Yoo.. Hindari Perilaku Korup...!!

Minggu, 21 April 2013

TASRIPIN, USIA 12 TAHUN DARI KAKI GUNUNG SLAMET BERJUANG SENDIRIAN MENGHIDUPI KETIGA ADIKNYA


Profil ***)

Banyak orang mengatakan bahwa hidup ini kejam, apa iya
Tasripin besama adik-adiknya
Kalau kita renungkan lebih mendalam, jelas-jelas hidup ini adalah anugerah dan karunia Tuhan yang penuh dengan dinamika dan keindahan dari alam semesta.  Betapa tidak, semua hal penuh tantangan yang harus dilalui tanpa kecuali.  Sejak bayi lahir yang hanya mampu menangis dan menggapai-gapaikan kedua tangannya untuk mengkomunikasikan sesuatu tentang apa yang terjadi pada dirinya kepada entah apa atau siapa yang berada disekitar dirinya dan tentunya belum jelas artinya apa bagi orang lain.

Dengan kemampuan yang sangat minim, pengertian yang sangat terbatas dan kekuatan fisik yang sangat lemah, niscaya bayi itu akan hancur kalau tidak ada keikut sertaan dan kompromi dari luar dirinya.
Dengan daya yang ada, sang bayi berusaha mengkomunikasikan kebutuhan dirinya akan sesuatu misalnya: lapar, haus, ngantuk, sakit, BAB, pipis, keadaan tidak nyaman, terancam, dlsb, dengan cara yang paling sederhana menurut orang dewasa, yaitu menangis!. Polos dan apa adanya sesuai kemampuan.

Sangat disadari oleh segenap manusia normal, dalam mempertahankan hidup yang telah diberikan oleh Tuhan, mau tidak mau harus diperjuangkan walau dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan dan keadaan masing-masing. Berani hidup itu hebat, karena hidup penuh perjuangan dan orang yang bisa hidup berarti orang yang menang dalam peperangan melawan tantangan. Hidup adalah pilihan.
Untuk menunjukan penaklukan tantangan hidup oleh manusia yang dayanya terbatas seperti yang diuraikan di atas, kita simak kisah nyata berikut.

Dikisahkan di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, adalah Tasripin anak tanggung berusia dua belas tahun yang harus berjuang mandiri mencari nafkah untuk menghidupi ketiga adiknya yaitu Dandi (9) Riyanti (7) dan Daryo (5).
Dusun Pesawahan berada di lereng kaki Gunung Slamet dengan jumlah penduduk 319 Jiwa terdiri dari 187 KK. Untuk mencapai tempat ini ditempuh melalui jalan berbatu, perbukitan dan hutan yang cukup lebat.
Untuk menghidupi adik-adiknya agar tetap bisa makan, Tasripin harus bekerja di sawah yang bukan miliknya.

Mereka tinggal di rumah kayu dengan luas 5x7 meter persegi dengan satu kamar seluas 3x3 meter persegi beralaskan lantai semen yang sudah pecah-pecah dan sebuah dapur dengan tungku kayu bakar. Perabotan seadanya, diantaranya terdapat dua buah kursi panjang dan satu meja.
Ayah  bersama kakak tertuanya pergi bekerja di Kalimantan, sementara Satinah (37) ibunya yang selama ini melindunginya telah meninggal dunia setahun lalu akibat tertimbun longsor saat sedang bekerja mencari pasir. Perjuangan tulus seorang ibu!.

Kini anak-anak tersebut terpaksa harus hidup mandiri, tidur dalam satu kamar dengan kasur dan bantal lusuh yang ditutup dengan terpal.
Ketiga adiknya sangat tergantung kepada Tasripin yang berdasarkan usianya sebenarnya belum siap menerima beban hidup seberat itu. Setiap hari harus bekerja di sawah dengan mencangkul, membersihkan sisa-sisa padi serta menanam bibit bersama warga dusun pada setiap musim tanam.
Bekerja di sawah dari pukul 07.oo pagi sampai pukul 12.oo siang dengan upah antara Rp. 30 s.d. 40 ribu yang nantinya akan dibelikan beras dan sayur, sedangkan kalau ada sedikit sisa diperuntukan jajan adik-adiknya.
Tetangga sekitar yang simpati dengan keadaan Tasripin sesekali membantu menberikan nasi atau lauk-pauk. Namun demikian tak jarang mereka hanya makan dengan nasi seadanya.

Pagi hari sebelum ke sawah biasanya Tasripin memasak nasi dan sayur, mencuci pakaian, menyapu serta memandikan adik-adiknya.
Tanggung jawab yang besar memaksa harus bekerja keras, apabila tidak mendapatkan pekerjaan terpaksa mengutang beras di warung dengan janji bayar nanti kalau bapaknya pulang.
Selain pekerjaan rumah tangga dan mencari nafkah, dia pun bertanggung jawab terhadap pendidikan akhlak adik-adiknya dengan mengajarinya shalat dan mengaji di mushala depan rumahnya.
Tasripin sendiri harus berhenti bersekolah karena nunggak SPP, sementara adiknya Dandi dan Riyanti tidak melanjutkan sekolah karena malu sering diejek oleh teman-temannya. Hanya Daryo, adik bungsunya yang masih bersekolah di PAUD dusun tersebut.

Melihat kegigihannya, orang-orang disekitarnya yang bersimpati mengkomuni-kasikan keadaan kehidupan mereka kepada pihak lain yang mana akhirnya diketahui oleh publik secara luas.
Dari keterbukaan informasi ini akhirnya dapat mengetuk hati para pejabat dan dermawan untuk membantunya.

Dengan adanya pemberitaan publik, beberapa anggota TNI dari Kodim 0701 Banyumas dan Korem 071 Wijayakusuma tergerak untuk melakukan bedah rumah Tasripin menjadi rumah yang sehat ber MCK, memperbesar kamar tidur, mengganti dinding yang lapuk dan memperbaiki dapur agar lebih terang. Lantai disemen ulang dan halaman rumah dipasang paving block.
Sedangkan untuk membantu meringankan beban hidupnya, pihak TNI dan para dermawan untuk sementara menanggung biaya hidup Tasripin dan ketiga adiknya.

Selama rumah direhab, Tasripin diinapkan di Hotel Wisata Niaga Purwokerto, dengan fasilitas kasur empuk, kamar berpendingin udara, kamar mandi dengan air panas/dingin, dan tayangan televisi yang jernih. Makanan serta cemilan dari para donatur datang mengalir ke kamar hotel.
Anak-anak dapat bersenda gurau seperti tak ada beban.
Namun demikian Tasripin dan adik-adiknya tetap ingin segera pulang. Ia kangen dengan bunyi-bunyian jangkrik dan tongeret di rumahnya yang terpencil.
Hotel mewah bukan habitatnya.

Dilain pihak Kuswito (42) ayah Tasripin yang bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan sedang dalam perjalanan pulang dengan menaiki kapal laut. Rencana setibanya di Purwokerto akan menemui keempat anaknya di hotel dan membawa pulang bersama-sama ke Dusun Pesawahan.
Kepergian Kuswito (pekerja serabutan) selama delapan bulan ke Kalimantan karena tidak ada pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka dan keinginannya untuk merenovasi rumah.

Kisah Perjuangan hidup Tasripin
sampai juga ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kepala negara meminta pejabat terkait, yaitu staf khusus dan Gubernur Jateng untuk turun tangan membantu Tasripin.
"Tasripin terlalu kecil untuk memikul beban dan tanggung jawab ini. Secara moral saya dan kita semua harus membantunya," kata SBY di akun twitternya.
Tasripinpun menangis haru saat menerima bantuan dari Presiden SBY yang diserahkan melalui Staf Khusus bidang Pangan dan Energi, Hariyanto, pada Jumat sore (19/4/2013).

Perhatian terhadap Tasripin tidak hanya dalam bentuk perombakan rumah, biaya hidup, dan biaya sekolah. Tasripin juga akan diberi kambing.
Tasripin, kecil telah menyita perhatian banyak kalangan. Kematangan hidupnya telah jauh tumbuh melebihi yang seharusnya terjadi di usianya. Kegigihan untuk melawan rintangan boleh dikatakan luar biasa. Bagi kita yang punya anak seusia dia bisa membandingkan bagaimana anak (usia 12) kita menghadapi kehidupannya. Ketergantungannya pada orang tua dan saudara-saudaranya, kemanjaannya, atau bahkan ke-egoisan dan kebandelannya. Seandainya anak kita harus menghadapi situasi seperti Tasripin, apa yang akan terjadi? Hidup menjadi tulang punggung keluarga, merawat 3 orang adik, sekaligus menjadi kepala keluarga. Hampir pasti semua kita akan mengamini bahwa anak kita tidak akan sanggup. Dan diantara kita barangkali ada yang kerkaca-kaca meneteskan air mata membayangkan andai anak, buah hati yang kita cintai mengalami hal serupa Tasripin, sambil berdoa semoga Tuhan menjauhkan kita dan anak-anak kita dari ujian seberat itu.

Tasripin telah memberikan contoh mulia kepada kita cara bertahan hidup dan menghidupi banyak orang. Tasripin telah mengajari kita bahwa jangankan lulus UN, mendapatkan pelajaran saja tidak karena dia harus memilih putus sekolah, tetapi tanggung jawab tetap bisa diemban. Saya tidak yakin fenomena Tasripin terjadi hanya ditopang oleh sebuah kekuatan dari Tuhan yang kita sebut dengan insting, tetapi saya menduga dengan sangat bahwa insting itulah energi yang membuat Tasripin sekuat itu. Insting akan kecintaan kepada orang-orang yang disayangi. Insting untuk melindungi wajah-wajah kecil tanpa orang tua di sisi mereka. Insting untuk melihat keceriaan adik-adiknya bahwa walaupun ayah jauh di rantau, ibu sudah tiada, tetapi masih ada kakak kalian, yang siap melindungi kalian. Kalian tidak usah takut. Kalian tak perlu sedih.

Tasripin barangkali tidak pernah berpikir seperti kita orang dewasa bahwa hidup dan kehidupan orang-orang yang disayangi harus tetap berlangsung, tetapi kita semua telah menjadi saksi bahwa dia telah melakukan semua itu. Tasripin tidak sedang mengajarkan kepada kita bagaimana cara hidup yang benar ketika kehidupan bertindak kejam kepadanya. Dia hanya melakukan sesuatu yang menurut anak 12 tahun itu harus dilakukan. Itulah kehidupan yang kadang tidak adil, bengis dan pedih, walau kita yakin, ‘Pahlawan’ seperti Tasripin tak merasakan kepedihan itu, karena dia begitu pintar menjalani hidupnya sehingga hidup pemberian Tuhan ini terasa nyaman-nyaman saja. Tasripin sudah benar. Anak 12 tahun itu sudah betul mengambil keputusan. Tetap hidup menjadi pilihan walau harus putus sekolah.

Untunglah hari ini dia sudah bisa menikmati es krim, merasakan indahnya hotel dan sejenak bisa beristirahat dari tugas-tugas beratnya sebagai kepala keluarga. Selamat dan terima kasih kepada saudara-saudara kita yang telah membantu meringankan beban Tasripin. Semoga Tuhan membalasnya berlipat.
Pelajaran mempertahankan hidup secara sederhana, polos dan ikhlas ini dapat kita lihat juga pada kisah Sung Bong Choi salah satu peserta Corean Got Talent bersuara emas (http://www.youtube.com/watch?v=gxK8A83nB5s) yang sejak usia lima tahun hidup sebatangkara. Menjadi penjual asongan minuman dan permen karet di jalan-jalan Korea Selatan. Tidur di toilet umum. Kehidupan pahit itu telah dijalaninya selama 10 tahun hingga akhirnya suara emasnya itu diperdengarkan di ajang IMB-nya negeri gingseng dan setelah itu kehidupan baru menghiasi hari-harinya. Para juri terharu mendengar kisahnya yang disampaikan dengan sangat ‘cool’. “Unbelievable” (tapi dalam bahasa Korea) komentar salah seorang juri. Tapi kisah Choi tidak seheroik Tasripin. Choi hanya bertanggung jawab atas dirinya dan di tengah-tengah kepahitan hidupnya Choi masih berhasil mendapatkan ijasah persamaan setingkat SD dan SMP. Hanya saja usia 5 tahun Choi ketika itu lebih belia dibanding Tasripin. Yang jelas anak-anak ini memberi pelajaran sangat berharga bagi kita.

Kembali ke kisah pilu Tasripin, bukan tidak mungkin, bukan satu-satunya cerita nyata kehidupan anak-anak Negeri kaya ini. Tasripin hanya satu diantara mereka. Bahkan mereka lebih malang dari Tasripin, karena hari ini Tasripin telah menjadi ’selebriti’ kecil yang atas kehendak Tuhan insya Allah akan kembali sekolah dan menjalani kehidupannya secara wajar dengan ayahnya dan berbagai bantuan yang akan meringankan hidup mereka. Tetapi bagaimana dengan anak-anak lain yang senasib Tasripin -sebelum menjadi ’selebriti’- yang disinyalir jumlahnya masih banyak. Mereka tak semujur Tasripin yang ditemukan media dan kemudian dientaskan kehidupannya. Mereka akan tetap seperti itu, bergelimang kepahitan dan kesulitan hidup. Kita hanya berharap semoga mereka bisa menemukan jalan keluar yang tidak harus seperti Tasripin. Tuhan punya seribu satu cara untuk mengasihi hamba-Nya. Semoga saja kita bisa mengambil peran dalam kisah-kisah ini. Peran untuk meringankan beban hidup mereka.
Pancaran cahaya wajah bahagia dari Tasripin dan ketiga adiknya mulai terlihat. Harapannya  tumbuh kembali.
Sambil mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan dan berkumpul kembali bersama orang tuanya. Suatu keinginan yang sederhana tidak neko-neko.

Tasripin kecilpun bersyukur kepada Tuhan Allah SWT Yang Maha Mengatur yang menentukan jalan hidupnya dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada para dermawan atas bantuan yang saat ini atau ke depan yang akan dia terima.
Tasripin akhirnya bisa berbagi beban hidupnya.

Tetes air mata kadang berarti ganda, bisa berarti kesedihan, tetapi bisa pula berarti kebahagiaan, tergantung dari sudut mana kita mengartikan.
Hari ini kita telah mendapat pelajaran tentang arti kehidupan.
Jangan takut hidup!.

Disunting dari berbagai sumber. Doc. By Bio

Ref: