Banyumas itu Blaka Suta, Banyumas itu Begerak, Banyumas itu Dinamis, begitu kata Wak Nasirin L Sukarta Kartawea
Novelis Banyumasan asal Desa Kalisube, Kecamatan Banyumas Kabupaten
Banyumas dalam obrolan kecil udara di HP Nokia jadulku kemarin. Kata
blaka pada ‘blakasuta’ berasal dari kata blak atau dalam dialek
Banyumasnya; blag, yang artinya mengamba (menga) atau tanpa ditutupi dan
blakasuta berarti kandha ing sebenere (berbicara yang sebenarnya). Kata
blaka jika dicari asal-usulnya ternyata berasal dari bahasa Jawa kuno,
balaka, dan juga bahasa sansekerta, walaka, yang artinya; terus terang,
sejujur-jujurnya, lurus tanpa tedheng aling-aling (Mardiwarsito 1979 ;
106). Suta berarti anak. Kata Blakasuta mengandung arti keterusterangan
seperti anak yang masih murni, lugu dan apa adanya.
Menarik
sekali membincangkan peradaban sejarah Banyumas sejak zaman pra sejarah,
sejarah sampai sekarang, dengan kronik-kronikanya yang sarat nilai
perjuangan dengan asesoris-asesoris begitu indah untuk dikaji, diteliti,
dan diungkap dengan kamera intelektual dan narasi-narasi ilmiah
disandingkan, serta disajikan dalam bentuk sastra, kajian ilmiah,
kesenian, budaya, dan sudut pandang lainnya.
Banyumas adalah
bagian panjang dari proses metamorfosa sejarah masa lalu Kerajaan Galuh
Purba, Kerajaan Pasir Luhur, Kadipaten Kutaliman melalui fase-fase
peradaban yang silih berganti hadir dengan tema-tema sejarah dengan
babak-babak sejarah romantika menjadi kembang jejak anak manusia
menuliskan kisahnya. Mengurai Banyumas membutuhkan perangkat kepustakaan
yang cukup luas bukan sekedar tinjaun ruang dan waktu yang
melintasinya, tetapi harus berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti
berupa transkrip, benda-benda, kerajinan fosil, arsip, dokumen, dll.
Banyumas dalam prespektif ruang sejarah sebagaimana pendapat
Sumaatmadja (1991), ruang adalah tempat dipermukaan bumi baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Ruang meliputi jagad alam seisinya; sungai,
tanah, bebatauan, tanaman, hewan air, udara, mineral, logam,
jasad-jasad renik dari ketinggin langit sampai dasar tanah beserta
penguasa yang menempatinya. Ruang sejarah membentang dengan simbolisasi
Gunung Slamet dan Serayu menjadi ikon kebesaran daerahnya.
Lintasan Waktu dengan dimensi temporal, dimensi spesial, dimensi manusia
dan dimensi alam merupkan satu kesatuan yang membingkai sejarah
Banyumas. Waktu mengandung dua pengertian, yaitu makna denotatif seperti
detik, menit, jam, hari, tanggal minggu, bulan, tahun abad dan
lain-lainnya, sementara makna konotatif waktu bermakna sebagai Konsep
Waktu.
Ruang Banyumas dalam dimensi spesial merupakan
kejadian-kejadian alam seperti meletusnya Gunung Slamet, meluapnya
Sungai Serayu, kejadian sosial, kejaidan politk, dll, menjadi kejadian
atau peristiwa sejarah dalam lintasan waktu.
Manusia Banyumas
sebagai pelaku kejadian-kejadian sosial dan kejadian sejarah dalam
dimensi manusia menjadi kesatuan utuh antara waktu dan ruang yang
menyertai sejarah.
Banyumas Bergerak
Wong Banyumasan
sebagai pelaku sejarah sudah barang tentu mempunyai sejarah, sebagaimana
pendapat Ismaun 1988; manusia adalah pelaku sejarah jadi hanya manusia
yang mempunyai sejarah. Masa lampau Banyumas dengan goresan-goresan
sejarah para penisepuhnya sejak Eyang Adipati Mrapat mendirikan
Kadipaten Banyumas sampai sekarang di abad post modern selalu berkaitan
dengan waktu dan kejadian atau peristiwa.
Setiap zaman mempunyai
peradaban sendiri namun akan tetap lekat dengan masa lalu yang
menyertainya. Peristiwa dan waktu sejarah memberikan kesadaran kepada
generasi berikutnya bahwa kita menjalani perjalanan sejarah yang akan
terus berubah, mempertahankan konsep masa lalu dengan keindahan dekorasi
sejarahnya secara membabibuta adalah kematian peradaban, karena
Banyumas berada dalam genggaman yang berbeda dengan pelaku masa lampau,
Banyumas didirikan pada tanggal 22 Februari 1571 jauh lebih tua dari
Kerajaan Mataram yang didirikan pada tahun 1587, jika mengacu pada Perda
No.10 Tahun 2016 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang baru
ditetapkan yaitu tanggal 22 Februari 1571M.
Nuansa Banyumas
dengan peleburan stratafikasi sosial telah terjadi sejak Eyang Adipati
Mrapat mendirikan Kadipaten Banyumas. Banyumas sesungguhnya telah
mengalami pembebasan kastanisasi dengan deteran titel ningrat karena
simbolitas Pohon Tembagan yang merupakan pohon yang sudah ada semenjak
Eyang Adipati Mrapat mendirikan Kadipaten Banyumas di Hutan Mangli
Kejawar (sekarang wilayah Desa Kalisube). Pohon Tembagan sesungguhnya
menjadi lambang egaliter manusia Banyumas.
Sejarah Banyumas akan
berhadapan dengan berbagai peristiwa dan waktu yang menyertainya karena
Wong Banyumas mengalami perubahan, baik dalam dunia kesenian, budaya,
kekuasaan, ekonomi, pertanian, dll. menuju perkembangan peradaban dari
yang sederhana menuju masyarakat yang kompleks. Karena Perubahan
merupakan proses kesinambungan keberadaan sejarah peradaban Banyumas
sekaligus menjadi proses pengulangan pelaku sejarah dengan tema-tema
yang berbeda-beda, namun dalam bingkai dan gambar yang tidak tercerabut
dari akar sejarahnya.
Banyumas itu Bergerak dengan gairah baru
telah lahir seiring dengan penetapan tanggal kelahirannya 22 Februari
1571 M sebagai hari kelahirannya jauh lebih tua dari sebelumnya
berselisih 11 tahun yaitu pada tanggal 06 April 1582 berdasarkan Perda
Banyumas No.2 Tahun 1999 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang biasa
diperingati selama ini. Kini, seiring dengan penetapan Hari Jadi
Banyumas yang baru, bermunculan darah dan semangat baru, telah lahir
generasi baru dengan karya-karyanya sangat kreatif dan inovatif menggali
nilai-nilai potensi lokal Banyumas yang ada sejak zaman dahulu
dikombinasikan dengan peradaban yang berkembang sekarang tanpa
kehilangan roh sejarah Banyumas itu sendiri.
Tokoh-tokoh muda
generasi hibrid Banyumas melesat dengan tangan-tangan terampilnya, olah
kreasinya dipadu dengan kemajuan peradaban informasi dan teknologi
menghasilkan manusia-manusia unggul dalam berbagai bidang yang
dikuasainya seperti Humor Banyumasan "Cekakak" yang digawangi Kang Kaji Mamock Ngudi Utomo dengan menggunakan dialek Banyumasan yang hadir di BMSTV dengan para pemainnya Arif Geseng dkk.
Sastrawan Nasirin L Sukarta Kartawea
dengan dua buah Novelnya ‘Kumandange Tembang Mrapat’ (KTM) dan
‘Perkutut Tembagan’, yang telah dicetak dan diterbitkan SIP Publishing.
Nasirin L Sukarta merupakan Novelis unik dan nyentrik, karena menuangkan
ide-ide karyanya ditulis menggunakan HP Nokia Jadul.
Rama Mudibyo Whs,
mantan birokrat warga Banyumasan yang cukup lama berdomisili di Kota
Kembang Bandung tetap keukeuh mengawal dan membina para pegiat dan
pandhemen kesenian Banyumasan dengan membentuk Gerakan Cinta Seni
Tradisional Banyumasan Bandung Raya (Genta Sentramas Baraya) sebagai
wadah pemersatu lebih dari 23 komunitas/paguyububan pegiat dan pandhemen
beragam seni budaya Banyumasan yang berada di tatar Pasundan dan
Betawi. Juga dengan Blangkon Banyumasan Model Soedirmanan karyanya yang
didedikasikan untuk harga diri Budaya Banyumasan dan penghormatan
tertinggi kepada Jenderal Besar Soedirman yang tetap cinta dan setia
kepada budaya lokalnya.
Empu Syah Rizal,
sosok empu muda yang mulai menggeliat namanya di tingkat nasional
dengan ‘Padepokan Keris Buwana Aji Kalingga Banyumas’ yang sebentar lagi
akan mendirikan Besalen (tempat pembuatan keris ) di Situs Watu Pamujan
Kelurahan Karangkelsem Purwokerto Selatan.
Ki Dalang Kukuh
Bayuaji asal Alasmalang Kemranjen menjadi penerus Wayang Kulit Gagrag
Banyumasan mewarisi dan meneruskan para dalang pendahulunya yang
melegenda seperti Ki Dalang Nawan (Karangnangka), Ki Sugino Siswocarito
(Notog Patikraja), Ki Sugito Purbocarito (Keniten Kedungbanteng) dan
dalang-dalang sepuh lainnya di tlatah Banyumasan. Begitu pula
dalang-dalang muda yang berada di perantauan seperti Ki dalang Kang Tino Pamungkas,
meski jauh dari asalnya Desa Karangsari Kembaran masih tetap melakoni
menjadi dalang disela-sela kesibukannya menjadi pegawai perwakilan
Propinsi Sulawesi Selatan di Surabaya. Lulusan STSI Solo itu tetap eksis
menekuni dunia seni wayang kulit yang ikut membesarkan namanya.
Dalang remaja di tlatah Banyumasan juga tumbuh subur. Dengan hadirnya dalang-dalang remaja memberi harapan bahwa seni pedalangan wayang kulit gagrag Banyumasan mempunyai masa depan cerah, seperti Ki Bimo "Bima Zhukma" Bayu Aji putra Ki Dalang Kukuh Bayu Aji (Alasmalang Kemranjen) bersama Ki Wahyu Eko Pamungkas (Mernek Cilacap) dan Ki Rizky Widia Fatturohman (Purbalingga), Ki Ulin Nuha dari Karangrena Maos, dll.
Dalang remaja di tlatah Banyumasan juga tumbuh subur. Dengan hadirnya dalang-dalang remaja memberi harapan bahwa seni pedalangan wayang kulit gagrag Banyumasan mempunyai masa depan cerah, seperti Ki Bimo "Bima Zhukma" Bayu Aji putra Ki Dalang Kukuh Bayu Aji (Alasmalang Kemranjen) bersama Ki Wahyu Eko Pamungkas (Mernek Cilacap) dan Ki Rizky Widia Fatturohman (Purbalingga), Ki Ulin Nuha dari Karangrena Maos, dll.
Di bidang sejarah Banyumas mempunyai Pakar Sejarah Banyumas,
Prof.Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum, dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto
(UMP). Prof. Dr.Sugeng Priyadi M.Hum dikenal sebagai ilmuwan sejarah
yang sangat menguasai sejarah Banyumas yang sering menjadi pembicara di
berbagai tempat seperti diskusi, simposium, seminar, dll.
Di bidang Penerbitan dan Percetakan, Banyumas banyak bermunculan
tokoh-tokoh muda yang intens dengan budaya Banyumasan, seperti; Penerbit
Muda Indra Defandra Gunawan dengan SIP Publishing, Media Online Aris Andrianto, Djito El Fateh (Purwokerto Kita), Andy Ist Merdeka (SuaraPurwokerto.com), Tabloid Pamor dan Majalah ANCAS.
