Yoo.. Hindari Perilaku Korup...!!

Sabtu, 15 Agustus 2015

PAGELARAN WAYANG PURWA; RUWATAN

Pagelaran Wayang Purwa; Ruwatan
Ruwatan, adalah suatu upacara ritual yang mengingatkan semuanya, termasuk kita bahwa; sebagai manusia akan selalu 'dimakan' Bathara Kala. Maksudnya, semuanya, termasuk kita akan selalu rusak dimakan waktu. (Kala = waktu). Karenanya, kita perlu untuk 'ngruwat' (ngruwat = merawat).....

Pagelaran wayang yang dilakukan untuk keperluan ‘ruwatan’, lazimnya dilakukan di sekitar tanggal 1 bulan Sura. Pada masyarakat suku-bangsa Jawa, pagelaran wayang kulit purwa yang dilaksanakan dalam rangka ‘ruwatan’, lazimnya juga disesuaikan untuk keperluan tertentu. Secara adat dikenal ada sejumlah upacara ‘ruwatan’ yang berbeda-beda. Namun, banyak juga masyarakat kita yang sebenarnya tidak mengerti apa itu ruwatan, bagaimana, mengapa, dan untuk apa pagelaran wayang dilaksanakan.

Salah satu bentuk upacara ritual adat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, adalah upacara ritual adat ruwatan. Upacara ritual adat ruwatan ini, pada dasarnya bertujuan mengingatkan manusia akan adanya berbagai keburukan dan risiko yang mungkin akan ditanggung manusia sebagai akibatnya. Keburukan-keburukan yang dimaksud itu, umumnya berkait erat dengan sejumlah peri-laku atau kebiasaan tertentu yang bersifat negatif.

Pinisepuh (Tetua Adat) memberi ular-ular (wejangan)
Para Sukerta diserahkan kepada Ki Dhalang Kandhabhuwana untuk diruwat
Pada masa sekarang, disebabkan ketidak-tahuan dan ketidak-pahaman akan makna dan hakekat sesungguhnya dari pelaksanaan upacara ritual adat ruwatan, banyak kalangan masyarakat suku-bangsa Jawa (terutama orang yang berada, pejabat, atau orang yang kaya) yang sekedar melaksanakan upacara ritual adat ruwatan ini secara besar-besaran, sekedar untuk menunjukkan atau pamer kepada khalayak ramai, bahwa mereka itu ‘orang Jawa yang menjunjung tinggi tradisi nenek-moyangnya’.

Sebagian besar golongan ini, meskipun melaksanakan secara besar-besaran, bahkan seringkali tidak pernah tahu sama sekali dan tidak tahu apa-apa tentang upacara ritual adat ruwatan. Dengan kata lain, jika mereka cukup kaya dan beruang; maka rasanya tidak lengkap dan tidak afdol, jika tidak melaksanakan upacara ritual adat ruwatan. Dengan demikian, upacara ritual adat ruwatan tidak lebih dan tidak kurang, lalu menjadi semacam kecenderungan (Inggris : trend) untuk menampilkan diri, mengangkat harga diri, dan menaikkan nilai kehormatan seseorang di mata kelompok masyarakat sekitarnya. Kecenderungan ini, justru banyak terjadi pada masyarakat suku-bangsa Jawa yang terpelajar, berpendidikan cukup tinggi, kaya, merupakan orang terpandang, atau mempunyai jabatan yang penting. Sebagian besar dari mereka itu, tinggal di kota-kota besar.

Upacara ritual adat ruwatan, sebenarnya sangat erat hubungannya dengan adanya sebuah kepercayaan, yang sudah hidup selama ratusan tahun di pulau Jawa. Masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa sangat mempercayai bahwa kehidupan mereka itu sebenarnya sangat dipengaruhi oleh sang Kâlâ; yang dalam dunia wayang diperankan oleh Bathârâ Kâlâ, yakni déwâ yang dipercayai sebagai pembawa maut, pembawa sial, atau pembawa mala-petaka dalam kehidupan manusia di alam jânâlokâ; baik manusia secara individu, maupun manusia secara kelompok sosial. Dalam hal ini, istilah kâlâ sebenarnya pengertiannya lebih mewakili ‘waktu’. Dalam bahasa Jawa, kata sângkâ-kâlâ, berarti : terompet penanda waktu. Pada jaman dahulu, sângkâ-kâlâ digunakan untuk memberi aba-aba (tanda) kepada pasukan untuk mulai melakukan penyerangan, penyerbuan, atau digunakan untuk memberi aba-aba (tanda) kepada pasukan untuk menghentikan penyerangan. Sângkâ-kâlâ, merupakan sejenis terompet yang dibuat dari rumah keong laut (siput laut) yang berukuran besar. Alat ini, dibunyikan dengan cara ditiup.

Tetapi kâlâ juga mempunyai pengertian lain, yaitu : jerat, jebakan, atau perangkap. Dalam bahasa Jawa, kata dikâlâ,[1] mempunyai arti : dijerat. Jika kedua arti kata itu digabungkan, maka pengertian kâlâ menjadi lebih jelas, yaitu : jerat waktu, jebakan waktu, perangkap waktu, atau waktu yang menjerat. Dengan demikian, lebih jelas pula peran sang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ dalam kehidupan manusia di alam jânâlokâ; yaitu menjebak manusia sehingga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan masalah waktu. Pengertian ‘waktu’ di sini, lebih mengarah kepada ‘umur manusia’. Dengan kata lain, jika sang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ berhasil menjebak seorang manusia, maka umur manusia tersebut akan menjadi pendek atau mati.

Dalam hikayatnya, sang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ diberi wewenang oleh Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya), untuk mencelakakan, menjebak dan ‘memakan’ manusia yang berperi-laku buruk. Untuk menangkal keganasan sang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ inilah, maka manusia perlu diruwat. Adapun satu-satunya orang yang berhak melakukan upacara ritual adat ruwatan, untuk menangkal keganasan sang Kâlâ, adalah seorang tokoh yang dikenal sebagai dhalang Kândhâ Buwânâ; yang dalam hikayatnya disebut sebagai penjelmaan Bathârâ Wîsnu atau Sang Hyang Wîsnu.

Pelaksanaan Ruwat Sukerta oleh Ki Dhalang Kandhabhuwana
Istilah ruwat, mempunyai arti : pelihara atau rawat. Dalam bahasa Jawa, kata diruwat, mempunyai arti : dipelihara atau dirawat. Istilah memelihara atau merawat, dalam bahasa Jawa disebut : ngruwat, ngrawat, angruwat, angrawat, hangruwat,atau hangrawat. Sedangkan pelaksanaan kegiatannya, dalam bahasa Jawa disebut : ruwatan atau rawatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa upacara ritual adat ruwatan, bertujuan memberikan petunjuk bagaimana cara memelihara atau merawat ‘sesuatu hal’; sehingga kondisinya menjadi lebih baik, atau sekurang-kurangnya kondisinya tetap terpelihara dengan baik. Dalam pengertian ini, yang dimaksud dengan ‘sesuatu hal’, adalah kehidupan manusia itu sendiri.

Gamelan berbunyi nyaring, gendhîng Talu ditabuh menguak pagelaran; mengiring datangnya dhalang melangkah ke alam jagat raya. Menceritakan perjalanan waktu, menjelajahi hikayat kehidupan manusia di alam jânâlokâ. Lalu seakan semuanya menjadi hening di dalam ramainya lelakôn manusia, menyadarkan kembali manusia akan kekuatan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Bayang-bayang dimainkan dalam keremangan gejolak lidah api bléncông; menghidupkan citra kehidupan masa lampau, masa sekarang, dan masa depan. Membuka mata hati manusia, mengingatkan bahwa hidup ini hanyalah sepenggal waktu yang pendek, ibarat singgah minum dalam perjalanan lelakôn manusia yang panjang. Gunungan diangkat tinggi-tinggi, membayangkan getar-getar kehidupan di dalam layar lelakôn manusia. Tembang dan syair menceritakan awal dan akhir perjalanan kehidupan manusia di dunia yang fana. Penuh cerita tentang keburukan dan kebaikan.

Begitulah lazimnya permulaan sebuah pagelaran ruwatan dalam masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa dilaksanakan. Masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, sejak jaman dahulu kala, sudah mengenal adanya upacara ritual adat yang kemudian disebut sebagai upacara ritual adat ruwatan. Pada jaman modern ini (pada permulaan abad keduapuluh satu), tradisi untuk melaksanakan upacara ritual adat ruwatan ini, masih dapat kita saksikan. Bahkan di kota-kota besar ada semacam kecenderungan untuk melaksanakan upacara ritual adat ruwatan secara besar-besaran, misalnya dengan menggelar pertunjukan wayang kulît pûrwâ yang dimainkan oleh dhalang terkenal. Sering pula kita bisa menemukan upacara ritual adat ruwatan yang dilaksanakan oleh anggauta masyarakat yang dapat kita golongkan berpendidikan, terpandang, berada, tokoh masyarakat, pejabat negara, atau orang kaya. Upacara ritual adat ruwatan, seringkali dilaksanakan oleh suatu keluarga, hanya demi memenuhi tradisi dan adat-istiadat semata. Sedangkan kenyataannya, tidaklah terlalu banyak orang yang tahu hakekat yang sesungguhnya dari upacara ritual adat ruwatan itu sendiri.

Menurut kepercayaan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, upacara ritual adat ruwatan harus dilaksanakan jika ada salah satu anggauta keluarga yang berbuat kesalahan, melanggar pantangan, atau ada suatu kondisi tertentu dalam satu keluarga. Menurut adat tradisi masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, terdapat berbagai macam pantangan, syarat, atau keadaan, yang secara tradisional harus diperhatikan dan ditaati. Pelanggaran atas suatu pantangan tertentu, atau terjadinya suatu kondisi tertentu pada suatu keluarga, berakibat anggauta keluarga yang bersangkutan harus diruwat. Jika tidak diruwat, maka anggauta keluarga tersebut dipercayai akan celaka atau menjadi mangsa sang Kâlâ.

Upacara ritual adat ruwat jalmâ, adalah suatu upacara ritual adat ruwatan yang dilakukan untuk menangkal keganasan Bathârâ Kâlâ atau Sang Hyang Kâlâ terhadap jalmâ (manusia). Di bawah ini diterakan berbagai pantangan atau kondisi yang membuat seseorang harus diruwat. Sudah barang tentu bahasannya harus dipandang dalam lingkup masa lampau. Namun demikian, pada lingkup masa sekarang, masih banyak juga yang berlaku. Antara lain, misalnya sebagai berikut:

  • Seseorang yang menggulingkan dandang; yaitu periuk atau wadah yang digunakan untuk menanak nasi. Pada masa lampau, masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa menanak nasi menggunakan dandang. Jika seorang anggauta keluarga karena sesuatu hal menggulingkan dandang, sehingga pecah atau rusak; maka akibatnya seluruh keluarga tidak akan bisa makan. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa kehidupan kita harus ditempuh secara hati-hati dan penuh perhitungan. Jika kita tidak berhati-hati, dan berbuat suatu kesalahan; maka seringkali yang menjadi korban tidak saja yang berbuat kesalahan, tetapi juga orang lain yang berada di sekitarnya; misalnya, anggauta keluarga lainnya. Dandang, melambangkan sarana yang digunakan untuk menghasilkan suatu kesejahteraan (misalnya : perusahaan, tempat kerja, atau lahan pertanian), yang diberikan atau dikaruniakan oleh Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita.
  • Seseorang yang memecahkan pipisan; yaitu sarana penggiling yang dibuat dari watu (batu), yang digunakan untuk membuat ramuan jamu (obat tradisional). Pada masa yang lampau, masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa sangat menggantungkan kesehatan jasmaninya pada berbagai jenis jamu (obat-obatan tradisional) buatan sendiri. Karenanya, setiap keluarga selalu menyediakan sebuah pipisan, sebagai sarana untuk membuat jamu (obat tradisional). Jika seorang anggauta keluarga karena sesuatu hal menjatuhkan pipisan, sehingga pecah atau rusak; maka akibatnya jika ada salah satu anggauta keluarga yang sakit, mungkin tidak akan bisa diobati; karena alat pembuat obatnya rusak. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa peri-laku kehidupan kita harus ditempuh secara hati-hati dan penuh perhitungan. Jika kita tidak berhati-hati, mungkin saja anggauta keluarga yang lain bisa mendapat mala-petaka atau celaka. Pipisan, melambangkan sarana penangkal terhadap berbagai kesulitan  (misalnya : manajemen, cara, sistem, atau konsultan/penasehat perusahaan kita), yang diberikan atau dikaruniakan oleh Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita.
  • Seseorang yang menumpahkan segâ (nasi) dari tempatnya. Nasi, adalah makanan utama kebanyakan keluarga masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa. Secara tradisional bahkan pari (padi) dan nasi, menduduki tempat yang sangat terhormat,[2] dan dipandang sebagai suatu pemberian oleh Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) yang harus selalu disukuri. Jika seseorang karena sesuatu hal menumpahkan segâ (nasi), maka ia dianggap tidak menghormati pemberian Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Dan lebih celaka lagi, jika nasi sampai ditumpahkan, maka akan terbuang percuma. Sebagai akibatnya, mungkin seluruh anggauta keluarga tidak akan bisa makan. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa kita harus selalu berhati-hati dan berlaku cermat dengan rejeki (apapun bentuknya) yang telah kita terima. Jika kita tidak melakukan hal itu, mungkin saja kehidupan kita akan menjadi susah. Sega (nasi), melambangkan hasil yang didapat dari sarana dan penangkal berbagai kesulitan yang kita gunakan; (misalnya : harta, rejeki, tanah, uang, hasil bumi, pangan, atau tempat tinggal), yang merupakan pemberian (karunia) dari Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita
  • Keluarga yang mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘ontang-antîng’;[3] yaitu anak tunggal atau anak semata wayang. Anak tunggal, baik pria atau wanita, umumnya akan berlaku manja. Jika orang-tua tidak berlaku hati-hati dalam mendidiknya, maka di kemudian hari mungkin anak tunggal ini akan menyulitkannya. Misalnya, anak tunggal ini akan cenderung menjadi sulit untuk mandiri, malas, kemratu-ratu (berperi-laku seakan-akan seperti ratu atau râjâ), mau menang sendiri, segala yang diminta harus dipenuhi seketika, cenderung untuk selalu bergantung kepada orang-tua, atau cenderung selalu meminta berbagai hal yang mungkin sulit untuk ditolak dan mungkin juga sulit untuk dipenuhi oleh orang-tuanya yang sangat menyayanginya. Anak dengan peri-laku seperti ini, tentu saja akan sangat menyulitkan orang-tuanya.
  • Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘kedhânâ-kedhini’;[4] yaitu dua anak bersaudara kandung, pria dan wanita. Dua anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, apalagi jika orang-tuanya tidak selalu bisa mendampinginya; bisa-bisa terjadi hubungan sex antar saudara sekandung. Sudah barang tentu, jika hal ini terjadi, akan menjadi mala-petaka bagi seluruh keluarganya.[5]
  • Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘sendhang kapît pancuran’;[6] yaitu tiga anak bersaudara kandung, yang pertama (sulung) seorang pria,[7] yang kedua (tengah)[8] seorang wanita; dan yang ketiga (bungsu)[9] seorang pria. Tiga anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin anak perempuannya (anak kedua) yang mempunyai kakak dan adik pria, akan menjadi bersifat kelaki-lakian (Inggris : tomboy). Dan sangat mungkin karena berada di lingkung pria; maka anak ini juga akan berperi-laku dan mempunyai berbagai kebiasaan pria, termasuk berbagai kebiasaan buruknya.
  • Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘pancuran kapît sendhang’; yaitu tiga anak bersaudara kandung, yang pertama (sulung) seorang wanita, yang kedua (tengah) seorang pria; dan yang ketiga (bungsu) seorang wanita. Tiga anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin anak lelakinya (anak kedua) yang mempunyai kakak dan adik perempuan, akan menjadi bersifat kewanita-wanitaan atau menjadi wandu (banci; Inggris : gay). Dan sangat mungkin karena berada di lingkung wanita; maka anak ini juga akan berperi-laku dan mempunyai berbagai kebiasaan wanita, termasuk berbagai kebiasaan buruknya.
  • Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘pandhâwâ limâ’; yaitu lima anak bersaudara kandung, semuanya pria. Lima orang anak bersaudara semuanya lelaki, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin kelima anak lelakinya itu akan menjadi sangat nakal dan berandal. Mungkin saja mereka berlima itu, akan dikenal oleh tetangga, masyarakat, atau orang sekelilingnya sebagai ‘gerombolan anak lelaki yang bengal’ (Inggris : crossboy).
  • Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai ‘putri pandhâwâ’; yaitu lima anak bersaudara kandung, semuanya wanita. Lima orang anak bersaudara semuanya wanita, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin kelima anak perempuannya itu akan menjadi sangat nakal dan berandal. Mungkin saja mereka berlima itu, akan dikenal oleh tetangga, masyarakat, atau orang sekelilingnya sebagai ‘gerombolan anak perempuan yang bengal’ (Inggris : crossgirl).
  • Jika suatu keluarga mempunyai dua anak bersaudara kandung, dan kedua-duanya pria. Jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, bisa-bisa di antara mereka berdua itu menjadi saling menyukai dan mencintai; dan bisa saja menjadi homosex.
  • Jika suatu keluarga mempunyai dua anak bersaudara kandung; dan kedua-duanya wanita. Jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, bisa-bisa di antara mereka berdua itu menjadi saling menyukai dan mencintai; dan bisa saja menjadi lesbian.
Dhalang yang memainkan wayang dalam pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ; biasanya merupaan seorang dhalang yang sudah tua dan sudah mempunyai banyak pengalaman. Selain itu, dhalang tersebut biasanya juga seorang dhalang ruwat. Dalam cerita Murwâ Kâlâ yang lazim digunakan untuk keperluan pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ, dikenal adanya empat tokoh penting; yaitu :

  • Tokoh Mbôk Rândhâ Dhadhapan; janda dari desa Dhadhapan, mewakili tokoh ibu, yaitu orang yang paling bertanggung-jawab terhadap anak. Tokoh ini, juga mewakili tokoh ibu atau orang-tua dalam suatu keluarga, yang anggauta keluarganya harus diruwat.
  • Tokoh Jâkâ Jatûs Mati;[10] mewakili seseorang yang mungkin bisa mengalami mala-petaka; atau mewakili anggauta keluarga yang harus diruwat. Tokoh ini, diceritakan sebagai anak mbôk rândhâ Dhadhapan.
  • Tokoh Sang Hyang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ; mewakili kondisi negatif atau mala-petaka yang mungkin akan didapatkan seseorang. Tokoh ini, mewakili kekuatan yang akan menghukum dan ‘memangsa’ anggauta keluarga yang belum diruwat, dan telah melanggar pantangan atau berada dalam kondisi khas.
  • Tokoh Dhalang Kândhâ Buwânâ; mewakili tokoh yang memberikan nasehat atau jalan ke luar. Tokoh ini, mewakili kekuatan yang akan menyadarkan, menangkal, atau menghilangkan hukuman yang dijatuhkan terhadap anggauta keluarga yang telah melanggar pantangan, atau berada dalam kondisi khas. 
Dari pembahasan di atas, dapatlah dibayangkan sejumlah akibat dan kecenderungan yang bersifat negatif, yang diakibatkan oleh adanya beberapa kondisi tertentu dalam suatu keluarga; atau, akibat adanya suatu pantangan adat yang tidak dipatuhi. Kita tidak mempersoalkan, apakah adat-istiadat tradisional tersebut dianggap kuno atau tidak; yang jelas segala sesuatu yang dijadikan pantangan dalam masyarakat tradisional kita itu, mempunyai tujuan yang baik; yakni menghindarkan dari terjadinya mala-petaka. Selain itu, sudah barang tentu bertujuan pula mengingatkan kita untuk selalu memperbaiki peri-laku, moral, budi-pekerti, lingkung sekitar, keadaan, dan kondisi keluarga; sehingga menjadi lebih baik, berkepribadian positif, dan bertanggung-jawab.

Menurut kepercayaan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, anggauta keluarga yang melanggar pantangan adat; atau, adanya suatu kondisi khas anak-anak dalam suatu keluarga; jika tidak diruwat (jika tidak dirawat), akan menjadi santapan sang Kâlâ atau Bathârâ Kâlâ. Atau, secara singkat mungkin akan mendatangkan mala-petaka. Untuk menghindarkan terjadinya hal itu, maka perlu dilaksanakan upacara ritual adat ruwat jalmâ. Upacara ritual adat ruwat jalmâ, biasanya dilaksanakan dengan cara melakukan pagelaran wayang kulît pûrwâ. Pagelaran ini, kadang-kadang dilakukan secara pendek (sekitar dua atau tiga jam); atau, semalam suntuk. Cerita atau  lakôn yang dimainkan dalam pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ; biasanya merupakan cerita yang sangat khas, yaitu cerita Murwâ Kâlâ.

Dalam hikayat Murwâ Kâlâ, diceritakan bahwa Jâkâ Jatûs Mati selama hidupnya telah berbuat banyak kesalahan dengan melanggar berbagai pantangan; misalnya : memecahkan pipisan milik ibunya. Sebagai akibatnya, ia dikejar-kejar oleh Bathârâ Kâlâ atau Sang Hyang Kâlâ; untuk dijadikan mangsa. Dalam hikayat ini, juga diceritakan adanya berbagai jenis ‘korban’ yang boleh dimangsa dan dimakan oleh Bathârâ Kâlâ. Daftar persyaratan makanan yang boleh dimakan oleh Bathârâ Kâlâ dan berbagai makanan yang tidak boleh dimakan oleh Bathârâ Kâlâ, diberikan oleh para déwâ penguasa jagat raya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ‘makanan’, secara umum adalah manusia yang telah berbuat kesalahan, dengan melanggar berbagai pantangan; atau, manusia yang berada dalam suatu kondisi khas.

‘Daftar makanan’ atau ‘menu makanan’ bagi Bathârâ Kâlâ ini, yang isinya sebenarnya adalah daftar persyaratan manusia yang berada dalam kondisi khas; dalam hikayatnya, diceritakan dituliskan di dahi Bathârâ Kâlâ, dalam bentuk rangkaian tulisan atau teraan yang disebut ‘Rajah Kâlâ Câkrâ’.[11] Karena daftar makanan itu diterakan di dahi Bathârâ Kâlâ, maka ia tidak akan pernah lupa; dan akan selalu ingat, apa saja yang menjadi makanannya. Di dalam hikayatnya, Bathârâ Kâlâ hanya diperbolehkan menyantap ‘makanan’ yang belum diruwat. Sedangkan ‘makanan’ yang sudah diruwat, tidak diperbolehkan dimakan oleh Bathârâ Kâlâ. Dalam hal ini, tokoh yang ditugasi untuk menangkal dan menyelamatkan manusia yang telah berbuat kesalahan, melanggar pantangan, atau mempunyai suatu kondisi khas; adalah tokoh dhalang Kândhâ Buwânâ. Tokoh ini, dalam hikayat diceritakan sebagai penjelmaan Bathârâ Wîsnu atau Sang Hyang Wîsnu; yang merupakan déwa kebaikan, yang bertugas memerangi kejahatan dan kebathilan.[12]


Dalam pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ, biasanya anggauta keluarga yang akan diruwat, dimandikan lebih dahulu menggunakan air suci oleh seorang dhalang ruwat; yang bertindak sebagai pawang atau dhukûn ruwat dalam upacara ritual adat ruwat jalmâ. Secara tradisional, air suci ini harus diambil dari tujuh mata air yang berbeda letaknya. Mencari dan mengupayakan air yang berasal dari tujuh sumber air yang berbeda, bukan merupakan hal yang mudah (terutama pada masa sekarang). Ini mempunyai makna, bahwa upaya awal untuk memperbaiki sesuatu yang telah terlanjur rusak; misalnya : peri-laku, sifat, atau kebiasaan; bukan merupakan hal yang mudah; dan untuk bisa dilaksanakan, diperlukan upaya yang luar biasa. Dengan demikian, persyaratan adanya air yang berasal dari tujuh sumber yang berbeda ini, harus dipandang sebagai sebuah perlambangan; yang menggambarkan kepada kita betapa sulitnya upaya awal yang diperlukan oleh seseorang, untuk memperbaiki berbagai keburukan, peri-laku, sifat, atau kebiasaannya. Dan hanya dengan upaya yang luar biasa, perbaikan diri itu bisa dilaksanakan.

Pada saat pagelaran wayang yang dilaksanakan dalam rangka upacara ritual adat ruwat jalmâ itu dilakukan; anggauta keluarga yang hendak diruwat, disusupkan (dimasukkan) ke dalam panggung pagelaran, melalui bagian depan tempat duduk dhalang. Peristiwa ini, dilakukan pada saat pagelaran wayang hendak dimulai. Kemudian, anggauta keluarga yang hendak diruwat itu, diberi tempat duduk di sebelah kanan atau di belakang tempat duduk dhalang. Peristiwa ini, bukanlah sekedar peristiwa fisik, melainkan merupakan sebuah peristiwa perlambangan; yakni melambangkan bahwa anggauta keluarga yang hendak diruwat itu (yang disusupkan ke dalam panggung pagelaran), sekarang sudah menjadi bagian dari pagelaran wayang. Ia, bukan lagi penonton, melainkan sudah dilebur dan menjadi bagian langsung dari cerita Murwâ Kâlâ. Keberadaannya di dunia ini, kemudian diwakili di geber/kelîr wayang (layar wayang) oleh tokoh Jâkâ Jatûs Mati dalam pagelaran wayang ruwatan tersebut.

Selama pagelaran berlangsung, diceritakan bahwa bermacam pantangan telah dilanggar oleh Jâkâ Jatûs Mati. Alur ceritanya sendiri, secara jelas menggambarkan bagaimana tokoh Jâkâ Jatûs Mati dikejar-kejar oleh Bathârâ Kâlâ; karena ia merupakan manusia yang berbuat kesalahan, dengan melanggar berbagai pantangan yang diterakan di dalam Rajah Kâlâ Câkrâ.

Untuk menghindarkan Jâkâ Jatûs Mati dari kejaran Bathârâ Kâlâ, maka mbôk rândhâ Dhadhapan berkenan meminta bantuan seorang dhalang untuk melaksanakan upacara ritual adat ruwat jalmâ.[13] Dhalang yang dipanggil untuk melaksanakan upacara ritual adat ruwat jalmâ ini, adalah dhalang Kândhâ Buwânâ,[14] yang tidak lain adalah penjelamaan Bathârâ Wîsnu atau Sang Hyang Wîsnu. Makna dari peristiwa ini, adalah bahwa mengingatkan seseorang dari berbagai peri-laku dan sifat buruk yang dimilikinya, umumnya tidak bisa dilakukan oleh anggauta keluarga sendiri (orang-tua atau saudara). Seorang anak yang berperi-laku buruk misalnya, seburuk apapun peri-lakunya, akan tetap dipandang sebagai anak kesayangan oleh orang-tuanya. Bahkan di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa ada pepatah ‘kencânâ katôn wingkâ’;[15] yang artinya : anak sendiri, seburuk apapun peri-lakunya, akan diperlakukan dan dianggap sebagai anak yang baik. Dengan pemahaman seperti ini, jelas akan sulitlah bagi suatu keluarga (orang-tua) jika hendak menasehati anggauta keluarga atau anaknya. Karenanya, lalu dibutuhkan peran ‘orang ketiga’ atau orang lain yang disegani, untuk menasehati anggauta keluarga, atau anak yang bermasalah itu. Dalam hal ini, peran ‘orang lain’ ini, dalam upacara ritual adat ruwat jalmâ, dilakukan oleh dhalang. Sedangkan di dalam layar pagelaran wayang, peran ini dilakukan oleh tokoh dhalang Kândhâ Buwânâ.

Di sinilah terjadi dialog antara kejahatan dengan kebaikan; antara dunia hitam dengan dunia putih; antara peri-laku baik dengan peri-laku buruk; antara kebathilan dengan kesucian. Berbagai proses yang harus ditempuh manusia sebagai suatu cara untuk mengalahkan, menghilangkan, dan menetralisasi keburukan, kejahatan, peri-laku buruk, kebiasaan buruk, dan sifat buruk manusia; diceritakan secara tahap demi tahap oleh dhalang ruwat secara tidak langsung; lewat tokoh dhalang Kândhâ Buwânâ. Selain itu, biasanya kepada tokoh Jâkâ Jatûs Mati (yang sebenarnya mewakili anggauta keluarga yang hendak atau sedang diruwat) juga diberikan berbagai nasehat, petuah, atau wejangan; yang berguna untuk menempuh hidup.

Pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ, sebenarnya merupakan suatu pagelaran yang pada dasarnya menceritakan proses pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ itu sendiri. Dengan demikian, pagelaran ini seakan-akan merupakan ‘cerita di dalam suatu cerita’. Seluruh dialog yang dilakukan dhalang selama pagelaran berlangsung, sebenarnya merupakan proses ngruwat; dan juga merupakan proses pemberian nasehat, wejangan, atau ajaran kepada anggauta keluarga yang sedang diruwat.
Masyarakat awam, lazimnya memandang bahwa dengan telah dilaksanakannya upacara ritual adat ruwat jalmâ, maka segala sesuatunya akan menjadi beres dan selesai. Hal ini, merupakan pandangan yang dapat dikatakan sangat salah (tidak benar). Tetapi apa boleh buat, dangkalnya pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat tentang hakekat ruwatan itu sendiri, seringkali menggiring kepada pemahaman seperti itu.

Upacara ritual adat ruwat jalmâ, adalah sebuah ritual yang seharusnya dilaksanakan dengan tujuan menyadarkan kita sebagai manusia (dengan tidak membedakan atas ras, bangsa, suku-bangsa, agama, atau kepercayaan), untuk selalu mengkoreksi diri sendiri. Apakah ada sifat, sikap, dan peri-laku kita yang negatif (buruk) dalam menghadapi hidup, lingkungan, atau masyarakat yang ada di sekeliling kita; yang semestinya harus diperbaiki. Istilah ngruwat itu sendiri, artinya setara dengan memelihara atau merawat.

Tokoh Bathârâ Kâlâ, mempunyai hakekat yang lebih dari sekedar tokoh ‘pemangsa manusia’ yang bersalah atau telah melanggar pantangan. Seperti telah dijelaskan, kâlâ adalah refleksi dari waktu; atau juga berarti jerat. Hakekatnya, di dunia ini tidak ada sebuah benda atau makhluk apapun yang tidak dijerat atau dimangsa oleh Bathârâ Kâlâ; artinya di dunia ini tidak ada sebuah benda atau makhluk apapun yang tidak dimakan oleh waktu. Semua benda atau makhluk, pada dasarnya dimakan oleh waktu, sehingga akhirnya menjadi rapuh dan hancur. Jika kita tidak memelihara atau merawat; atau, jika kita tidak ‘ngruwat’ berbagai benda yang ada di sekeliling kita, maka proses penghancuran oleh waktu akan berlangsung secara lebih cepat. Misalnya, kita mempunyai rumah. Jika rumah kita ini tidak kita pelihara dengan baik, maka dalam waktu singkat rumah kita itu akan menjadi rusak dan akhirnya hancur. Sebaliknya, jika kita memelihara dan merawatnya dengan baik; maka rumah kita itu akan semakin panjang umurnya. Hal yang sama, berlaku juga untuk benda-benda lain yang ada di sekeliling kita; misalnya : baju, celana, sepatu, tempat tidur, meja, kursi, mobil, sepeda motor, alat kerja kita, dan sebagainya.

Cerita yang lazim digelar dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat ruwat jalmâ, adalah cerita Mûrwâ Kâlâ. Kata mûrwâ, berasal dari kata dasar pûrwâ atau parwâ; yang artinya : awal, mula, yang awal, yang pertama, yang paling depan, yang paling awal, atau yang paling ujung. Kata mûrwa, mûrwani, amûrwani, atau hamûrwani; dapat diartikan sebagai : memulai atau mengawali. Dengan demikian, rangkaian kata Murwâ Kâlâ atau Pûrwâ Kâlâ; dapat diartikan sebagai : waktu awal atau saat awal. Atau, secara lebih luas, memberikan makna ‘waktu yang ditetapkan untuk mengawali hidup kita’. Dengan demikian, hakekat atau makna Murwâ Kâlâ, adalah : saat (waktu) yang kita tetapkan untuk memulai dan melakukan suatu kegiatan introspeksi ke dalam diri kita sendiri, untuk memperbaiki dan mempersiapkan diri, bagi perjalanan menempuh kehidupan di masa depan.

Hidup kita di dunia ini, adalah menjalani lelakôn (takdir) dan kehidupan yang sejalan dengan panjang waktu (kâlâ) yang diberikan oleh Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita. Waktu hidup ini, bagi setiap benda atau makhluk, tidaklah panjang; melainkan tertentu, relatif, dan sangat pendek; jika dibandingkan dengan umur alam semesta. Karena itu, tradisi kita mengajarkan untuk selalu ingat dan mempersiapkan diri dalam menghadapi suatu kehidupan. Manusia, pada dasarnya harus mulai disadarkan dan mempersiapkan diri untuk menempuh dan menghadapi gelombang serta badai kehidupan, semenjak ia ada atau semenjak ia dilahirkan. Berbagai perlajaran tentang bagaimana mengarungi lautan kehidupan, harus sudah mulai diberikan sejak kita lahir di dunia.

Manusia harus mulai mandiri, harus mulai mempertanggung-jawabkan peri-lakunya dan tindakannya pada saat ia dinyatakan ‘diwâsâ’ (dewasa) oleh lingkung masyarakatnya; maka upacara ritual adat ruwat jalmâ lazimnya dilaksanakan pada saat orang yang akan diruwat itu sedang mengalami masa remaja; yaitu saat menjelang masa dewasa. Itulah hakekatnya Murwâ Kâlâ, yaitu saat kita harus memulai suatu kehidupan baru kita (yaitu masa dewasa kita); dengan hal-hal yang lebih bertanggung-jawab, lebih hati-hati dalam menilai, mempertimbangkan, dan meneliti segala peri-laku dan tindakan kita sebelum menjalankannya.

Dengan ruwat jalmâ kita diingatkan untuk berlaku seperti layaknya orang dewasa yang penuh tanggung-jawab. Semua ini, dilakukan dengan tujuan untuk mengingatkan dan memberikan bekal kita sebagai manusia, sebelum menempuh gelombang dan badai kehidupan. Ia harus disadarkan tentang berbagai hal; misalnya, bagaimana harus bersikap jika berhadapan dengan manusia lainnya (saudara, ayah, ibu, guru, teman, anggauta masyarakat lainnya); bagaimana ia harus bersikap menghadapi lingkung di sekelilingnya (tempat tinggal, rumah, tempat bekerja, alam, dan ruang semesta); serta bagaimana ia harus bersikap terhadap kekuatan dan kekuasaan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya); yang menguasai kehidupan dan kematian.

Akhir Ritual Ruwatan Sukerto potong rambut
Kapankah seseorang harus diruwat ? Apa yang harus diruwat  dan untuk apa ritual ruwatan dilaksanakan ? Dengan memahami logika hakekat ruwatan, maka sebenarnya setiap orang (tanpa pandang bulu) harus selalu diruwat; serta harus selalu ngruwat dirinya sendiri; beserta segala hal yang ada di sekelilingnya. Bahkan ia harus melakukannya setiap hari, setiap saat, sepanjang hayatnya. Semuanya itu, dilaksanakan untuk mempersiapkan manusia, sehingga ia dapat berpikir, bertindak, berperi-laku dewasa, bertanggung-jawab sebagai makhluk sosial; baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi sekelilingnya.

Dengan pemahaman seperti itu, ruwat jalmâ tidaklah cukup hanya dilakukan satu kali, dengan melaksanakan pagelaran wayang kulît pûrwâ; melainkan harus dilakukan berulang-kali, bahkan secara terus-menerus sepanjang manusia hidup. Manusia harus selalu ingat, bahwa jika ia lupa untuk memelihara dan merawat dirinya (secara rohani dan jasmani) serta lingkung sekitarnya; maka ia seharusnya sadar, bahwa itu sama dengan mengundang mala-petaka di masa datang. Kunci kehidupan kita, adalah ingat bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada manusia; yaitu kekuasaan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya); yang menguasai alam semesta serta menguasai mati dan hidup kita.

Manusia harus selalu ingat kepada hakekat kehidupannya di dunia ini, ia harus berani dan bisa mawas diri, ‘tepâ salirâ’, melihat siapakah dirinya, serta siapakah dan apa saja yang ada di sekelilingnya. Manusia, juga harus selalu ingat kepada hakekat waktu (kâlâ) kehidupan kita yang relatif pendek, dan hakekat bahwa manusia hidup tidak sendiri. Di sekeliling kita, selain manusia lainnya, juga ada lingkungan dan alam, yang telah memberikan kehidupan, kenyamanan, ketenteraman, keamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi kita; misalnya : tempat tinggal, lingkungan, sawah, alam, hutan, sungai, mata air, danau, jalan, kelengkapan rumah-tangga, dan  sebagainya. Semua ini (tidak hanya diri kita sendiri), seharusnya dipelihara dan dirawat. Kalau kita melupakannya, maka sang waktu (kâlâ) akan ‘memangsanya’, lebih cepat dari yang kita perkirakan, dan bahkan lebih cepat dari yang kita sadari.

Itulah hakekat ruwat jalmâ, yang seharusnya tidak perlu dilaksanakan secara besar-besaran dan mewah; tetapi justru harus dilaksanakan secara terus-menerus, sepanjang hidup kita dengan berbagai cara yang seringkali cukup sederhana saja. Membersihkan diri, memelihara rumah dan lingkung sekitarnya, merawat dan memperbaiki berbagai peralatan rumah-tangga, membersihkan diri kita dari berbagai nafsu rendah dan berbagai keinginan yang bersifat negatif, menjalankan perintah dan ajaran agama, meluruskan cara berpikir kita, berlaku jujur, belajar dan menimba berbagai pengetahuan yang berguna, bertenggang-rasa dengan teman, tetangga, dan saudara. Semua itu, merupakan kegiatan ngruwat, yang dapat kita lakukan untuk menyiapkan dan menyelamatkan masa depan kita, menepis berbagai mala-petaka yang mungkin terjadi.
 ____________________________________________

[1] Kâlâ, adalah jerat yang mematikan menggunakan tali. Biasanya tali penjerat itu dililitkan secara mendadak pada leher binatang atau orang yang hendak dijerat; kemudian tali penjerat tersebut ditarik kuat-kuat, sehingga binatang atau orang yang dijerat itu akhirnya mati, karena tidak bisa bernafas. Dengan demikian, dampak kerjanya sama dengan mencekik leher. Kâlâ, juga dapat berarti sejenis binatang melata yang sangat beracun; misalnya : Kâlâ-jengkîng. Sejenis laba-laba besar yang beracun, di pulau Jawa juga disebut Kâlâ-mânggâ. Dalam bahasa Jawa, raksana, juga disebut ‘dityâ’. Untuk menunjukkan bahwa raksasa tersebut dianggap jahat, menakutkan, atau berbahaya; penyebutan namanya sering ditambah dengan kata kâlâ; misalnya : Dityâ Kâlâ Klanthang Mimîs, Dityâ Kâlâ Gajahgriwâ, Dityâ Kâlâ Singâ Rudrâ, Dityâ Kâlâ Garu Langit, dan sebagainya. Déwâ pembawa maut, di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, disebut Bathârâ Kâlâ atau Sang Hyang Kâlâ. Musim yang buruk dan penuh wabah penyakit, disebut mângsâ kâlâ. Dengan demikian, ada semacam hubungan antara penggunaan sebutan kâlâ, dengan sesuatu yang bersifat negatif, menyeramkan, menakutkan, bisa mencelakakan, membahayakan, menyakitkan, memperpendek umur, mematikan, menjerat, menjebak, mendatangkan masalah, atau mendatangkan musibah. Jika dicermati, maka semua peristiwa yang diakibatkan oleh kâlâ, umumnya berhubungan dengan  berbagai hal yang ‘memungkinkan semakin pendeknya umur seseorang’.

[2]  Pari (padi), menduduki tempat yang sangat penting dalam tatanan sosial-budaya masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa. Sedemikian penting kedudukannya, sehingga di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa yang berkebudayaan agraris, padi seringkali disebut ‘Sri’; yakni sebuah panggilan akrab untuk dèwi kesuburan, yaitu Dèwi Sri, Sang Hyang Sri, atau Bathari Sri.  Di wilayah pedesaan dan pedalaman pulau Jawa, bahkan bibit padi diperlakukan secara khusus, seakan-akan benda atau makhluk hidup. Cara memperlakukan bibit padi ini, seperti memperlakukan manusia. Bibit padi ini, seringkali disebut ‘Sri’ yang merupakan kependekan Dèwi Sri, Sang Hyang Sri, atau Bathari Sri. Harus pula diingat, bahwa pada masa yang lampau, masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa menanam padi hanya sekali setahun. Karenanya, umumnya setiap keluarga atau setiap desa mempunyai lumbûng pari (gudang penyimpanan padi), yang digunakan untuk persediaan pangan selama berbulan-bulan. Sedangkan bibit padi atau induk padi, yang sering disebut ‘mbôk Sri’ atau ‘ibu Sri’; disimpan dan diperlakukan secara khusus; yaitu dibuatkan tempat penyimpanan yang terpisah dan khusus.

[3]  Istilah ontang-antîng; digunakan untuk menyebut ‘sesuatu’ yang jumlahnya hanya satu (sebuah), berdimensi kecil, dan diletakkan dengan cara digantung, sehingga bisa bergerak-gerak terayun-ayun; mengikuti gerak penggantungnya. Misalnya, sebuah permata yang digantungkan pada sebuah kalung, disebut ‘kalûng ontang-antîng’.

[4] Istilah kedhânâ atau dhânâ, digunakan untuk mewakili pria (laki-laki). Sedangkan istilah kedhini atau dhini, digunakan untuk mewakili wanita (perempuan). Dengan demikian, istilah kedhânâ-kedhini atau dhânâ-dhini; digunakan untuk menyebut dua orang, pria dan wanita.

[5] Salah satu cerita wayang yang menceritakan terjadinya ‘perkawinan sedarah’ atau ‘perkawinan sesaudara kandung’ ini, ada dalam salah satu bagian (episoda) dari cerita Bomâ Nârâ Surâ atau cerita Sâmbâ Juwîng; yakni bagian yang menceritakan perkawinan sedarah antara Bathârâ Darmâ dan Bathari Darmi. Mereka berdua itu, kakak beradik, putera dan puteri Bathârâ Endrâ. Keduanya akhirnya dikutuk oleh ayahnya, yaitu Bathârâ Endrâ, sehingga menjadi patung batu. Setelah mengalami masa hukumannya, mereka itu akhirnya nitîs (lahir kembali) ke dunia. Bathârâ Darmâ kemudian diceritakan lahir kembali sebagai Radyan Sâmbâ (putera narpati Kresna, yang juga adik Bomâ Nârâ Surâ). Sedangkan Bathari Darmi kemudian diceritakan lahir kembali sebagai Dewi Hagnyânâwati, yang kemudian menjadi permaisuri Bomâ Nârâ Surâ (putera narpati Kresna, yang juga kakak Radyan Sâmbâ). Dalam bentuknya sebagai manusia yang berstatus saudara ipar, keduanya juga melakukan upaya untuk ‘menjalin cinta dan berselingkuh’. Yaitu antara adik ipar (Radyan Sâmbâ) dengan kakak ipar (Dewi Hagnyânâwati). Pada akhir cerita, Radyan Sâmbâ dan Dewi Hagnyânâwati  dibunuh oleh sang Bomâ Nârâ Surâ. Sedangkan sang Bomâ Nârâ Surâ, akhirnya dibunuh oleh ayahnya sendiri, yaitu narpati Kresna. Cerita yang sangat tragis ini, merupakan salah satu cerita wayang yang sangat disukai oleh masyarakat.

[6] Istilah sendhang, yang berarti: danau kecil atau tempat air menggenang agak dalam; melambangkan hakekat alat reproduksi wanita, digunakan untuk mewakili wanitâ (wanita, perempuan). Sedangkan istilah pancuran, yang berarti : air yang mengalir ke arah bawah (air mancur), melambangkan hakekat alat reproduksi pria, digunakan untuk mewakili priyâ (pria, laki-laki). Istilah kapît, berasal dari kata kaapît, yang berarti : diapit, atau didampingi dua orang pada sebelah kanan dan kirinya.

[7] Anak sulung, dalam bahasa Jawa disebut pambarep atau mbarep. Kadangkala juga disebut kadang tuwâ, kadang sepûh, atau kadang wredhâ; yang artinya : saudara tua.

[8]  Anak tengah, dalam bahasa Jawa disebut panengah.

[9] Anak bungsu, dalam bahasa Jawa disebut wuragîl atau ragîl. Kadangkala, juga disebut kadang anôm atau kadang anèm; yang artinya : saudara muda.

[10] Istilah jatûs, setara dengan istilah jatûk, atau jatu; yang artinya : tepat, pas, pasangan, atau sesuai. Dengan demikian, istilah  jatûs mati; berarti : sesuai untuk mati, sesuai untuk dikorbankan, atau tepat sebagai korban. Dalam bahasa Jawa, istilah jatû krama; mempunyai pengertian : pasangan yang tepat sebagai suami-isteri. Penggunaan istilah  jâkâ; arti sebenarnya adalah : jejaka, pria, atau pria muda.  Namun dalam lingkup ini, pengertiannya secara umum lebih mengarah kepada : orang yang belum dewasa, orang muda, remaja, anak muda, atau anak. Dengan demikian, istilah Jâkâ Jatûs Mati mempunyai makna : orang muda (belum dewasa) yang sesuai atau patut untuk dijadikan korban.

[11]  Istilah rajah; mempunyai arti : tulisan, teraan, atau cap. Istilah rajah kâlâ câkrâ; mempunyai pengertian : sejumlah tulisan atau teraan yang berisi penjelasan tentang kâlâ, yaitu hal-hal yang buruk, membawa mala-petaka, atau mencelakakan, yang diterakan secara jelas pada setiap ujung jari-jari suatu lingkaran berbentuk câkrâ.

[12] Dalam banyak cerita wayang, Sang Hyang Wîsnu, diceritakan nitîs (lahir dan menjelma kembali) ke dunia secara berulang-ulang pada sejumlah tokoh yang berbeda-beda. Semua tokoh itu, umumnya merupakan ksatria atau raja yang memerangi kejahatan. Misalnya : Râmâ Wijâyâ, Kresnâ.

[13] Di masa yang lampau, seorang dhalang juga berperan sebagai pawang, shaman, atau dhukûn.

[14] Istilah kândhâ; mempunyai arti : berkata, mengatakan, memberitakan, mengumumkan, memberitahu, mengabarkan, atau menceritakan. Istilah buwânâ atau bawânâ; mempunyai arti : angkasa atau dunia. Dengan demikian, istilah kândhâ buwânâ; mempunyai arti : mengabarkan ke seluruh dunia, atau mengabarkan kepada orang-orang lain. Dalam pengertian ini, dhalang Kândhâ Buwânâ juga berarti : seseorang (dalam hal ini diwakili oleh seorang dhalang) yang mempunyai pengetahuan dan wawasan luas dan disegani; sehingga bisa memberikan nasehat, jalan ke luar, dan ajaran tentang kehidupan dan budi pekerti kepada seseorang; sehingga orang tersebut bisa terhindarkan dari musibah atau mala-petaka.

[15] Istilah kencânâ; artinya : emas. Istilah katôn; berarti : terlihat. Istilah wingkâ; berarti : pecahan genting tanah liat. Pepatah ‘kencânâ katôn wingkâ’; mempunyai arti : emas terlihat seperti pecahan genting. Pepatah ini, mempunyai pengertian : sebaik apapun peri-laku dan sifat anak orang lain, bagi kita tetap anak kita yang kita anggap terbaik. Atau, jika dibalik: seburuk apapun peri-laku dan sifat anak kita, tetap akan kita anggap baik.

Diturunkan dari Tulisan Prof.Dr. Bram Palgunadi MT, 6 Desember 2010 pukul 7:53
Foto koleksi Mudibyo WHS, S.AP, MM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar