Profil***)
Foto by Bagus
P.N./detikcom
|
Awalnya
ketertarikan Profesor Thomas Djamaluddin pada Unindentified Flying Objects
(UFO) sejak sekolah menengah dibacanya dari majalah ilmiah populer. Penasaran
Thomas akan benda-benda asing di luar angkasa itu dikejarnya melalui sains
serta menyelaraskannya dengan agama yang dianutnya, Islam.
"Saya
tertantang untuk mengetahui kehidupan lain di luar Bumi yang pada tahun 1970-an
hingga 1980-an awal sedang marak cerita tentang Unidentified Flying Object atau
UFO. Saat kelas satu SMA saya banyak membaca buku tentang UFO dan akhirnya
menulis artikel, 'UFO: Bagaimana Menurut Agama? yang terbit dalam majalah
'Scientiae' pada 1979," kisah Thomas yang meraih gelar profesor riset dari
LIPI pada Desember 2010 ini.
Hal itu
disampaikan Thomas usai menerima penghargaan Sarwono Prawirohardjo Award
(Sarwono Award) ke-XII dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gedung
LIPI, Jl Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Jumat (23/8/2013).
Tidak puas
dengan karya perdananya itu, pria kelahiran Purwokerto, 23 Januari 1962 ini
semakin tergugah untuk mendalami astronomi. Berbagai buku dibacanya tetapi
tidak cukup memuaskan dahaga keingintahuannya.
"Sedikit demi sedikit saya mengenal astronomi saat kuliah di Astronomi ITB. Saat itu saya masuk tanpa tes dalam seleksi Proyek Perintis II," kenangnya bangga.
"Sedikit demi sedikit saya mengenal astronomi saat kuliah di Astronomi ITB. Saat itu saya masuk tanpa tes dalam seleksi Proyek Perintis II," kenangnya bangga.
Tak cuma melulu
kuliah dan belajar, Thomas, juga bergiat di kerohanian Islam di Masjid Salman
ITB dan menjadi mentor di masjid itu selama 13 semester. Mendalami ilmu
pengetahuan astronomi di bangku kuliah dan agama di luar jam kuliah, Thomas
menemukan bahwa dalam Islam ternyata prinsip-prinsip astronomi juga dipakai.
Seperti gerhana matahari dan bulan, penentuan waktu salat, penentuan kalender
Islam. Ia sangat tergerak untuk memadukan astronomi dengan Islam.
"Saya
jadikan sains dan Islam sebagai bagian diri saya," tutur pria yang
mendalami astronomi hingga meraih gelar doktor di Department of Astronomy,
Kyoto University, Jepang dengan beasiswa Monbusho ini.
Buah
pengetahuannya itu dibagikan kepada publik dengan menuliskan artikel bertema
astronomi di koran-koran nasional. Ratusan artikel ditulisnya sejak tahun 1983
hingga sekarang. Thomas juga selalu melayani bila masyarakat bertanya mengenai
fenomena-fenomena luar angkasa yang sedang dan akan terjadi.
Mengenai
penghargaan dari LIPI ini, ia merasa bahwa dirinya belum melakukan penemuan
penting dalam bidang astronomi dan astrofisika.
"Bagi
seorang ilmuwan, penghargaan itu nomor dua. Yang utama adalah kepuasan mendapat
jawaban atas pertanyaan," imbuhnya.
Menurutnya
semua orang di Indonesia dapat menjadi ilmuwan di segala bidang. Keterbatasan
fasilitas bukanlah halangan untuk mendapat ilmu. "Yang penting itu
kemauan, ilmuwan sejati dapat berkarya di manapun dalam kondisi apapun. Oleh
karenanya jangan hanya puas dengan pendidikan di sekolah, cari ilmu di
manapun," pesan dia (BPN–detikNews).
Keberhasilannya
dapat dijadikan contoh bagi sedulur Ngapak
Re post by Bio