Tak kalah gesitnya Radio Raka FM Purbalingga yang digawangi Jayenk Rakafmpurbalingga
selalu hadir disetiap saat pertunjukan wayang kulit secara langsung di
wilayah Banyumas Raya. Radio Raka Purbalingga menjadi corong Budaya
Banyumasan lewat radio melengkapi peranan yang telah dirintis RRI
Purwokerto.
Kehadiran Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jendral Soedirman (FIB Unsoed) di bawah pimpinan Pak De Drs. Bambang Lelono,
M.Hum menambah gairah baru dengan kajian-kajian ilmiah budaya
Banyumasan. Budaya masuk Kampus menjadi indikator bahwa kalangan
akademisi sangat peka terhadap kebudayaan yang ada dan lahir dari tlatah
Banyumasan.
Kang Sarno Ahmad Darsono
dengan Durian Bawornya mampu menghasilkan durian lokal Banyumas
berstandar nasional, berhasil menandingi kehebatan durian-durian
introduksi Thailand seperti durian montong. Durian Bawor hasil penemuan
pria asal Desa Alasmalang, Kecamatan Kemranjen, Banyumas saat ini
menjadi pilihan para penggemar durian karena rasanya jauh lebih enak
dibanding durian introduksi Thailand dan Malaysia.
Kang Kaji
Sutrisno dengan ‘Gethuk Goreng Asli Sokaraja’ berhasil mempertahankan
warisan leluhurnya Eyang Sanpirngad dengan melakukan beberapa inovasi
dan kreasi baik bentuk penampilan kemasan, sehingga menjadi makanan khas
oleh-oleh dari daerah Banyumasan.
Seniman Cowongan Kang Titut, Guyon Banyumas dengan admin-nya Kang Hari Widiyanto,
Anto Jamil Batik Sokaraja Banyumas, Edi Romadhon dengan Theater
Getheknya dan masih banyak lagi tokoh-tokoh baru bermunculan tak dapat
ditulis disini, berusaha menggali, mengelola, menampilkan jagad
Banyumasan dengan cara dan profesinya masing-masing, telah menumbuhkan
warna peradaban baru sesuai dengan jamannya.
Sejarah Sangat Berperan Terhadap Dinamika Banyumas
Banyumas yang sangat dinamis dalam segala aspek kehidupannya bergerak dari masa ke masa, dengan aktor-aktor atau pelaku sejarahnya, dengan mengusung tema yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi sesuai dengan peradabannya, namun tetap utuh dalam bingkai semangat perjuangan para leluhur yang menjadi cikal bakal Banyumas.
Begitu banyak kisah dan sejarah telah tertulis di tanah Banyumas, begitu banyak cerita tergelar dalam lintasan pergulatan yang mewarnai deretan-deretan suka, duka, tangis dan tawa. Semuanya terukir indah dalam jalinan lembaran-lembaran jejak sejarah yang tergores begitu lugas dalam bait bait perjalanan yang menyertainya.
Babad Banyumas menjadi saksi betapa luas dan panjangnya sejarah manusia Banyumas. Babad Banyumas sebagai salah contoh hampir mencapai 60 versi yang ditulis oleh penulis yang berbeda-beda dari awal pendirian sampai kini menandakan betapa sejarah Banyumas mengalami proses yang terus menerus ber-evolusi dan berevolusi melahirkan Babad-Babad baru yang sangat berbeda dengan Babad Pasir Luhur dan Babad Kutaliman yang diperkirakan hanya mempunyai satu buah Babad sebagai sejarah.
Banyumas itu Blaka Suta atau Cablaka bukan berarti
stagan dan statis, salah kedaden kalau kemudian mengartikulasikan Cablaka
sebagai idiom manusia tanpa perubahan. Salah besar menganggap Cablaka sebagai
sekelompok manusia yang tak membaca peradaban, sifat egaliter merupakan modal
dasar dalam mengarungi peradaban dengan tumpukan sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang sangat majemuk munuju Banyumas yang adil dan sejahtera.
Sejarah Sangat Berperan Terhadap Dinamika Banyumas
Banyumas yang sangat dinamis dalam segala aspek kehidupannya bergerak dari masa ke masa, dengan aktor-aktor atau pelaku sejarahnya, dengan mengusung tema yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi sesuai dengan peradabannya, namun tetap utuh dalam bingkai semangat perjuangan para leluhur yang menjadi cikal bakal Banyumas.
Begitu banyak kisah dan sejarah telah tertulis di tanah Banyumas, begitu banyak cerita tergelar dalam lintasan pergulatan yang mewarnai deretan-deretan suka, duka, tangis dan tawa. Semuanya terukir indah dalam jalinan lembaran-lembaran jejak sejarah yang tergores begitu lugas dalam bait bait perjalanan yang menyertainya.
Babad Banyumas menjadi saksi betapa luas dan panjangnya sejarah manusia Banyumas. Babad Banyumas sebagai salah contoh hampir mencapai 60 versi yang ditulis oleh penulis yang berbeda-beda dari awal pendirian sampai kini menandakan betapa sejarah Banyumas mengalami proses yang terus menerus ber-evolusi dan berevolusi melahirkan Babad-Babad baru yang sangat berbeda dengan Babad Pasir Luhur dan Babad Kutaliman yang diperkirakan hanya mempunyai satu buah Babad sebagai sejarah.
Mempertahan
masa lalu secara membabi buta adalah kekeliruan besar terhadap alur sejarah sebagai
proses kesinambungan Generasi baru Banyumas. Kita tak mungkin hidup dengan tata
cara perilaku, pola pikir, kebudayaan, sistem politik, ekonomi, pertanian pada
jaman Eyang Adipati Mrapat atau pada masa pemerintahan Adipati penerusnya.
Cara pandang
sempit dengan mempetahan status quo membabi buta dengan mengusung tema-tema
nostalgia dengan segala asesoris-asesoris sejarahnya adalah cara pandang keliru
yang akan terkurung dalam alam utopia.
"Ngwang-wung",
hari kelahiran Banyumas selama puluhan tahun melembaga dengan menempatkan 06
April 1582 sebagi hari kelahiran Banyumasi menimbulkan banyak tafsir karena
beselisih hampir 11 tahun dengan aslinya tanggal 22 Februari 1571, ada apa sesungguhnya
terjadi. Adakah misi tertentu menjadikan Banyumas sebagai kekuasaan masa lalu
untuk mempertahankan status quo kekuasaan yang pernah menjadikan bagian dari
Kerajaan yang pernah memerintah Banyumas menjadi Kadipaten atau kepentingan
penjajah Belanda dan Jepang untuk kepentingannya, walllohu a'lam, sejarah yang akan
menjawabnya dikemudian hari.
Dalam
Kosmologi Jawa, hari kelahiran sangat erat keterkaitannya dengan watak, sifat
dan kepribadian serta keberuntungan, maka menjadi 'Ngwang wung’ Banyumas tampil
dengan wajah topeng yang meminjam Banyumas untuk dimainkan dalam kekuasaan yang
bersifat sintetis. Tanpa disadari Banyumas selama ini telah berjalan dalam
lintasan sejarah penuh kepura-puraan, karena tampil tidak utuh dalam lakon yang
dimainkan dengan ruh dan batin Banyumas dengan ruang dan waktu yang
menyertainya.
Sering kali
sejarah dijadikan alat kontrol oleh segelintir penguasa dan kelompok
kepentingan untuk menghancurkan kepribadian dan karakter sebuah bangsa dengan
memalsukan sejarah sebagai strategi membumihanguskan identitas jati diri agar
tak ingat lagi siapa sesungguhnya dirinya.
Menghilangkan
identitas jati diri menjadi senjata pemusnah paling ampuh laksana senjata
nuklir yang memporak porandakan segala aspek sejarah dan peradaban agar tak
ingat lagi dan tahu kebesaran peradaban yang telah ditorehkannya.
Penetapan 22
Februari 1571 sebagai hari Kelahiran Banyumas menajdi titik awal mengembalikan
Banyumas ke ranah identitas jati dirinya dengan seluruh ruang dan waktu serta
peristiwa yang menjadi pelaku adalah Wong Banyumas.
Karangnangka, 27 April 2017
Mulyono Harsosuwito Putra (Kang Mul)
Ketua Institut Studi Pedesaan dan Kawasan
Foto : Rama Mudibyo Whs, Bawor by Hok Gie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar