Foto by Hok Gie |
Mengapa Bawor Menjadi Maskot Banyumas?
Kemunculan sosok Bawor bermula saat menjadi logo KRAP
(Kejuaraan Renang Antar Perkumpulan) di Purwokerto pada tahun 1990. Dan
sosialisasi Bawor menjadi maskot Banyumas adalah pada saat pemerintahan Bupati
Djoko Sudantoko tahun 1988-1998. Melalui bagian Humas Pemkab Banyumas
menyodorkan Bawor, lalu dibuat logo spanduk dan penerbitan buku Hari Jadi
Banyumas. Pada saat itu, Bawor secara gethok-tular (berantai) ditetapkan begitu
saja menjadi maskot Banyumas tanpa melalui musyawarah, rembugan apalagi melalui
sidang DPRD dan ditetapkan dalam bentuk Perda atau Perbup. Hingga kini
penetapan Bawor menjadi maskot Banyumas tidak pernah mendapatkan reaksi
penentangan dari masyarakat Banyumas, maupun masyarakat kabupaten lain seperti
Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen yang berbahasa penginyongan
(Masyarakat yang berbahasa penginyongan disebut juga Masyarakat Banyumasan).
Dengan maraknya kemunculan sosok Wayang Carub Bawor dalam setiap acara besar
Banyumasan dapat dikatakan masyarakat Banyumasan pada umumnya dapat menerima
dan mengamininya.
Lalu Apa Hubungannya Bawor Dengan
Banyumasan?
BAWOR MASKOT BANYUMAS MANJING MANUNGGAL. Watak dan
spirit dalam diri sosok pribadi wong Banyumasan. Sosok Bawor telah menjadi
indentifikasi watak orang/masyarakat Banyumasan, yang menjadikan sosok tersebut
sebagai ikon/maskot Banyumasan. Bawor merupakan tokoh rekaan yang bersifat
lokalitas Banyumas. Dalam pakeliran gagrag Surakarta-Yogyakarta disebut Bagong
sedangkan di Sunda dinamai Cepot. Tokoh punakawan ini baik di Banyumas,
Solo-Yogya maupun Sunda asal-usulnya tidak sama dan agak samar. Dalam
pergelaran wayang kulit purwa gagrag Banyumas Kata “Bawor” atau “Carub Bawor”
menunjukan sebuah asimilasi budaya yang meliputi gaya Surakarta, Yogyakarta
(Mataraman), Kedu, Pasisiran, Sunda, Banyumas Lor Gunung dan Kidul Gunung. Hal
ini menunjukkan pakeliran wayang kulit purwa gagrag Banyumas merupakan
perpaduan dari berbagai gaya yang kemudian dituangkan kembali dalam bentuk yang
berbeda yang dijiwai oleh latar belakang Budaya Banyumasan yang bersumber dari
pola kehidupan masyarakat petani. Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan
kebudayaan, Banyumasan juga merupakan lokus budaya tersendiri yang dapat
dibedakan dari budaya induknya, yaitu budaya Jawa. Kebudayaan Banyumasan
merupakan percampuran yang sangat kental antara budaya Jawa dan Sunda yang sangat
dipengaruhi oleh masuknya kebudayaan Hindu-Budha, Islam dan budaya Barat. Dalam
wacana cultural encounter, berbagai kutub budaya tersebut telah saling bertemu
di Wilayah Banyumas dan sekitarnya (Sebut Banyumas Raya) yang merupakan daerah
marginal survival. Oleh karena itu budaya Banyumasan hadir dalam nuansa
kerakyatan yang memiliki warna-warna tertentu di dalamnya seperti warna Jawa,
Sunda, Hindu-Budha, Islam dan Barat. Watak Bawor lugu, jujur dan mbodho. Ini
untuk dihadapkan kepada kaum pangeran, raja bendaranya Bawor. Sebagai sosok
punakawan, pembantu atau abdi Bawor tidak boleh menunjukkan kecerdasanya, maka
ia mbodho atau pura-pura bodoh. Dalam lakon-lakon pekeliran gagrag Banyumas
sering digambarkan gaya akal-akalan Bawor dalam menyiasati mencari solusi untuk
mengakhiri gara-gara menjadi happy ending. Jadi kecerdasan Bawor dikemas dalam
gaya semblothongan atau dablongan. Maka, ia dipercaya oleh saudara-saudaranya
bahkan oleh para bendaranya. Karakter Bawor yang meresap ke sanubari masyarakat
Banyumasan juga tidak terlepas dari peranan Maestro Dhalang Gagrag Banyumasan
Ki Soegino Siswo Tjarito pada masa jayanya sekitar tahun 1970 hingga tahun
1990-an yang selalu dapat memunculkan karakter Bawor, sehingga karakter itu
akhirnya menular dan merupakan aktualisasi dari masyarakat pandhemen Wayang
Gagrag Banyumasan.
H. Budiono Heru Satoto dalam bukunya Banyumas Sejarah, Budaya dan Watak memaparkan bahwa Bawor memiliki gambaran watak : 1. Sabar lan narima, apa adanya dalam kehidupan kesehariannya. 2. Berjiwa kesatria (jujur, berkepribadian baik, toleran) rukun, suka membantu orang lain, dan mengutamakan kepentingan umum. 3. Cacutan (rajin dan cekatan). 4. Cablaka, lahir batinnya terbuka terhadap pertimbangan yang matang dari apa yang diucapkan secara spontan dengan bahan yang lugas, tanpa tedheng aling-aling atau eufenisme. Spirit Bawor adalah gambaran empat watak seperti di atas. Spirit ini merupakan gambaran masyarakat Banyumas yang berada di luar kelompok Nagari Gung dan masuk ke kultur ‘adoh ratu cedhek watu’. Personifikasi wong cilik, rakyat jelata, wong ndesa dan narima ing pandum. Suka atau tidak suka, tokoh Bawor memang dalam pergelaran Wayang Kulit Purwa Gagrag Banyumasan sangat mewakili komunitas wong cilik di Banyumas Raya. Namun di sisi lain terdapat sisi negatif tokoh ini yaitu merelakan diri bertampang jelek, rela menjadi dhagelan, hidup dalam kebodohan, lugu dan glogok soar (mengemukakan apa saja yang diketahui tanpa menimbang efek positif/negatifnya).
Hingga sekarang sosok Bawor selalu muncul di berbagai spanduk, slebaran, lampu hias, Logo Organisasi dan dalam bentuk peragaan dalam arak-arakan berbagai event.
H. Budiono Heru Satoto dalam bukunya Banyumas Sejarah, Budaya dan Watak memaparkan bahwa Bawor memiliki gambaran watak : 1. Sabar lan narima, apa adanya dalam kehidupan kesehariannya. 2. Berjiwa kesatria (jujur, berkepribadian baik, toleran) rukun, suka membantu orang lain, dan mengutamakan kepentingan umum. 3. Cacutan (rajin dan cekatan). 4. Cablaka, lahir batinnya terbuka terhadap pertimbangan yang matang dari apa yang diucapkan secara spontan dengan bahan yang lugas, tanpa tedheng aling-aling atau eufenisme. Spirit Bawor adalah gambaran empat watak seperti di atas. Spirit ini merupakan gambaran masyarakat Banyumas yang berada di luar kelompok Nagari Gung dan masuk ke kultur ‘adoh ratu cedhek watu’. Personifikasi wong cilik, rakyat jelata, wong ndesa dan narima ing pandum. Suka atau tidak suka, tokoh Bawor memang dalam pergelaran Wayang Kulit Purwa Gagrag Banyumasan sangat mewakili komunitas wong cilik di Banyumas Raya. Namun di sisi lain terdapat sisi negatif tokoh ini yaitu merelakan diri bertampang jelek, rela menjadi dhagelan, hidup dalam kebodohan, lugu dan glogok soar (mengemukakan apa saja yang diketahui tanpa menimbang efek positif/negatifnya).
Hingga sekarang sosok Bawor selalu muncul di berbagai spanduk, slebaran, lampu hias, Logo Organisasi dan dalam bentuk peragaan dalam arak-arakan berbagai event.
Salam Budaya Banyumasan.
Mudibyo WHS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar