Gunung Slamet Berdiri Megah |
Kabupaten Purbalingga sekarang menjadi salah satu pilihan dan tujuan destinasi wisata nasional karena mempunyai banyak tempat dan seni budaya yang bernilai jual tinggi. Bidang kepariwisataannya terus dikembangkan secara sistematis dengan memanfaatkan potensi dan kemampuan yang ada. Keadaan alam pegunungan dan sungai-sungainya yang indah, juga barang tambang seperti batu akik Nagasui dari sungai Klawing telah mencuat namanya sejajar dengan batu Pancawarna dari Garut, Giok dari NAD dan batu Bacan dari Pulau Bacan. Kuliner seperti Sroto, Nopia, Permen Davos, Buntil daun tales dan lain-lainnya juga pantas dinikmati dan dijadikan oleh-oleh.
Tempat wisata buatan seperti Awabong, Akuarium ikan raksasa Pancuranmas, musium wayang, musium perangko, kompleks rekreasi Karangbanjar dan ruang terbuka hijau terus dikembangkan. Khusus ritual tradisi, kesenian lokal dan budaya daerah terus diurip-urip dan dikemas dijadikan paket-paket wisata menarik. Memang sebaran destinasi wisata sekarang ini sebagian besar masih berada di wilayah Purbalingga utara, namun tidak berarti yang berada di wilayah selatan, barat dan timur diabaikan, semuanya diberikan porsi pengembangan yang sama sesuai kemampuan masyarakat setempat. Kecuali ada investor yang mengembangkannya, maka perubahannya akan lebih signifikan. Halnya dengan tradisi-tradisi pedesaan yang saat ini hidup segan mati tak mau, telah ditangani melalui bimbingan langsung oleh Dinas Pariwisata daerah. Termasuk adat istiadat Karangreja saat ini difestivalkan dan diutamakan dikemas duluan, dijadikan prototype, dengan harapan akan menjadi multiplier efek bagi daerah lainnya.
Prosesi Pengambilan Air Di Kaki Gunung Awali Festival Gunung Slamet
Tempat wisata buatan seperti Awabong, Akuarium ikan raksasa Pancuranmas, musium wayang, musium perangko, kompleks rekreasi Karangbanjar dan ruang terbuka hijau terus dikembangkan. Khusus ritual tradisi, kesenian lokal dan budaya daerah terus diurip-urip dan dikemas dijadikan paket-paket wisata menarik. Memang sebaran destinasi wisata sekarang ini sebagian besar masih berada di wilayah Purbalingga utara, namun tidak berarti yang berada di wilayah selatan, barat dan timur diabaikan, semuanya diberikan porsi pengembangan yang sama sesuai kemampuan masyarakat setempat. Kecuali ada investor yang mengembangkannya, maka perubahannya akan lebih signifikan. Halnya dengan tradisi-tradisi pedesaan yang saat ini hidup segan mati tak mau, telah ditangani melalui bimbingan langsung oleh Dinas Pariwisata daerah. Termasuk adat istiadat Karangreja saat ini difestivalkan dan diutamakan dikemas duluan, dijadikan prototype, dengan harapan akan menjadi multiplier efek bagi daerah lainnya.
Prosesi Pengambilan Air Di Kaki Gunung Awali Festival Gunung Slamet
Pengambilan air dari mata air atau Tuk Sikopyah mengawali rangkaian kegiatan Festival Gunung Slamet (FGS) 2015 yang digelar di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kamis (4/6/2015) yang lalu. Festival yang baru pertama kali digelar ini berlangsung hingga Sabtu (6/6/2015).
Sebelum prosesi pengambilan air dimulai, sekitar 40 warga yang mengenakan pakaian adat Banyumasan berkumpul di halaman masjid Dusun Kaliurip, Desa Serang. Para wanita mengenakan kain warna hijau sedangkan prianya berpakaian serba hitam dengan ikat kepala.
Prosesi berjalan menuju Tuk Sikopyah |
Beberapa wanita tampak membawa sesaji, sedangkan kaum pria membawa ‘Lodhong’ dan ‘Kokok’ bambu. Lodong merupakan batang bambu yang dipotong sepanjang dua meter, beberapa sekat/ruas di dalamnya ditotos/dilubagi kecuali paling ujung bawah, sedang ujung atasnya dipotong runcing/miring berfungsi untuk mempermudah menampung dan menuang isinya. Di pedesaan Purbalingga, sejak dahulu kala lodhong pring ampel digunakan sebagai tempat atau alat pengangkut air. Sedang yang disebut Kokok sebenarnya juga mirip lodong hanya ukurannya dibuat lebih kecil untuk menyesuaikan ergonomi tubuh penggunannya.
Dengan iringan sholawat berlanggam Jawa dan musik rebana, kaum wanita dan pria tersebut menuju mata air Sikopyah.
Salah seorang yang menjadi pimpinan rombongan meminta izin kepada sesepuh masyarakat agar mereka dapat mengambil air dari Tuk Sikopyah demi kesejahteraan petani.Setelah mendapatkan izin, mereka menuju Tuk Sikopyah yang berjarak sekitar dua kilometer dengan menyusuri lereng Gunung Slamet.
Di lokasi Tuk Sikopyah, sesepuh yang ditunjuk masyarakat memimpin doa, dilanjutkan dengan pengambilan air untuk dimasukkan ke dalam lodhong dan kokok.Usai pengambilan air, sesepuh masyarakat kembali membacakan doa sebelum rombongan berjalan menuju Balai Desa Serang untuk menyemayamkan lodhong dan kokok berisi air yang nantinya akan dibagikan pada hari terakhir FGS 2015, Sabtu (6/6/2015).
Ketua Panitia FGS, Tri Daya Kartika mengaku terharu dengan terselenggaranya Festival Gunung Slamet ini. Dia berharap kegiatan ini mampu mendukung pariwisata di segitiga desa wisata yakni desa Serang, Kutabawa dan Siwarak. “Adanya kegiatan seperti ini kita harapkan mampu meningkatkan kunjungan wisata di tiga desa tersebut”, ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Dinbudparpora) Kabupaten Purbalingga Subeno mengatakan, FGS mengangkat potensi keunikan adat istiadat Desa Serang. “Potensi ini setelah dikemas dengan baik ternyata patut dijual kepada wisatawan. Kami akan berusaha lebih baik lagi di tahun mendatang agar wisatawan lebih banyak lagi yang datang”.
Kepala Desa Serang Sugito berharap FGS dapat disatukan dengan tradisi yang sudah lama ada di desanya yakni tradisi bersih bumi atau ruwat bumi saat peringatan 1 Suro. Pasalnya, banyak prosesi yang digelar dalam FGS yang diadopsi dari kegiatan tahunan suran.
Menurutnya, kegiatan ruwat bumi yang biasa dilaksanakan cukup menarik sehingga akhirnya diadopsi dalam FGS. Termasuk prosesi pengambilan air tuk Sikopyah. Biasanya hanya dikemas sederhana dan di FGS ini dikemas lebih besar dan lebih menarik.“Rencana kami, akan kita fokuskan semuanya dalam kegiatan Sura. Daripada setahun ada dua kali event, dan swadaya masyarakat juga cukup besar maka sebaiknya kita gabung jadi satu,” jelasnya.
Ketua Panitia FGS, Tri Daya Kartika mengaku terharu dengan terselenggaranya Festival Gunung Slamet ini. Dia berharap kegiatan ini mampu mendukung pariwisata di segitiga desa wisata yakni desa Serang, Kutabawa dan Siwarak. “Adanya kegiatan seperti ini kita harapkan mampu meningkatkan kunjungan wisata di tiga desa tersebut,” katanya (Humas Pemkab PBG).
FSG Dijadikan Agenda Budaya Tingkat Provinsi
Festival Gunung Slamet (FGS) yang digelar di Desa Wisata Serang Kecamatan Karangreja, Purbalingga bakal menjadi agenda wisata budaya tingkat Provinsi Jawa Tengah.
Demikian diungkapkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga, Subeno, kegiatan Festival Gunung Slamet yang baru pertama diadakan di Purbalingga telah disetujui Gubernur Ganjar Pranowo akan diangkat menjadi event Provinsi.
“Tahun ini event provinsi ada di Festival Serayu di Banjarnegara. Tahun depan akan bergeser ke Purbalingga dan Dinbudpar Jateng sudah siap memback-up,” ujar Subeno disela-sela prosesi pengambilan air kehidupan Tuk Sikopyah yang berada di dusun Kaliurip Desa Serang, Kamis (4/6/2015).
Menurut Subeno, kegiatan FGS nantinya diharapkan menjadi ikon bukan hanya untuk Purbalingga tetapi juga untuk wilayah Banyumas raya, utamanya yang berada di lereng Gunung Slamet. Sebenarnya, lanjut Subeno, tahun ini sudah diagendakan mengundang kabupaten tetangga untuk berpartisipasi. Namun karena terkendala dana, mereka batal diikutkan.
“Tahun depan, Dinbudparpora bersama pemkab juga akan memback-up penuh kegiatan ini. Mudah-mudahan akan lebih besar dari yang sekarang”, katanya.
Apalagi antusias masyarakat setempat dinilai sangat tinggi. Bahkan saat prosesi pengambilan air dari Tuk Sikopyah, para pelaku memperagakan seluruh prosesi dengan khidmat. “Ini yang justru menjadi kekuatan untuk event ke depan,” tambahnya.
Sementara, Kepala Desa Serang Sugito berharap FGS dapat disatukan dengan tradisi yang sudah lama ada di desanya yakni tradisi bersih bumi atau ruwat bumi saat peringatan 1 Suro. Pasalnya, banyak prosesi yang digelar dalam FGS yang diadopsi dari kegiatan tahunan suran.Menurutnya, kegiatan ruwat bumi yang biasa dilaksanakan cukup menarik sehingga akhirnya diadopsi dalam FGS. Termasuk prosesi pengambilan air Tuk Sikopyah. Namun hanya dikemas sederhana dan di FGS ini dikemas lebih besar dan lebih menarik.“Rencana kami, akan kita fokuskan semuanya dalam kegiatan Sura. Daripada setahun ada dua kali event, dan swadaya masyarakat juga cukup besar maka sebaiknya kita gabung jadi satu”, jelasnya.
Ketua Panitia FGS, Tri Daya Kartika mengaku terharu dengan terselenggaranya Festival Gunung Slamet ini. Dia berharap kegiatan ini mampu mendukung pariwisata di segitiga desa wisata yakni desa Serang, Kutabawa dan Siwarak. “Adanya kegiatan seperti ini kita harapkan mampu meningkatkan kunjungan wisata di tiga desa tersebut”, katanya.
Festival Gunung Slamet akan berlangsung selama tiga hari mulai Kamis (4/6) hingga Sabtu (6/6). Kegiatan diawali dengan prosesi pengambilan air dari Tuk Sikopyah desa Serang. Untuk kemudian disemayamkan di Balai desa setempat. Air Tuk Sikopyah ini nantinya akan dibagikan kepada masyarakat oleh Bupati Sukento Rido Marhaendrianto.
Agenda lainnya, pada Jumat (5/6/2015) digelar pentas seni budaya lokal dan pasar rakyat di lokasi Rest Area Lembah Asri desa Serang mulai pukul 09.00 WIB. Siangnya mulai pukul 14.00 dilaksanakan perang buah strawberi dan tomat serta hasil bumi masyarakat desa Serang, Kutabawa dan Siwarak.
Puncaknya hari Sabtu (6/6/2015), diselenggarakan kirab budaya dan hasil bumi dari lapangan SMP Negeri 2 Karangreja di desa Kutabawa menuju Rest Area desa Serang. Ditempat ini terdapat prosesi Wayang Ruwat dan pentas seni dan budaya lokal. Selanjutnya pada Sabtu malam, rangkaian acara ditutup dengan sajian pentas seni kontemporer dan pertunjukan lighting spektakuler (Humas Pemkab PBG).
Merawat Tuk Sikopyah, Bagaikan Merawat Kehidupan
Dari ketinggian 1.100 mdpl, tampak gunung setinggi 3.428 berdiri kokoh berlumur sinar matahari pagi. Udara masih membeku meski kabut di kaki gunung Slamet telah berlalu. Kebekuan perlahan melumer oleh kerumunan orang-orang yang mulai riuh di sebuah perkampungan.
Gadis-gadis yang telah merias diri berbaris di masjid desa. Berbalut pakaian tradisional berwara hitam dan caping di kepala, mereka duduk menunduk menengadahkan kedua tangannya. Duduk bersila di depan barisan, seorang penghulu desa tengah merapalkan doa-doa keselamatan.
Usai doa dipanjatkan, rombongan ini kemudian beranjak dari masjid. Dengan Lodhong bambu di masing-masing tangan gadis-gadis ini, rombongan memulai perjalanan menuju mata air Sikopyah, sumber mata air yang menjadi sumber kehidupan warga Desa Serang dan sekitarnya.
Pagi itu, Kamis (4/6), prosesi pengambilan mata air dari Tuk Sikopyah di angkat menjadi agenda pembuka Festival Gunung Slamet (FGS) 2015. Ritual ini menjadi lambang penyucian diri. Tuk Sikopyah dahulu disakralkan karena sejak dulu telah menjadi sumber kehidupan warga. Kelestariannya senantiasa dijaga. Bahkan Tuk Sikopyah digunakan sebagai sarana penyucian yang berangsur menjadi tradisi turun-temurun. Kini tradisi ini diangkat dalam kemasan festival.
"Kami ingin masyarakat luas tahu pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Tuk Sikopyah adalah anugerah Yang Maha Kuasa untuk kita semua, mari kita jaga bersama-sama", kata Ketua Panitia festival, Tri Daya Kartika.
Tuk Sikopyah merupakan mata air besar di lereng gunung Slamet yang berada di wilayah Dusun III Desa Serang, Kecamatan Karangreja. Tuk Sikopyah, selain menjadi sumber air kehidupan ribuan warga Purbalingga juga menghidupi warga Kabupaten Pemalang. "Air Tuk Sikopyah diarak menuju Balai Desa Serang", ujar dia.
Suasana Pengambilan Air Tuk Sikopyah |
Tridaya Kartika mengatakan, festival ditujukan untuk mengangkat pariwisata dan potensi desa wisata yang ada di Purbalingga khususnya desa wisata Serang. “Pariwisata Purbalingga sudah diperhitungkan menjadi bagian destinasi wisata di Jateng, sehingga melalui festival ini akan semakin memperkuat bahwa Purbalingga merupakan kota tujuan wisata”, kata dia.
Tri Daya menjelaskan, prosesi pengambilan air dari Tuk Sikopyah dikemas dengan suasana hikmat namun tetap menghibur. “Mata air Sikopyah merupakan mata air terbesar dan tak pernah kering sepanjang waktu. Air Sikopyah diyakini mampu membawa berkah, kesehatan, menjunjung derajat orang yang meminumnya dan konon mampu menjadikan awet muda”, kata Tri Daya Kartika.
Air yang telah dikirab dan disemayamkan sehari, akan dibagikan secara simbolis kepada sesepuh desa di sekitar gunung Slamet. “Daya tarik prosesi pengambilan air Sikopyah ini memiliki nilai jual yang tidak ditemukan di wilayah lain”, kata dia.
Kepala Dinbudparpora Purbalingga, Drs Subeno SE MSi mengatakan, festival yang baru pertama kali digelar diharapkan akan menjadi ikon kunjungan wisata ke Purbalingga. Pada 2016 festival ini akan digelar kembali dengan dukungan Pemprov Jateng. (Rudal Afgani; Satelit Post).
Perang Buah Stroberi Dan Tomat
Perang buah stroberi dan tomat dalam rangkaian kegiatan Festival Gunung Slamet (FGS) 2015 berlangsung meriah. Ratusan warga, kebanyakan petani dan kaum muda, saling lempar buah stroberi dan tomat yang merupakan hasil agro andalan petani setempat.
"Senang dan seru. Harapan saya, acara seperti ini berlangsung tiap tahun dan lebih besar dari sekarang", ujar Tina Apriani, warga Serang, yang juga terlibat dalam acara yang dipusatkan di kolam Rest Area Lembah Asri itu, Sabtu, 6 Juni 2015.
Menurut Tina, ajang perang buah yang diadakan rutin dapat lebih mengenalkan potensi pertanian di desanya, seperti stroberi dan tomat dari Kutabawa. "Promosi wisata seperti ini lebih mengena ketimbang lainnya", katanya.
Kepala Desa Serang, Sugito, mengaku ajang perang buah ini merupakan embrio paket wisata perang buah yang akan dikembangkan lebih lanjut. Terutama bila terjadi kelebihan produksi stroberi dan tomat.
"Nantinya kita akan menyerap kelebihan produksi itu sehingga tidak dibuang atau untuk pakan ikan. Tapi kita beli untuk membuat paket wisata perang buah stroberi", tutur Sugito.
Suasana Perang Buah; meriah |
Dia menjelaskan saat ini luas lahan stroberi di desanya mencapai 45 hektare, dengan jumlah petani 454 orang. Biasanya puncak produksi stroberi berada pada Juli-Agustus. "Produksinya bisa mencapai 7 ton per hari", ucapnya.
Ketua panitia FGS, Tri Daya Kartika, menuturkan ajang perang stroberi dan tomat merupakan modifikasi dari tradisi perang cambuk yang pernah tumbuh pada masa lalu. Tradisi itu sengaja diganti dengan perang buah agar tidak ada yang terluka. “Sekaligus sebagai ajang memamerkan produksi buah stroberi yang jadi ikon desa Serang dan tomat dari desa Kutabawa”, katanya.
Acara ini, Tri Daya Kartika melanjutkan, juga sebagai wujud syukur para petani di wilayah lereng timur Gunung Slamet atas berkah air dan kesuburan tanah yang mampu menghasilkan kesejahteraan.
Wakil Bupati Tasdi mengatakan sedikitnya ada tiga makna penting yang harus dipahami atas penyelenggaraan FGS yang pertama ini. Yakni makna spiritual, sosial, dan makna kultural. Makna spiritual diwujudkan dalam bentuk rasa syukur karena para petani di wilayah ini hasilnya melimpah. Salah satunya dengan menyelenggarakan perang buah stroberi dan tomat.
"Festival ini juga merupakan salah satu kemasan budaya yang harus terus dilakukan setiap tahun. Festival ini harus menjadi ikon Purbalingga dan mendapat dukungan dari semua pihak," ujar Tasdi (Aris Andrianto; Tempo.co).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar