Yoo.. Hindari Perilaku Korup...!!

Minggu, 02 Juni 2013

JENGKOL PENGGODA

Jengkol, Apa Itu?

Jengkol
Archidendron-Jiringa
Jengkol atau Jering (dalam nama ilmiah disebut Archidendron pauciflorum) Di beberapa daerah di Indonesia dikenal sebagai Jengkol (Jawa, Betawi), kicaang, Jengkol (Sunda), Blandingan (Bali), Jering, Jiring (Melayu), Jaring (Banjar), Jaawi (Lampung), atau Lubi (Sulawesi).
Tanaman ini dalam bahasa Inggris disebut sebagai Dogfruit atau Ngapi Nut. Sedangkan dalam bahasa latin (nama ilmiah) tanaman ini dinamai Archidendron pauciflorum yang mempunyai sinonim Archidendron jiringa, Pithecellobium jiringa, dan Pithecellobium lobatum. Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Plantae; Filum: Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Fabales; Famili: Fabaceae; Upafamili: Mimosoideae; Genus: Archidendron; Spesies: Archidendron jiringa.
 
Tinggi pohon Jengkol (Jering) mencapai 10-26 meter. Buahnya berupa polong berbentuk gepeng dan berbelit. Warna buah Jengkol lembayung tua. Setelah tua, bentuk polong buahnya menjadi cembung dan di tempat yang mengandung biji ukurannya membesar. Tiap polong dapat berisi 5-7 biji Jengkol. Bijinya berkulit ari tipis dan berwarna cokelat mengilap.

Manfaat dan Bahaya Jengkol

Buah Jengkol ternyata kaya akan kandungan gizi. Menurut sebuah penelitian, dari 100 gram biji Jengkol terkadung 133 kkal energi, 23,3 gram protein, 20,7 gram karbohidrat, 240 Sl vitamin A, 0,7 mg vitamin B, 80 mg vitamin C, 166,67 mg fosfor, 140 mg kalsium, 4,7 mg zat besi, 49,5 gram air. Dengan berbagai kandungan gizi yang dipunyai, dipercaya Jengkol atau Jering (Archidendron jiringa) mampu mencegah gangguan diabetes, menurukan kadar gula darah dan dapat menjaga kesehatan Jantung. Tanaman Jengkol diperkirakan juga mempunyai kemampuan menyerap air tanah yang tinggi sehingga bermanfaat dalam konservasi air dan mengurangi ancaman banjir di suatu tempat. Pemanfaatan buah (biji) Jengkol beraneka ragam. Mulai dimakan segar sebagai lalapan, diolah menjadi Semur Jengkol, hingga keripik atau emping Jengkol.
Namun Jengkol juga mempunyai efek negatif. Yang pertama, Jengkol mengandung asam jengkolat (jengkolic acid) yang tinggi sehingga konsumsi Jengkol berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penumpukan kristal di saluran urin, yang disebut “jengkolan”. Gejalanya mulai nyeri pada perut dan kadang-kadang muntah, nyeri waktu buang air kecil, urin berdarah, pengeluaran urin sedikit dan terdapat titik-titik putih seperti tepung, bahkan urin tidak bisa keluar sama sekali.
Kedua, tentu adalah bau. Bau buah Jengkol sebenarnya tidak terlalu menyengat. Tetapi setelah dikonsumsi akan memberikan efek bau yang tidak sedap baik bau nafas maupun bau urine.
Meskipun menimbulkan bau yang tidak sedap dan ancaman asam jengkolat, tetapi nyatanya banyak yang suka dan tergila-gila pada Jengkol. Bahkan biji Jengkol atau Jering menjadi salah satu menu favorit oleh sebagian masyarakat tidak hanya di Indonesia namun juga di Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Jengkol Sebagai Pembangkit Selera Makan

Sebagian pecandu Jengkol sering merasa berat kalau harus meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi Jengkol. Walau dalam keadaan diet sekalipun, meninggalkan Jengkol merupakan siksaan berat, lebih baik meninggalkan lauk-pauk lain daripada harus meninggalkannya.
Ada pengalaman lucu tapi nyata. Teman saya sekantor divonis terkena kelainan darah. Berat badan yang tadinya lebih dari 60 kg merosot drastis hingga kurang dari 40 kg. saja. Obat yang dikonsumsi bermacam-macam, sehari 5-6 tablet harus ditelan. Apalagi dokter sudah memvonis usianya tinggal tahun terakhir. Dasar imannya kuat, humoris lagi, dia nggak ambil pusing dengan vonis yang membuat ciut nyali yang mendengarnya.
Hampir delapan bulan saya tidak bertemu dengannya karena masing-masing mempunyai kesibukan tersendiri. Begitu ketemu saya dibuat kaget plus berbagai tanda tanya berkecamuk di benak saya, mungkinkah dengan waktu yang relatif singkat dapat mengembalikan kondisi tubuhnya menjadi segar bugar, berisi dan mukanya bercahaya. Nggak tahan dengan kebingungan di benak, saya memberanikan diri bertanya:”Ade.., berobat kemana? Sama dokter mana? Alhamdulillah bisa normal kembali dan punya penampilan seperti waktu gadis dulu?”. Dijawabnya singkat sambil cengar-cengir:“Jengkol!”. Mana mungkin, Jengkol si penyebab sakit jengkolan yang baunya menyengat sampai-sampai orang yang berpapasan dengan orang yang baru memakannya juga menyingkir, bisa jadi obat?
Melihat saya kebingungan, dia mengatakan:”Setelah saya kena vonis hidup hanya untuk tahun terakhir, saya menangis terus setiap malam, saya sholat istikharah. Pada akhirnya saya memutuskan hidup mati hanya Alloh yang menentukan. Karena ini tahun terakhir, saya tidak berpantang makan apapun. Saya sering botram (sunda=makan bareng rame-rame) dengan keluarga dan rekan sekantor, sedang menu favoritku adalah Jengkol. Sejak itu badan terasa enak, bobot naik, dan keluhan menghilang dengan sendirinya. Kini anda lihat, saya tidak berobat lagi, bisa meneruskan kuliah, bisa naik haji, dan pasien yang berobat ke klinik saya ngantri. Kuncinya hanya satu selera makan saya sekarang berubah total, apalagi Jengkol tak bakalan ketinggalan!”
Simpel, ternyata jengkol berfungsi juga sebagai pembangkit selera makan, sehingga seseorang dapat lebih sehat karena asupan gizinya baik dan teratur.

Kuliner Jengkol Merambah Manca Negara

Masyarakat Indonesia yang bermukim di Zurich, Swiss, pernah menggelar acara Pasar Senggol. Acara yang diselenggarakan setiap tahun ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai macam kuliner Indonesia kepada masyarakat Swiss. Beragam jenis makanan khas Indonesia ditampilkan. Pasar senggol tersebut juga merupakan wadah berkumpulnya warga Indonesia yang sangat merindukan suasana pasar tradisional di Tanah Air. Demikian siaran pers KBRI Swiss yang disiapkan oleh Sekretaris bidang Pensosbud, Mohammad Budiman Wiriakusumah (TN, 09/07/2012).
Warung Konsuler adalah bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat Indonesia di Swiss di setiap acara seperti ini, sehingga masyarakat yang kebanyakan sibuk dalam kegiatan sehari-hari tidak repot-repot datang ke Bern untuk mengurus paspornya, mereka cukup datang di acara ini bersama keluarga sambil melepaskan rasa kangen akan suasana pasar di Indonesia.
Ada cerita lucu pada siang hari itu, Yanthi Sidler penjual nasi rames Jawa Barat berusaha dengan sabar menjelaskan tentang Balado Jengkol yang dijualnya karena si pembeli seorang masyarakat Swiss "ngotot" untuk dapat mencicipi Jengkol, sedangkan Yanthi berusaha agar si pembeli mengurungkan niatnya untuk mencicipi jengkol tersebut karena takut menimbulkan bau tidak sedap. Namun karena pembeli ingin sekali merasakan akhirnya Yanthi merelakannya, namun setelah 2 jam, pembeli dengan senyumnya menghampiri sambil berkata ‘saya baru mengerti sekarang mengapa anda melarang saya memakan jengkol karena menyadarinya setelah keluar dari kamar kecil' (DN, 09/07/2012).

Tata Niaga Jengkol

Produk sayur seperti Jengkol di Garut Jawa Barat harganya mulai meroket, harga 1 kg Jengkol mencapai Rp 32.000,--, dibandingkan dengan harga daging ayam yang hanya Rp 26.000,-- per kg. Bahkan berdasarkan siaran televisi di pasar Bekasi kini sudah menembus angka Rp. 50.000,-- per 1 kg-nya.
Salah seorang pedagang sayuran di Pasar Ciawitali, Guntur, Garut, Ayi mengatakan sejak sebulan terakhir harga Jengkol terus mengalami kenaikan dari harga biasanya hanya mencapai Rp 5.000 per Kg.
"Sudah mahal, barangnya sulit didapat," ujarnya, Pasar Ciawitali, Rabu (29/5). Para pedagang sayuran yang biasa menyediakan Jengkol kini kewalahan karena banyak pelanggan yang kecewa pesanan Jengkolnya tak terpenuhi. "Terutama para pemilik rumah makan, sudah pesan sejak beberapa hari lalu hingga saat ini belum terpenuhi," katanya.
Ayi tidak mengetahui penyebab hilangnya Jengkol di pasaran, yang ia ketahui hanyalah pasokan Jengkol dari daerah Sumatra dan Jawa Tengah sangat sedikit. "Katanya pasokan dari Sumatra dan Jawa Tengah sedikit, saya sendiri sering tidak kebagian", ucapnya.
Hal senada juga disampaikan Dede (45) pedagang daging ayam, menurutnya sejak sebulan ini banyak yang menanyakan Jengkol, namun ketersediaan Jengkol di Pasar Ciawitali tidak ada.
"Ya, banyak tetangga saya yang titip pesan Jengkol, eh Jengkolnya susah dicari, terus harganya jadi mahal, lebih mahal dari daging ayam" ,imbuhnya (TN, 30/05/2013). Dalam hal ini sebenarnya siapa yang salah?, kalau pedagang pasti menganut hukum dagang, barang langka harga naik, barang melimpah harga pasti turun, kecuali ada rekayasa spekulan.
Yang tidak dapat dimengerti apakah sampai separah ini?, Jengkol bukan barang niaga strategis yang setiap orang harus mendapatkannya.

Jengkol Sebagai Katalis Pendapatan Pajak

Pelanggan warteg atau warung kecil lainnya harus bersiap-siap mengeluarkan uang lebih saat menyantap hidangan. Sebab pajak 10 persen akan rata diterapkan kepada pengusaha makanan beromzet Rp. 60 juta setahun. "Pajak ini tidak mengenal sebutan, mau warteg, warung makan padang, sepanjang menjual makanan dan minuman di atas Rp. 60 juta melekat kewajiban sebagai pembayar pajak," ujar Kadis Pelayanan Pajak Pemprov DKI, Iwan Setiawandi.
Pajak kan buat semua juga. Kalau biasa makan di warteg Rp. 6.000, sekarang harus bayarkan 10 persen pajak, jadi bayar Rp 6.600. Saya juga suka makan nasi goreng di warung. Suka Semur Jengkol di warteg. Nanti kalau makan di warteg yang kena pajak, saya juga harus bayar 10 persen pajaknya itu (DN, 02/12/2010) Jengkol..., jengkol...

Doc. By Bio