dan kerusakan yang semakin parah tidak sulit
untuk mengejawantah.
Dalam
kepercayaan Jawa, untuk mengatasi prahara itu perlu ditanam tumbal. Dalam teks
keyakinan, tumbal itu adalah benda mistis untuk menggantikan benda sejenis yang
sudah kedaluwarsa. Namun dalam konteks global (rasional), tumbal itu adalah
sikap tegas pemimpin untuk memberi arah jelas terhadap tatanan. Tatanan wewengkon
atau negara.
Jika
pemimpin yang punya ketegasan tidak kunjung hadir, maka situasi tidak kondusif
itu akan makin tidak kondusif. Batin rakyat gundah gulana, pejabat yang sudah
terasuki setan (ambisius, hedonis, dan korup) semakin merajalela, dan negeri
akan kian gonjang-ganjing tanpa kendali.
Menurut
Ronggowarsito dalam Kalatidha, zaman seperti ini akibat kosongnya pemimpin
negeri. Situasi yang bak orang sakit meriang itu akan tenang jika sudah tampil
pemimpin yang sepadan. Namun jika pemimpin yang datang kelak tidak memenuhi
harapan itu, maka kerusakan yang kian parah akan menjadi nyata.
Akankah
tumbal zaman bejat itu akan terus berjatuhan hingga pemilu mendatang? Adakah
pemilu nanti mampu melahirkan pemimpin baru yang sesuai harapan? Rasanya, jika
itu tidak terjadi, maka penjajahan bentuk baru benar-benar akan dialami bangsa
ini.
Oleh: Djoko Suud Sukandar *
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis
tinggal di Jakarta
Sumber: detikNews