Pagelaran Wayang Purwa |
Wayang merupakan puncak Budaya Jawa. Menelusuri
asal-usul wayang sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini banyak
cendikiawan dan budayawan meneliti dan menulis tentang wayang. Memang ada
persamaan, namun lebih banyak yang saling-silang pendapat. Para cendekiawan
menyatakan bahwa wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuno, sekitar
tahun 1500 SM (3.515 tahun lalu) jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk
ke tlatah Jawa.
Jadi, wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Jawa, yang dalam proses perkembangan, terus berkembang maju sehingga wujud yang lebih cantik dan isinya menjadi seperti sekarang ini. Perkembangan ini tidak akan berhenti dan akan berlanjut di masa-masa mendatang. Wayang yang kita lihat sekarang ini berbeda dengan wayang pada masa lalu.
Seni budaya akan selalu berubah dan berkembang, namun perubahan seni budaya wayang ini tidak berpengaruh terhadap jati dirinya, karena wayang telah memiliki landasan yang kokoh, memiliki daya tahan dan daya kembang sepanjang zaman.
Periodisasi
Sejarah pertama tentang adanya pertunjukkan wayang mengacu pada sebuah prasasti
yang berasal dari tahun 930, yang mengatakan si Galigi mawayang. Pada saat itu membawakan
sebuah cerita tentang Bima, seorang ksatria dari kisah Mahabharata. Penampilan
yang dibawakan oleh Galigi tercatat dalam kakawin Arjunawiwaha yang dibuat oleh
Mpu Kanwa pada tahun Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan
dengan cerita yang lebih berbobot, Ramayana dan Mahabharata.
Wayang berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang
bangsa Indonesia di sekitar tahun l.500 SM. (3.515 tahun lalu).
Ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek
moyang yang masih mempercayai Animisme dan Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
Asli.
Kemudian wayang terus mengikuti perjalanan sejarah
bangsa sampai pada masuknya agama Hindu di Jawa sekitar abad keenam, dimana
Bangsa Jawa mulai membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara,
bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya.
Pada masa itu wayang pun berkembang pesat, mendapat
pondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang tinggi.
Wayang sendiri berasal dari sebuah kalimat yang berbunyi “Ma Hyang”, artinya berjalan menuju yang maha tinggi dapat diartikan sebagai roh, Tuhan, ataupun Dewa. Sekarang ini banyak orang mengartikan Wayang adalah bayangan, hanya karena melihat dari bayangan. Ada juga Dalang menggathuk-gathuk kata-kata Ngudhal Piwulang, dimana ngudhal berarti menyebar luaskan atau membuka dan piwulang adalah petunjuk atau pelajaran.
Selama abad X hingga XV, telah mulai ditulis berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Panuluh, Empu Tantular, dengan Karya sastra wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara lain Bharatayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala, sedangkan pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan peraga (paraga=wujud) wayang terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang bagus dengan cerita Ramayana dan Mahabharata. Pergelaran wayang mencapai mutu seni yang tinggi sampai sampai digambarkan "Hanonton ringgit nangis esekel", artinya: “tontonan wayang sangat mengharukan”.
Dari sini kita dapat melihat bahwa apakah dapat dikatakan Sunan Kalijaga yang menciptakan wayang seperti yang banyak dipercayai? Apakah Sunan Kalijaga menggunakan wayang untuk siar agama dan memodifikasi cerita-cerita dan isinya? Apakah Sunan mempercantik bentuk wayang? Hal ini tidak perlu kita perdebatkan karena sampai saat ini wayang juga masih terus dipercantik baik paraga maupun isinya oleh para praktisi pedhalangan.
Cerita Ramayana dan Mahabarata versi India sudah banyak berubah alur ceritanya. Kalau Ramayana dan Mahabarata India merupakan cerita yang berbeda satu dengan lainnya, di Indoenesia menjadi satu kesatuan. Dalam pewayangan cerita itu bermula dari kisah Ramayana terus bersambung dengan Mahabarata, malahan dilanjutkan dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata asli berisi 20 parwa, sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa.
Perkembangan
Wayang Setelah Masuknya Agama Islam
Falsafah Ramayana dan Mahabharata yang Hinduisme diolah
sedemikian rupa sehingga diwarnai menjadi nilai-nilai agama Islam. Hal ini
tampak pada kedudukan dewa, garis keturunan dan sebagainya.
Wayang diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita
gubahan baru yang bisa disebut lakon "carangan", maka Ramayana dan
Mahabharata benar-benar berbeda dengan aslinya.
Begitu pula, Ramayana dan Mahabharata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan Mahabharata yang berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat lainnya. Ramayana dan Mahabharata dari India itu sudah menjadi Jawa karena diwarnai oleh budaya asli dan nilai-nilai budaya yang ada di Jawa.
Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap wayang. Pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara mempergelarkan wayang.
Wayang pada zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi, diperbaiki menjadi bentuk imajinatif (ginambar miring) seperti wayang sekarang ini.
Pertunjukan juga dipermodern dengan peralatan seperti
kelir atau layar, blencong atau lampu, dan debog (pohon pisang) untuk
menancapkan wayang. Zaman sekarang telah ditambah lagi dengan sound effect,
lighting system, pesinden yang cantik-cantik dan banyak lagi.
Isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan dan komunikasi massa.
Wayang yang telah diperbaharui secara kontekstual
dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk
komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak.
Keaslian
Bahwa wayang itu asli Jawa dapat ditelusuri dari
penggunaan bahasa seperti wayang, kelir, blencong, kepyak (keprak), dhalang,
kotak, dan lain-lain. Kesemuanya itu bahasa Jawa Asli. Berbeda misalnya dengan
cempala yaitu alat pengetuk kotak, adalah bahasa Sansekerta.
Bahasa dalam wayang terus berkembang secara pelan namun pasti dari bahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi kedalam bahasa Jawa Baru, dan bukan tidak mungkin kelak wayang ini akan menggunakan bahasa Indonesia.
Wayang selalu menggunakan bahasa campuran yang biasa
disebut 'basa rinengga' maksudnya bahasa yang telah disusun indah sesuai
kegunaan dan kedudukan para tokoh wayang.
Dalam seni pedhalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus dikuasai dengan baik oleh para dhalang.
Bentuk peraga wayang juga mewujudkan keaslian Wayang
Indonesia, karena bentuk peraga wayang yang imajinatif dan indah itu merupakan
proses panjang karya seni yang dilakukan oleh para pujangga dan seniman perajin
Indonesia sejak dahulu.
Begitu majunya seni rupa wayang saat ini sudah mencapai tingkat 'sempurna'. Kekuatan utama budaya wayang, yang juga merupakan jati dirinya, adalah kandungan nilai filsafatnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukan wayang.
Wayang bukan lagi sekedar tontonan 'shadow play, melainkan sebagai 'wewayanganing ngaurip' yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Wayang dapat secara nyata menggambarkan konsep hidup 'sangkan paraning dumadi', manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya.
Walau di negara lain juga banyak ditemui seni budaya semacam wayang yang dikenal dengan 'puppet show’, namun tidak mampu atau berbeda dengan wayang Jawa yang indah dan sangat dalam maknanya. Itulah asal-usul wayang, asli Jawa yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Marilah kita lestarikan Budaya Asli Jawa yang hebat ini.
Disadur dari tulisan S. Noto Widjojo di akun Facebook PECINTA WAYANG KULIT, 30 September 2015 dan kepustakaan.
Revisi dan diselaraskan oleh Mudibyo WHS, S.AP, M.M (Kang Wirya Congot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar