Pagelaran Wayang Purwa; Ruwatan |
Ruwatan, adalah suatu upacara ritual yang mengingatkan semuanya, termasuk kita bahwa; sebagai manusia akan selalu 'dimakan' Bathara Kala.
Maksudnya, semuanya, termasuk kita akan selalu rusak dimakan waktu. (Kala =
waktu). Karenanya, kita perlu untuk 'ngruwat' (ngruwat = merawat).....
Pagelaran
wayang yang dilakukan untuk keperluan ‘ruwatan’, lazimnya dilakukan di sekitar
tanggal 1 bulan Sura. Pada masyarakat suku-bangsa Jawa, pagelaran wayang kulit
purwa yang dilaksanakan dalam rangka ‘ruwatan’, lazimnya juga disesuaikan untuk
keperluan tertentu. Secara adat dikenal ada sejumlah upacara ‘ruwatan’ yang
berbeda-beda. Namun, banyak juga masyarakat kita yang sebenarnya tidak mengerti
apa itu ruwatan, bagaimana, mengapa, dan untuk apa pagelaran wayang
dilaksanakan.
Salah satu
bentuk upacara ritual adat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat
tradisional suku-bangsa Jawa, adalah upacara ritual adat ruwatan.
Upacara ritual adat ruwatan ini, pada dasarnya bertujuan mengingatkan
manusia akan adanya berbagai keburukan dan risiko yang mungkin akan ditanggung
manusia sebagai akibatnya. Keburukan-keburukan yang dimaksud itu, umumnya
berkait erat dengan sejumlah peri-laku atau kebiasaan tertentu yang bersifat
negatif.
Pinisepuh (Tetua Adat) memberi ular-ular (wejangan) |
Para Sukerta diserahkan kepada Ki Dhalang Kandhabhuwana untuk diruwat |
Pada masa
sekarang, disebabkan ketidak-tahuan dan ketidak-pahaman akan makna dan hakekat
sesungguhnya dari pelaksanaan upacara ritual adat ruwatan, banyak
kalangan masyarakat suku-bangsa Jawa (terutama orang yang berada, pejabat, atau
orang yang kaya) yang sekedar melaksanakan upacara ritual adat ruwatan
ini secara besar-besaran, sekedar untuk menunjukkan atau pamer kepada khalayak
ramai, bahwa mereka itu ‘orang Jawa yang menjunjung tinggi tradisi
nenek-moyangnya’.
Sebagian
besar golongan ini, meskipun melaksanakan secara besar-besaran, bahkan
seringkali tidak pernah tahu sama sekali dan tidak tahu apa-apa tentang upacara
ritual adat ruwatan. Dengan kata lain, jika mereka cukup kaya dan
beruang; maka rasanya tidak lengkap dan tidak afdol, jika tidak melaksanakan
upacara ritual adat ruwatan. Dengan demikian, upacara ritual adat ruwatan
tidak lebih dan tidak kurang, lalu menjadi semacam kecenderungan (Inggris : trend)
untuk menampilkan diri, mengangkat harga diri, dan menaikkan nilai kehormatan
seseorang di mata kelompok masyarakat sekitarnya. Kecenderungan ini, justru
banyak terjadi pada masyarakat suku-bangsa Jawa yang terpelajar, berpendidikan
cukup tinggi, kaya, merupakan orang terpandang, atau mempunyai jabatan yang
penting. Sebagian besar dari mereka itu, tinggal di kota-kota besar.
Upacara
ritual adat ruwatan, sebenarnya sangat erat hubungannya dengan adanya
sebuah kepercayaan, yang sudah hidup selama ratusan tahun di pulau Jawa.
Masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa sangat mempercayai bahwa kehidupan
mereka itu sebenarnya sangat dipengaruhi oleh sang Kâlâ; yang dalam
dunia wayang diperankan oleh Bathârâ Kâlâ, yakni déwâ yang
dipercayai sebagai pembawa maut, pembawa sial, atau pembawa mala-petaka dalam
kehidupan manusia di alam jânâlokâ; baik manusia secara individu, maupun
manusia secara kelompok sosial. Dalam hal ini, istilah kâlâ
sebenarnya pengertiannya lebih mewakili ‘waktu’. Dalam bahasa Jawa, kata sângkâ-kâlâ,
berarti : terompet penanda waktu. Pada jaman dahulu, sângkâ-kâlâ
digunakan untuk memberi aba-aba (tanda) kepada pasukan untuk mulai melakukan
penyerangan, penyerbuan, atau digunakan untuk memberi aba-aba (tanda) kepada
pasukan untuk menghentikan penyerangan. Sângkâ-kâlâ, merupakan sejenis
terompet yang dibuat dari rumah keong laut (siput laut) yang berukuran besar.
Alat ini, dibunyikan dengan cara ditiup.
Tetapi kâlâ
juga mempunyai pengertian lain, yaitu : jerat, jebakan, atau perangkap. Dalam
bahasa Jawa, kata dikâlâ,[1] mempunyai arti : dijerat. Jika kedua arti
kata itu digabungkan, maka pengertian kâlâ menjadi lebih jelas, yaitu : jerat
waktu, jebakan waktu, perangkap waktu, atau waktu yang menjerat. Dengan
demikian, lebih jelas pula peran sang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ
dalam kehidupan manusia di alam jânâlokâ; yaitu menjebak manusia
sehingga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan masalah waktu. Pengertian
‘waktu’ di sini, lebih mengarah kepada ‘umur manusia’. Dengan kata lain, jika sang
Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ berhasil menjebak seorang manusia, maka umur
manusia tersebut akan menjadi pendek atau mati.
Dalam
hikayatnya, sang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ diberi wewenang oleh Sang
Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya), untuk mencelakakan, menjebak
dan ‘memakan’ manusia yang berperi-laku buruk. Untuk menangkal keganasan sang
Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ inilah, maka manusia perlu diruwat.
Adapun satu-satunya orang yang berhak melakukan upacara ritual adat ruwatan,
untuk menangkal keganasan sang Kâlâ, adalah seorang tokoh yang dikenal
sebagai dhalang Kândhâ Buwânâ; yang dalam hikayatnya disebut sebagai
penjelmaan Bathârâ Wîsnu atau Sang Hyang Wîsnu.
Pelaksanaan Ruwat Sukerta oleh Ki Dhalang Kandhabhuwana |
Istilah ruwat,
mempunyai arti : pelihara atau rawat. Dalam bahasa Jawa, kata diruwat,
mempunyai arti : dipelihara atau dirawat. Istilah memelihara atau merawat,
dalam bahasa Jawa disebut : ngruwat, ngrawat, angruwat, angrawat, hangruwat,atau
hangrawat. Sedangkan pelaksanaan kegiatannya, dalam bahasa Jawa disebut : ruwatan
atau rawatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa upacara ritual adat ruwatan,
bertujuan memberikan petunjuk bagaimana cara memelihara atau merawat ‘sesuatu
hal’; sehingga kondisinya menjadi lebih baik, atau sekurang-kurangnya
kondisinya tetap terpelihara dengan baik. Dalam pengertian ini, yang dimaksud
dengan ‘sesuatu hal’, adalah kehidupan manusia itu sendiri.
Gamelan berbunyi nyaring, gendhîng Talu
ditabuh menguak pagelaran; mengiring datangnya dhalang melangkah
ke alam jagat raya. Menceritakan perjalanan waktu, menjelajahi hikayat
kehidupan manusia di alam jânâlokâ. Lalu seakan semuanya menjadi hening
di dalam ramainya lelakôn manusia, menyadarkan kembali manusia akan
kekuatan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya).
Bayang-bayang dimainkan dalam keremangan gejolak lidah api bléncông;
menghidupkan citra kehidupan masa lampau, masa sekarang, dan masa depan.
Membuka mata hati manusia, mengingatkan bahwa hidup ini hanyalah sepenggal
waktu yang pendek, ibarat singgah minum dalam perjalanan lelakôn manusia
yang panjang. Gunungan diangkat tinggi-tinggi, membayangkan getar-getar
kehidupan di dalam layar lelakôn manusia. Tembang dan syair
menceritakan awal dan akhir perjalanan kehidupan manusia di dunia yang fana.
Penuh cerita tentang keburukan dan kebaikan.
Begitulah
lazimnya permulaan sebuah pagelaran ruwatan dalam masyarakat
tradisional suku-bangsa Jawa dilaksanakan. Masyarakat tradisional suku-bangsa
Jawa, sejak jaman dahulu kala, sudah mengenal adanya upacara ritual adat yang
kemudian disebut sebagai upacara ritual adat ruwatan. Pada jaman modern
ini (pada permulaan abad keduapuluh satu), tradisi untuk melaksanakan upacara
ritual adat ruwatan ini, masih dapat kita saksikan. Bahkan di kota-kota
besar ada semacam kecenderungan untuk melaksanakan upacara ritual adat ruwatan
secara besar-besaran, misalnya dengan menggelar pertunjukan wayang kulît
pûrwâ yang dimainkan oleh dhalang terkenal. Sering pula kita bisa
menemukan upacara ritual adat ruwatan yang dilaksanakan oleh anggauta
masyarakat yang dapat kita golongkan berpendidikan, terpandang, berada, tokoh
masyarakat, pejabat negara, atau orang kaya. Upacara ritual adat ruwatan,
seringkali dilaksanakan oleh suatu keluarga, hanya demi memenuhi tradisi dan
adat-istiadat semata. Sedangkan kenyataannya, tidaklah terlalu banyak orang
yang tahu hakekat yang sesungguhnya dari upacara ritual adat ruwatan itu
sendiri.
Menurut
kepercayaan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, upacara ritual adat ruwatan
harus dilaksanakan jika ada salah satu anggauta keluarga yang berbuat
kesalahan, melanggar pantangan, atau ada suatu kondisi tertentu dalam satu
keluarga. Menurut adat tradisi masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa,
terdapat berbagai macam pantangan, syarat, atau keadaan, yang secara
tradisional harus diperhatikan dan ditaati. Pelanggaran atas suatu pantangan
tertentu, atau terjadinya suatu kondisi tertentu pada suatu keluarga, berakibat
anggauta keluarga yang bersangkutan harus diruwat. Jika tidak diruwat,
maka anggauta keluarga tersebut dipercayai akan celaka atau menjadi mangsa sang
Kâlâ.
Upacara
ritual adat ruwat jalmâ, adalah suatu upacara ritual adat ruwatan
yang dilakukan untuk menangkal keganasan Bathârâ Kâlâ atau Sang Hyang
Kâlâ terhadap jalmâ (manusia). Di bawah ini diterakan berbagai
pantangan atau kondisi yang membuat seseorang harus diruwat. Sudah
barang tentu bahasannya harus dipandang dalam lingkup masa lampau. Namun
demikian, pada lingkup masa sekarang, masih banyak juga yang berlaku. Antara
lain, misalnya sebagai berikut:
- Seseorang yang menggulingkan dandang; yaitu periuk atau wadah yang digunakan untuk menanak nasi. Pada masa lampau, masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa menanak nasi menggunakan dandang. Jika seorang anggauta keluarga karena sesuatu hal menggulingkan dandang, sehingga pecah atau rusak; maka akibatnya seluruh keluarga tidak akan bisa makan. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa kehidupan kita harus ditempuh secara hati-hati dan penuh perhitungan. Jika kita tidak berhati-hati, dan berbuat suatu kesalahan; maka seringkali yang menjadi korban tidak saja yang berbuat kesalahan, tetapi juga orang lain yang berada di sekitarnya; misalnya, anggauta keluarga lainnya. Dandang, melambangkan sarana yang digunakan untuk menghasilkan suatu kesejahteraan (misalnya : perusahaan, tempat kerja, atau lahan pertanian), yang diberikan atau dikaruniakan oleh Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita.
- Seseorang yang memecahkan pipisan; yaitu sarana penggiling yang dibuat dari watu (batu), yang digunakan untuk membuat ramuan jamu (obat tradisional). Pada masa yang lampau, masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa sangat menggantungkan kesehatan jasmaninya pada berbagai jenis jamu (obat-obatan tradisional) buatan sendiri. Karenanya, setiap keluarga selalu menyediakan sebuah pipisan, sebagai sarana untuk membuat jamu (obat tradisional). Jika seorang anggauta keluarga karena sesuatu hal menjatuhkan pipisan, sehingga pecah atau rusak; maka akibatnya jika ada salah satu anggauta keluarga yang sakit, mungkin tidak akan bisa diobati; karena alat pembuat obatnya rusak. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa peri-laku kehidupan kita harus ditempuh secara hati-hati dan penuh perhitungan. Jika kita tidak berhati-hati, mungkin saja anggauta keluarga yang lain bisa mendapat mala-petaka atau celaka. Pipisan, melambangkan sarana penangkal terhadap berbagai kesulitan (misalnya : manajemen, cara, sistem, atau konsultan/penasehat perusahaan kita), yang diberikan atau dikaruniakan oleh Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita.
- Seseorang yang menumpahkan segâ (nasi) dari tempatnya. Nasi, adalah makanan utama kebanyakan keluarga masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa. Secara tradisional bahkan pari (padi) dan nasi, menduduki tempat yang sangat terhormat,[2] dan dipandang sebagai suatu pemberian oleh Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) yang harus selalu disukuri. Jika seseorang karena sesuatu hal menumpahkan segâ (nasi), maka ia dianggap tidak menghormati pemberian Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Dan lebih celaka lagi, jika nasi sampai ditumpahkan, maka akan terbuang percuma. Sebagai akibatnya, mungkin seluruh anggauta keluarga tidak akan bisa makan. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa kita harus selalu berhati-hati dan berlaku cermat dengan rejeki (apapun bentuknya) yang telah kita terima. Jika kita tidak melakukan hal itu, mungkin saja kehidupan kita akan menjadi susah. Sega (nasi), melambangkan hasil yang didapat dari sarana dan penangkal berbagai kesulitan yang kita gunakan; (misalnya : harta, rejeki, tanah, uang, hasil bumi, pangan, atau tempat tinggal), yang merupakan pemberian (karunia) dari Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita
- Keluarga yang mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘ontang-antîng’;[3] yaitu anak tunggal atau anak semata wayang. Anak tunggal, baik pria atau wanita, umumnya akan berlaku manja. Jika orang-tua tidak berlaku hati-hati dalam mendidiknya, maka di kemudian hari mungkin anak tunggal ini akan menyulitkannya. Misalnya, anak tunggal ini akan cenderung menjadi sulit untuk mandiri, malas, kemratu-ratu (berperi-laku seakan-akan seperti ratu atau râjâ), mau menang sendiri, segala yang diminta harus dipenuhi seketika, cenderung untuk selalu bergantung kepada orang-tua, atau cenderung selalu meminta berbagai hal yang mungkin sulit untuk ditolak dan mungkin juga sulit untuk dipenuhi oleh orang-tuanya yang sangat menyayanginya. Anak dengan peri-laku seperti ini, tentu saja akan sangat menyulitkan orang-tuanya.
- Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘kedhânâ-kedhini’;[4] yaitu dua anak bersaudara kandung, pria dan wanita. Dua anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, apalagi jika orang-tuanya tidak selalu bisa mendampinginya; bisa-bisa terjadi hubungan sex antar saudara sekandung. Sudah barang tentu, jika hal ini terjadi, akan menjadi mala-petaka bagi seluruh keluarganya.[5]
- Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘sendhang kapît pancuran’;[6] yaitu tiga anak bersaudara kandung, yang pertama (sulung) seorang pria,[7] yang kedua (tengah)[8] seorang wanita; dan yang ketiga (bungsu)[9] seorang pria. Tiga anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin anak perempuannya (anak kedua) yang mempunyai kakak dan adik pria, akan menjadi bersifat kelaki-lakian (Inggris : tomboy). Dan sangat mungkin karena berada di lingkung pria; maka anak ini juga akan berperi-laku dan mempunyai berbagai kebiasaan pria, termasuk berbagai kebiasaan buruknya.
- Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘pancuran kapît sendhang’; yaitu tiga anak bersaudara kandung, yang pertama (sulung) seorang wanita, yang kedua (tengah) seorang pria; dan yang ketiga (bungsu) seorang wanita. Tiga anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin anak lelakinya (anak kedua) yang mempunyai kakak dan adik perempuan, akan menjadi bersifat kewanita-wanitaan atau menjadi wandu (banci; Inggris : gay). Dan sangat mungkin karena berada di lingkung wanita; maka anak ini juga akan berperi-laku dan mempunyai berbagai kebiasaan wanita, termasuk berbagai kebiasaan buruknya.
- Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘pandhâwâ limâ’; yaitu lima anak bersaudara kandung, semuanya pria. Lima orang anak bersaudara semuanya lelaki, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin kelima anak lelakinya itu akan menjadi sangat nakal dan berandal. Mungkin saja mereka berlima itu, akan dikenal oleh tetangga, masyarakat, atau orang sekelilingnya sebagai ‘gerombolan anak lelaki yang bengal’ (Inggris : crossboy).
- Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘putri pandhâwâ’; yaitu lima anak bersaudara kandung, semuanya wanita. Lima orang anak bersaudara semuanya wanita, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin kelima anak perempuannya itu akan menjadi sangat nakal dan berandal. Mungkin saja mereka berlima itu, akan dikenal oleh tetangga, masyarakat, atau orang sekelilingnya sebagai ‘gerombolan anak perempuan yang bengal’ (Inggris : crossgirl).
- Jika suatu keluarga mempunyai dua anak bersaudara kandung, dan kedua-duanya pria. Jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, bisa-bisa di antara mereka berdua itu menjadi saling menyukai dan mencintai; dan bisa saja menjadi homosex.
- Jika suatu keluarga mempunyai dua anak bersaudara kandung; dan kedua-duanya wanita. Jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, bisa-bisa di antara mereka berdua itu menjadi saling menyukai dan mencintai; dan bisa saja menjadi lesbian.
Dhalang yang memainkan wayang dalam pagelaran wayang kulît
pûrwâ yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwat
jalmâ; biasanya merupaan seorang dhalang yang sudah tua dan sudah
mempunyai banyak pengalaman. Selain itu, dhalang tersebut biasanya juga
seorang dhalang ruwat. Dalam cerita Murwâ Kâlâ yang lazim
digunakan untuk keperluan pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ,
dikenal adanya empat tokoh penting; yaitu :
- Tokoh Mbôk Rândhâ Dhadhapan; janda dari desa Dhadhapan, mewakili tokoh ibu, yaitu orang yang paling bertanggung-jawab terhadap anak. Tokoh ini, juga mewakili tokoh ibu atau orang-tua dalam suatu keluarga, yang anggauta keluarganya harus diruwat.
- Tokoh Jâkâ Jatûs Mati;[10] mewakili seseorang yang mungkin bisa mengalami mala-petaka; atau mewakili anggauta keluarga yang harus diruwat. Tokoh ini, diceritakan sebagai anak mbôk rândhâ Dhadhapan.
- Tokoh Sang Hyang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ; mewakili kondisi negatif atau mala-petaka yang mungkin akan didapatkan seseorang. Tokoh ini, mewakili kekuatan yang akan menghukum dan ‘memangsa’ anggauta keluarga yang belum diruwat, dan telah melanggar pantangan atau berada dalam kondisi khas.
- Tokoh Dhalang Kândhâ Buwânâ; mewakili tokoh yang memberikan nasehat atau jalan ke luar. Tokoh ini, mewakili kekuatan yang akan menyadarkan, menangkal, atau menghilangkan hukuman yang dijatuhkan terhadap anggauta keluarga yang telah melanggar pantangan, atau berada dalam kondisi khas.
Dari pembahasan
di atas, dapatlah dibayangkan sejumlah akibat dan kecenderungan yang bersifat
negatif, yang diakibatkan oleh adanya beberapa kondisi tertentu dalam suatu
keluarga; atau, akibat adanya suatu pantangan adat yang tidak dipatuhi. Kita
tidak mempersoalkan, apakah adat-istiadat tradisional tersebut dianggap kuno
atau tidak; yang jelas segala sesuatu yang dijadikan pantangan dalam masyarakat
tradisional kita itu, mempunyai tujuan yang baik; yakni menghindarkan dari
terjadinya mala-petaka. Selain itu, sudah barang tentu bertujuan pula
mengingatkan kita untuk selalu memperbaiki peri-laku, moral, budi-pekerti,
lingkung sekitar, keadaan, dan kondisi keluarga; sehingga menjadi lebih baik,
berkepribadian positif, dan bertanggung-jawab.
Menurut
kepercayaan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, anggauta keluarga yang
melanggar pantangan adat; atau, adanya suatu kondisi khas anak-anak dalam suatu
keluarga; jika tidak diruwat (jika tidak dirawat), akan menjadi santapan
sang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ. Atau, secara singkat mungkin akan
mendatangkan mala-petaka. Untuk menghindarkan terjadinya hal itu, maka perlu
dilaksanakan upacara ritual adat ruwat jalmâ. Upacara ritual adat ruwat
jalmâ, biasanya dilaksanakan dengan cara melakukan pagelaran wayang
kulît pûrwâ. Pagelaran ini, kadang-kadang dilakukan secara pendek
(sekitar dua atau tiga jam); atau, semalam suntuk. Cerita atau lakôn
yang dimainkan dalam pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dilaksanakan
dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ; biasanya merupakan
cerita yang sangat khas, yaitu cerita Murwâ Kâlâ.
Dalam hikayat
Murwâ Kâlâ, diceritakan bahwa Jâkâ Jatûs Mati selama hidupnya
telah berbuat banyak kesalahan dengan melanggar berbagai pantangan; misalnya :
memecahkan pipisan milik ibunya. Sebagai akibatnya, ia dikejar-kejar
oleh Bathârâ Kâlâ atau Sang Hyang Kâlâ; untuk dijadikan mangsa.
Dalam hikayat ini, juga diceritakan adanya berbagai jenis ‘korban’ yang boleh
dimangsa dan dimakan oleh Bathârâ Kâlâ. Daftar persyaratan makanan yang
boleh dimakan oleh Bathârâ Kâlâ dan berbagai makanan yang tidak boleh
dimakan oleh Bathârâ Kâlâ, diberikan oleh para déwâ penguasa
jagat raya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ‘makanan’, secara umum adalah
manusia yang telah berbuat kesalahan, dengan melanggar berbagai pantangan;
atau, manusia yang berada dalam suatu kondisi khas.
‘Daftar
makanan’ atau ‘menu makanan’ bagi Bathârâ Kâlâ ini, yang isinya
sebenarnya adalah daftar persyaratan manusia yang berada dalam kondisi khas;
dalam hikayatnya, diceritakan dituliskan di dahi Bathârâ Kâlâ, dalam
bentuk rangkaian tulisan atau teraan yang disebut ‘Rajah Kâlâ Câkrâ’.[11]
Karena daftar makanan itu diterakan di dahi Bathârâ Kâlâ, maka ia tidak
akan pernah lupa; dan akan selalu ingat, apa saja yang menjadi makanannya. Di
dalam hikayatnya, Bathârâ Kâlâ hanya diperbolehkan menyantap ‘makanan’
yang belum diruwat. Sedangkan ‘makanan’ yang sudah diruwat, tidak
diperbolehkan dimakan oleh Bathârâ Kâlâ. Dalam hal ini, tokoh yang
ditugasi untuk menangkal dan menyelamatkan manusia yang telah berbuat
kesalahan, melanggar pantangan, atau mempunyai suatu kondisi khas; adalah tokoh
dhalang Kândhâ Buwânâ. Tokoh ini, dalam hikayat diceritakan sebagai
penjelmaan Bathârâ Wîsnu atau Sang Hyang Wîsnu; yang merupakan déwa
kebaikan, yang bertugas memerangi kejahatan dan kebathilan.[12]
Dalam
pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ, biasanya anggauta keluarga
yang akan diruwat, dimandikan lebih dahulu menggunakan air suci oleh
seorang dhalang ruwat; yang bertindak sebagai pawang atau dhukûn
ruwat dalam upacara ritual adat ruwat jalmâ. Secara tradisional, air
suci ini harus diambil dari tujuh mata air yang berbeda letaknya. Mencari dan
mengupayakan air yang berasal dari tujuh sumber air yang berbeda, bukan
merupakan hal yang mudah (terutama pada masa sekarang). Ini mempunyai makna, bahwa
upaya awal untuk memperbaiki sesuatu yang telah terlanjur rusak; misalnya :
peri-laku, sifat, atau kebiasaan; bukan merupakan hal yang mudah; dan untuk
bisa dilaksanakan, diperlukan upaya yang luar biasa. Dengan demikian,
persyaratan adanya air yang berasal dari tujuh sumber yang berbeda ini, harus
dipandang sebagai sebuah perlambangan; yang menggambarkan kepada kita betapa
sulitnya upaya awal yang diperlukan oleh seseorang, untuk memperbaiki berbagai
keburukan, peri-laku, sifat, atau kebiasaannya. Dan hanya dengan upaya yang
luar biasa, perbaikan diri itu bisa dilaksanakan.
Pada saat pagelaran
wayang yang dilaksanakan dalam rangka upacara ritual adat ruwat jalmâ
itu dilakukan; anggauta keluarga yang hendak diruwat, disusupkan
(dimasukkan) ke dalam panggung pagelaran, melalui bagian depan tempat
duduk dhalang. Peristiwa ini, dilakukan pada saat pagelaran wayang
hendak dimulai. Kemudian, anggauta keluarga yang hendak diruwat itu,
diberi tempat duduk di sebelah kanan atau di belakang tempat duduk dhalang.
Peristiwa ini, bukanlah sekedar peristiwa fisik, melainkan merupakan sebuah
peristiwa perlambangan; yakni melambangkan bahwa anggauta keluarga yang hendak diruwat
itu (yang disusupkan ke dalam panggung pagelaran), sekarang sudah
menjadi bagian dari pagelaran wayang. Ia, bukan lagi penonton,
melainkan sudah dilebur dan menjadi bagian langsung dari cerita Murwâ Kâlâ.
Keberadaannya di dunia ini, kemudian diwakili di geber/kelîr wayang
(layar wayang) oleh tokoh Jâkâ Jatûs Mati dalam pagelaran wayang
ruwatan tersebut.
Selama pagelaran
berlangsung, diceritakan bahwa bermacam pantangan telah dilanggar oleh Jâkâ
Jatûs Mati. Alur ceritanya sendiri, secara jelas menggambarkan bagaimana
tokoh Jâkâ Jatûs Mati dikejar-kejar oleh Bathârâ Kâlâ; karena ia
merupakan manusia yang berbuat kesalahan, dengan melanggar berbagai pantangan
yang diterakan di dalam Rajah Kâlâ Câkrâ.
Untuk
menghindarkan Jâkâ Jatûs Mati dari kejaran Bathârâ Kâlâ, maka mbôk
rândhâ Dhadhapan berkenan meminta bantuan seorang dhalang untuk
melaksanakan upacara ritual adat ruwat jalmâ.[13] Dhalang yang
dipanggil untuk melaksanakan upacara ritual adat ruwat jalmâ ini, adalah
dhalang Kândhâ Buwânâ,[14] yang tidak lain adalah penjelamaan Bathârâ
Wîsnu atau Sang Hyang Wîsnu. Makna dari peristiwa ini, adalah bahwa
mengingatkan seseorang dari berbagai peri-laku dan sifat buruk yang
dimilikinya, umumnya tidak bisa dilakukan oleh anggauta keluarga sendiri
(orang-tua atau saudara). Seorang anak yang berperi-laku buruk misalnya,
seburuk apapun peri-lakunya, akan tetap dipandang sebagai anak kesayangan oleh
orang-tuanya. Bahkan di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa ada
pepatah ‘kencânâ katôn wingkâ’;[15] yang artinya : anak sendiri, seburuk
apapun peri-lakunya, akan diperlakukan dan dianggap sebagai anak yang baik.
Dengan pemahaman seperti ini, jelas akan sulitlah bagi suatu keluarga
(orang-tua) jika hendak menasehati anggauta keluarga atau anaknya. Karenanya,
lalu dibutuhkan peran ‘orang ketiga’ atau orang lain yang disegani, untuk
menasehati anggauta keluarga, atau anak yang bermasalah itu. Dalam hal ini,
peran ‘orang lain’ ini, dalam upacara ritual adat ruwat jalmâ, dilakukan
oleh dhalang. Sedangkan di dalam layar pagelaran wayang, peran
ini dilakukan oleh tokoh dhalang Kândhâ Buwânâ.
Di sinilah
terjadi dialog antara kejahatan dengan kebaikan; antara dunia hitam dengan
dunia putih; antara peri-laku baik dengan peri-laku buruk; antara kebathilan
dengan kesucian. Berbagai proses yang harus ditempuh manusia sebagai suatu cara
untuk mengalahkan, menghilangkan, dan menetralisasi keburukan, kejahatan,
peri-laku buruk, kebiasaan buruk, dan sifat buruk manusia; diceritakan secara
tahap demi tahap oleh dhalang ruwat secara tidak langsung; lewat tokoh dhalang
Kândhâ Buwânâ. Selain itu, biasanya kepada tokoh Jâkâ Jatûs Mati
(yang sebenarnya mewakili anggauta keluarga yang hendak atau sedang diruwat)
juga diberikan berbagai nasehat, petuah, atau wejangan; yang berguna
untuk menempuh hidup.
Pagelaran
wayang kulît pûrwâ yang
dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ,
sebenarnya merupakan suatu pagelaran yang pada dasarnya menceritakan
proses pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ itu sendiri. Dengan
demikian, pagelaran ini seakan-akan merupakan ‘cerita di dalam suatu
cerita’. Seluruh dialog yang dilakukan dhalang selama pagelaran
berlangsung, sebenarnya merupakan proses ngruwat; dan juga merupakan
proses pemberian nasehat, wejangan, atau ajaran kepada anggauta keluarga
yang sedang diruwat.
Masyarakat
awam, lazimnya memandang bahwa dengan telah dilaksanakannya upacara ritual adat
ruwat jalmâ, maka segala sesuatunya akan menjadi beres dan selesai. Hal
ini, merupakan pandangan yang dapat dikatakan sangat salah (tidak benar).
Tetapi apa boleh buat, dangkalnya pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh
masyarakat tentang hakekat ruwatan itu sendiri, seringkali menggiring
kepada pemahaman seperti itu.
Upacara
ritual adat ruwat jalmâ, adalah sebuah ritual yang seharusnya
dilaksanakan dengan tujuan menyadarkan kita sebagai manusia (dengan tidak
membedakan atas ras, bangsa, suku-bangsa, agama, atau kepercayaan), untuk
selalu mengkoreksi diri sendiri. Apakah ada sifat, sikap, dan peri-laku kita
yang negatif (buruk) dalam menghadapi hidup, lingkungan, atau masyarakat yang
ada di sekeliling kita; yang semestinya harus diperbaiki. Istilah ngruwat
itu sendiri, artinya setara dengan memelihara atau merawat.
Tokoh Bathârâ
Kâlâ, mempunyai hakekat yang lebih dari sekedar tokoh ‘pemangsa manusia’
yang bersalah atau telah melanggar pantangan. Seperti telah dijelaskan, kâlâ
adalah refleksi dari waktu; atau juga berarti jerat. Hakekatnya, di dunia ini
tidak ada sebuah benda atau makhluk apapun yang tidak dijerat atau dimangsa
oleh Bathârâ Kâlâ; artinya di dunia ini tidak ada sebuah benda atau
makhluk apapun yang tidak dimakan oleh waktu. Semua benda atau makhluk, pada
dasarnya dimakan oleh waktu, sehingga akhirnya menjadi rapuh dan hancur. Jika
kita tidak memelihara atau merawat; atau, jika kita tidak ‘ngruwat’
berbagai benda yang ada di sekeliling kita, maka proses penghancuran oleh waktu
akan berlangsung secara lebih cepat. Misalnya, kita mempunyai rumah. Jika rumah
kita ini tidak kita pelihara dengan baik, maka dalam waktu singkat rumah kita
itu akan menjadi rusak dan akhirnya hancur. Sebaliknya, jika kita memelihara
dan merawatnya dengan baik; maka rumah kita itu akan semakin panjang umurnya.
Hal yang sama, berlaku juga untuk benda-benda lain yang ada di sekeliling kita;
misalnya : baju, celana, sepatu, tempat tidur, meja, kursi, mobil, sepeda
motor, alat kerja kita, dan sebagainya.
Cerita yang
lazim digelar dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ,
adalah cerita Mûrwâ Kâlâ. Kata mûrwâ, berasal dari kata dasar pûrwâ
atau parwâ; yang artinya : awal, mula, yang awal, yang pertama, yang
paling depan, yang paling awal, atau yang paling ujung. Kata mûrwa, mûrwani,
amûrwani, atau hamûrwani; dapat diartikan sebagai : memulai atau
mengawali. Dengan demikian, rangkaian kata Murwâ Kâlâ atau Pûrwâ Kâlâ;
dapat diartikan sebagai : waktu awal atau saat awal. Atau, secara lebih luas,
memberikan makna ‘waktu yang ditetapkan untuk mengawali hidup kita’. Dengan
demikian, hakekat atau makna Murwâ Kâlâ, adalah : saat (waktu) yang kita
tetapkan untuk memulai dan melakukan suatu kegiatan introspeksi ke dalam diri
kita sendiri, untuk memperbaiki dan mempersiapkan diri, bagi perjalanan
menempuh kehidupan di masa depan.
Hidup kita
di dunia ini, adalah menjalani lelakôn (takdir) dan kehidupan yang
sejalan dengan panjang waktu (kâlâ) yang diberikan oleh Sang Murbèng
Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita. Waktu hidup ini, bagi
setiap benda atau makhluk, tidaklah panjang; melainkan tertentu, relatif, dan
sangat pendek; jika dibandingkan dengan umur alam semesta. Karena itu, tradisi
kita mengajarkan untuk selalu ingat dan mempersiapkan diri dalam menghadapi
suatu kehidupan. Manusia, pada dasarnya harus mulai disadarkan dan
mempersiapkan diri untuk menempuh dan menghadapi gelombang serta badai
kehidupan, semenjak ia ada atau semenjak ia dilahirkan. Berbagai perlajaran
tentang bagaimana mengarungi lautan kehidupan, harus sudah mulai diberikan
sejak kita lahir di dunia.
Manusia
harus mulai mandiri, harus mulai mempertanggung-jawabkan peri-lakunya dan
tindakannya pada saat ia dinyatakan ‘diwâsâ’ (dewasa) oleh lingkung
masyarakatnya; maka upacara ritual adat ruwat jalmâ lazimnya
dilaksanakan pada saat orang yang akan diruwat itu sedang mengalami masa
remaja; yaitu saat menjelang masa dewasa. Itulah hakekatnya Murwâ Kâlâ,
yaitu saat kita harus memulai suatu kehidupan baru kita (yaitu masa dewasa
kita); dengan hal-hal yang lebih bertanggung-jawab, lebih hati-hati dalam
menilai, mempertimbangkan, dan meneliti segala peri-laku dan tindakan kita
sebelum menjalankannya.
Dengan ruwat
jalmâ kita diingatkan untuk berlaku seperti layaknya orang dewasa yang
penuh tanggung-jawab. Semua ini, dilakukan dengan tujuan untuk mengingatkan dan
memberikan bekal kita sebagai manusia, sebelum menempuh gelombang dan badai
kehidupan. Ia harus disadarkan tentang berbagai hal; misalnya, bagaimana harus
bersikap jika berhadapan dengan manusia lainnya (saudara, ayah, ibu, guru,
teman, anggauta masyarakat lainnya); bagaimana ia harus bersikap menghadapi
lingkung di sekelilingnya (tempat tinggal, rumah, tempat bekerja, alam, dan
ruang semesta); serta bagaimana ia harus bersikap terhadap kekuatan dan
kekuasaan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya); yang
menguasai kehidupan dan kematian.
Akhir Ritual Ruwatan Sukerto potong rambut |
Kapankah
seseorang harus diruwat ? Apa yang harus diruwat dan untuk
apa ritual ruwatan dilaksanakan ? Dengan memahami logika hakekat ruwatan,
maka sebenarnya setiap orang (tanpa pandang bulu) harus selalu diruwat;
serta harus selalu ngruwat dirinya sendiri; beserta segala hal yang ada
di sekelilingnya. Bahkan ia harus melakukannya setiap hari, setiap saat,
sepanjang hayatnya. Semuanya itu, dilaksanakan untuk mempersiapkan manusia,
sehingga ia dapat berpikir, bertindak, berperi-laku dewasa, bertanggung-jawab
sebagai makhluk sosial; baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi sekelilingnya.
Dengan
pemahaman seperti itu, ruwat jalmâ tidaklah cukup hanya dilakukan satu
kali, dengan melaksanakan pagelaran wayang kulît pûrwâ; melainkan harus
dilakukan berulang-kali, bahkan secara terus-menerus sepanjang manusia hidup.
Manusia harus selalu ingat, bahwa jika ia lupa untuk memelihara dan merawat
dirinya (secara rohani dan jasmani) serta lingkung sekitarnya; maka ia
seharusnya sadar, bahwa itu sama dengan mengundang mala-petaka di masa datang.
Kunci kehidupan kita, adalah ingat bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi dari
pada manusia; yaitu kekuasaan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa
Jagat Raya); yang menguasai alam semesta serta menguasai mati dan hidup kita.
Manusia
harus selalu ingat kepada hakekat kehidupannya di dunia ini, ia harus berani
dan bisa mawas diri, ‘tepâ salirâ’, melihat siapakah dirinya, serta
siapakah dan apa saja yang ada di sekelilingnya. Manusia, juga harus selalu
ingat kepada hakekat waktu (kâlâ) kehidupan kita yang relatif pendek,
dan hakekat bahwa manusia hidup tidak sendiri. Di sekeliling kita, selain
manusia lainnya, juga ada lingkungan dan alam, yang telah memberikan kehidupan,
kenyamanan, ketenteraman, keamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi kita;
misalnya : tempat tinggal, lingkungan, sawah, alam, hutan, sungai, mata air,
danau, jalan, kelengkapan rumah-tangga, dan sebagainya. Semua ini (tidak
hanya diri kita sendiri), seharusnya dipelihara dan dirawat. Kalau kita
melupakannya, maka sang waktu (kâlâ) akan ‘memangsanya’, lebih cepat
dari yang kita perkirakan, dan bahkan lebih cepat dari yang kita sadari.
Itulah
hakekat ruwat jalmâ, yang seharusnya tidak perlu dilaksanakan secara
besar-besaran dan mewah; tetapi justru harus dilaksanakan secara terus-menerus,
sepanjang hidup kita dengan berbagai cara yang seringkali cukup sederhana saja.
Membersihkan diri, memelihara rumah dan lingkung sekitarnya, merawat dan
memperbaiki berbagai peralatan rumah-tangga, membersihkan diri kita dari
berbagai nafsu rendah dan berbagai keinginan yang bersifat negatif, menjalankan
perintah dan ajaran agama, meluruskan cara berpikir kita, berlaku jujur,
belajar dan menimba berbagai pengetahuan yang berguna, bertenggang-rasa dengan
teman, tetangga, dan saudara. Semua itu, merupakan kegiatan ngruwat,
yang dapat kita lakukan untuk menyiapkan dan menyelamatkan masa depan kita,
menepis berbagai mala-petaka yang mungkin terjadi.
____________________________________________
[1]
Kâlâ, adalah jerat yang mematikan
menggunakan tali. Biasanya tali penjerat itu dililitkan secara mendadak pada
leher binatang atau orang yang hendak dijerat; kemudian tali penjerat tersebut
ditarik kuat-kuat, sehingga binatang atau orang yang dijerat itu akhirnya mati,
karena tidak bisa bernafas. Dengan demikian, dampak kerjanya sama dengan
mencekik leher. Kâlâ, juga dapat berarti sejenis binatang melata yang
sangat beracun; misalnya : Kâlâ-jengkîng. Sejenis laba-laba besar yang
beracun, di pulau Jawa juga disebut Kâlâ-mânggâ. Dalam bahasa Jawa,
raksana, juga disebut ‘dityâ’. Untuk menunjukkan bahwa raksasa tersebut
dianggap jahat, menakutkan, atau berbahaya; penyebutan namanya sering ditambah
dengan kata kâlâ; misalnya : Dityâ Kâlâ Klanthang Mimîs, Dityâ Kâlâ
Gajahgriwâ, Dityâ Kâlâ Singâ Rudrâ, Dityâ Kâlâ Garu Langit, dan sebagainya.
Déwâ pembawa maut, di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa,
disebut Bathârâ Kâlâ atau Sang Hyang Kâlâ. Musim yang buruk dan
penuh wabah penyakit, disebut mângsâ kâlâ. Dengan demikian, ada semacam
hubungan antara penggunaan sebutan kâlâ, dengan sesuatu yang bersifat
negatif, menyeramkan, menakutkan, bisa mencelakakan, membahayakan, menyakitkan,
memperpendek umur, mematikan, menjerat, menjebak, mendatangkan masalah, atau
mendatangkan musibah. Jika dicermati, maka semua peristiwa yang diakibatkan
oleh kâlâ, umumnya berhubungan dengan berbagai hal yang
‘memungkinkan semakin pendeknya umur seseorang’.
[2] Pari (padi), menduduki tempat yang sangat
penting dalam tatanan sosial-budaya masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa.
Sedemikian penting kedudukannya, sehingga di kalangan masyarakat tradisional
suku-bangsa Jawa yang berkebudayaan agraris, padi seringkali disebut ‘Sri’;
yakni sebuah panggilan akrab untuk dèwi kesuburan, yaitu Dèwi Sri,
Sang Hyang Sri, atau Bathari Sri. Di wilayah pedesaan dan
pedalaman pulau Jawa, bahkan bibit padi diperlakukan secara khusus, seakan-akan
benda atau makhluk hidup. Cara memperlakukan bibit padi ini, seperti
memperlakukan manusia. Bibit padi ini, seringkali disebut ‘Sri’ yang
merupakan kependekan Dèwi Sri, Sang Hyang Sri, atau Bathari Sri.
Harus pula diingat, bahwa pada masa yang lampau, masyarakat tradisional
suku-bangsa Jawa menanam padi hanya sekali setahun. Karenanya, umumnya setiap
keluarga atau setiap desa mempunyai lumbûng pari (gudang penyimpanan
padi), yang digunakan untuk persediaan pangan selama berbulan-bulan. Sedangkan
bibit padi atau induk padi, yang sering disebut ‘mbôk Sri’ atau ‘ibu
Sri’; disimpan dan diperlakukan secara khusus; yaitu dibuatkan tempat
penyimpanan yang terpisah dan khusus.
[3] Istilah ontang-antîng; digunakan untuk
menyebut ‘sesuatu’ yang jumlahnya hanya satu (sebuah), berdimensi kecil, dan
diletakkan dengan cara digantung, sehingga bisa bergerak-gerak terayun-ayun;
mengikuti gerak penggantungnya. Misalnya, sebuah permata yang digantungkan pada
sebuah kalung, disebut ‘kalûng ontang-antîng’.
[4] Istilah kedhânâ atau dhânâ,
digunakan untuk mewakili pria (laki-laki). Sedangkan istilah kedhini atau
dhini, digunakan untuk mewakili wanita (perempuan). Dengan demikian,
istilah kedhânâ-kedhini atau dhânâ-dhini; digunakan untuk
menyebut dua orang, pria dan wanita.
[5] Salah satu cerita wayang yang
menceritakan terjadinya ‘perkawinan sedarah’ atau ‘perkawinan sesaudara
kandung’ ini, ada dalam salah satu bagian (episoda) dari cerita Bomâ Nârâ
Surâ atau cerita Sâmbâ Juwîng; yakni bagian yang menceritakan
perkawinan sedarah antara Bathârâ Darmâ dan Bathari Darmi. Mereka
berdua itu, kakak beradik, putera dan puteri Bathârâ Endrâ. Keduanya
akhirnya dikutuk oleh ayahnya, yaitu Bathârâ Endrâ, sehingga menjadi
patung batu. Setelah mengalami masa hukumannya, mereka itu akhirnya nitîs
(lahir kembali) ke dunia. Bathârâ Darmâ kemudian diceritakan lahir
kembali sebagai Radyan Sâmbâ (putera narpati Kresna, yang juga
adik Bomâ Nârâ Surâ). Sedangkan Bathari Darmi kemudian
diceritakan lahir kembali sebagai Dewi Hagnyânâwati, yang kemudian
menjadi permaisuri Bomâ Nârâ Surâ (putera narpati Kresna, yang
juga kakak Radyan Sâmbâ). Dalam bentuknya sebagai manusia yang berstatus
saudara ipar, keduanya juga melakukan upaya untuk ‘menjalin cinta dan
berselingkuh’. Yaitu antara adik ipar (Radyan Sâmbâ) dengan kakak ipar (Dewi
Hagnyânâwati). Pada akhir cerita, Radyan Sâmbâ dan Dewi
Hagnyânâwati dibunuh oleh sang Bomâ Nârâ Surâ. Sedangkan sang Bomâ
Nârâ Surâ, akhirnya dibunuh oleh ayahnya sendiri, yaitu narpati Kresna.
Cerita yang sangat tragis ini, merupakan salah satu cerita wayang yang
sangat disukai oleh masyarakat.
[6] Istilah sendhang, yang berarti: danau
kecil atau tempat air menggenang agak dalam; melambangkan hakekat alat
reproduksi wanita, digunakan untuk mewakili wanitâ (wanita, perempuan).
Sedangkan istilah pancuran, yang berarti : air yang mengalir ke arah
bawah (air mancur), melambangkan hakekat alat reproduksi pria, digunakan untuk
mewakili priyâ (pria, laki-laki). Istilah kapît, berasal dari
kata kaapît, yang berarti : diapit, atau didampingi dua orang pada
sebelah kanan dan kirinya.
[7] Anak sulung, dalam bahasa Jawa disebut pambarep atau mbarep. Kadangkala juga disebut kadang tuwâ,
kadang sepûh, atau kadang wredhâ; yang artinya : saudara tua.
[8] Anak tengah, dalam bahasa Jawa disebut panengah.
[9] Anak bungsu, dalam bahasa Jawa disebut wuragîl
atau ragîl. Kadangkala, juga disebut kadang anôm atau kadang
anèm; yang artinya : saudara muda.
[10] Istilah jatûs, setara dengan istilah jatûk,
atau jatu; yang artinya : tepat, pas, pasangan, atau sesuai. Dengan
demikian, istilah jatûs mati; berarti : sesuai untuk mati, sesuai
untuk dikorbankan, atau tepat sebagai korban. Dalam bahasa Jawa, istilah jatû
krama; mempunyai pengertian : pasangan yang tepat sebagai suami-isteri.
Penggunaan istilah jâkâ; arti sebenarnya adalah : jejaka, pria,
atau pria muda. Namun dalam lingkup ini, pengertiannya secara umum lebih
mengarah kepada : orang yang belum dewasa, orang muda, remaja, anak muda, atau
anak. Dengan demikian, istilah Jâkâ Jatûs Mati mempunyai makna : orang
muda (belum dewasa) yang sesuai atau patut untuk dijadikan korban.
[11] Istilah rajah; mempunyai arti : tulisan, teraan, atau
cap. Istilah rajah kâlâ câkrâ; mempunyai pengertian : sejumlah tulisan
atau teraan yang berisi penjelasan tentang kâlâ, yaitu hal-hal yang
buruk, membawa mala-petaka, atau mencelakakan, yang diterakan secara jelas pada
setiap ujung jari-jari suatu lingkaran berbentuk câkrâ.
[12] Dalam banyak cerita wayang, Sang Hyang Wîsnu,
diceritakan nitîs (lahir dan menjelma kembali) ke dunia secara
berulang-ulang pada sejumlah tokoh yang berbeda-beda. Semua tokoh itu, umumnya
merupakan ksatria atau raja yang memerangi kejahatan. Misalnya : Râmâ
Wijâyâ, Kresnâ.
[13] Di masa yang lampau, seorang dhalang juga berperan
sebagai pawang, shaman, atau dhukûn.
[14] Istilah kândhâ; mempunyai arti : berkata, mengatakan,
memberitakan, mengumumkan, memberitahu, mengabarkan, atau menceritakan. Istilah
buwânâ atau bawânâ; mempunyai arti : angkasa atau dunia. Dengan
demikian, istilah kândhâ buwânâ; mempunyai arti : mengabarkan ke seluruh
dunia, atau mengabarkan kepada orang-orang lain. Dalam pengertian ini, dhalang
Kândhâ Buwânâ juga berarti : seseorang (dalam hal ini diwakili oleh seorang
dhalang) yang mempunyai pengetahuan dan wawasan luas dan disegani; sehingga
bisa memberikan nasehat, jalan ke luar, dan ajaran tentang kehidupan dan budi
pekerti kepada seseorang; sehingga orang tersebut bisa terhindarkan dari
musibah atau mala-petaka.
[15] Istilah kencânâ; artinya : emas. Istilah katôn;
berarti : terlihat. Istilah wingkâ; berarti : pecahan genting tanah
liat. Pepatah ‘kencânâ katôn wingkâ’; mempunyai arti : emas terlihat
seperti pecahan genting. Pepatah ini, mempunyai pengertian : sebaik apapun
peri-laku dan sifat anak orang lain, bagi kita tetap anak kita yang kita anggap
terbaik. Atau, jika dibalik: seburuk apapun peri-laku dan sifat anak kita,
tetap akan kita anggap baik.
Diturunkan
dari Tulisan Prof.Dr. Bram Palgunadi MT, 6 Desember
2010 pukul 7:53
Foto koleksi Mudibyo WHS, S.AP, MM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar