Profil ***)
Banyak orang mengatakan bahwa hidup ini kejam, apa iya
Tasripin besama adik-adiknya |
Kalau kita renungkan lebih
mendalam, jelas-jelas hidup ini adalah anugerah dan karunia Tuhan yang penuh
dengan dinamika dan keindahan dari alam semesta. Betapa tidak, semua hal penuh tantangan yang
harus dilalui tanpa kecuali. Sejak bayi
lahir yang hanya mampu menangis dan menggapai-gapaikan kedua tangannya untuk
mengkomunikasikan sesuatu tentang apa yang terjadi pada dirinya kepada entah apa
atau siapa yang berada disekitar dirinya dan tentunya belum jelas artinya apa
bagi orang lain.
Dengan kemampuan yang sangat minim, pengertian yang sangat terbatas dan kekuatan fisik yang sangat lemah, niscaya bayi itu akan hancur kalau tidak ada keikut sertaan dan kompromi dari luar dirinya.
Dengan kemampuan yang sangat minim, pengertian yang sangat terbatas dan kekuatan fisik yang sangat lemah, niscaya bayi itu akan hancur kalau tidak ada keikut sertaan dan kompromi dari luar dirinya.
Dengan daya yang ada, sang
bayi berusaha mengkomunikasikan kebutuhan dirinya akan sesuatu misalnya: lapar,
haus, ngantuk, sakit, BAB, pipis, keadaan tidak nyaman, terancam, dlsb, dengan cara
yang paling sederhana menurut orang dewasa, yaitu menangis!. Polos dan apa
adanya sesuai kemampuan.
Sangat disadari oleh segenap manusia normal, dalam mempertahankan hidup yang telah diberikan oleh Tuhan, mau tidak mau harus diperjuangkan walau dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan dan keadaan masing-masing. Berani hidup itu hebat, karena hidup penuh perjuangan dan orang yang bisa hidup berarti orang yang menang dalam peperangan melawan tantangan. Hidup adalah pilihan.
Untuk menunjukan penaklukan
tantangan hidup oleh manusia yang dayanya terbatas seperti yang diuraikan di
atas, kita simak kisah nyata berikut.
Dikisahkan di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah,
Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, adalah Tasripin anak tanggung berusia
dua belas tahun yang harus berjuang mandiri mencari nafkah untuk menghidupi
ketiga adiknya yaitu Dandi (9) Riyanti (7) dan Daryo (5).
Dusun Pesawahan berada di lereng kaki Gunung Slamet
dengan jumlah penduduk 319 Jiwa terdiri dari 187 KK. Untuk mencapai tempat ini
ditempuh melalui jalan berbatu, perbukitan dan hutan yang cukup lebat.
Untuk menghidupi adik-adiknya agar tetap bisa makan, Tasripin
harus bekerja di sawah yang bukan miliknya.
Mereka tinggal di rumah kayu dengan luas 5x7 meter persegi dengan satu kamar seluas 3x3 meter persegi beralaskan lantai semen yang sudah pecah-pecah dan sebuah dapur dengan tungku kayu bakar. Perabotan seadanya, diantaranya terdapat dua buah kursi panjang dan satu meja.
Ayah bersama
kakak tertuanya pergi bekerja di Kalimantan, sementara Satinah (37) ibunya yang
selama ini melindunginya telah meninggal dunia setahun lalu akibat tertimbun
longsor saat sedang bekerja mencari pasir. Perjuangan tulus seorang ibu!.
Kini anak-anak tersebut terpaksa harus hidup mandiri, tidur dalam satu kamar dengan kasur dan bantal lusuh yang ditutup dengan terpal.
Kini anak-anak tersebut terpaksa harus hidup mandiri, tidur dalam satu kamar dengan kasur dan bantal lusuh yang ditutup dengan terpal.
Ketiga adiknya sangat tergantung kepada Tasripin yang berdasarkan
usianya sebenarnya belum siap menerima beban hidup seberat itu. Setiap hari
harus bekerja di sawah dengan mencangkul, membersihkan sisa-sisa padi serta
menanam bibit bersama warga dusun pada setiap musim tanam.
Bekerja di sawah dari pukul 07.oo pagi sampai pukul 12.oo
siang dengan upah antara Rp. 30 s.d. 40 ribu yang nantinya akan dibelikan beras
dan sayur, sedangkan kalau ada sedikit sisa diperuntukan jajan adik-adiknya.
Tetangga sekitar yang simpati dengan keadaan Tasripin
sesekali membantu menberikan nasi atau lauk-pauk. Namun demikian tak jarang
mereka hanya makan dengan nasi seadanya.
Pagi hari sebelum ke sawah biasanya Tasripin memasak nasi dan sayur, mencuci pakaian, menyapu serta memandikan adik-adiknya.
Tanggung jawab yang besar memaksa harus bekerja keras,
apabila tidak mendapatkan pekerjaan terpaksa mengutang beras di warung dengan janji
bayar nanti kalau bapaknya pulang.
Selain pekerjaan rumah tangga dan mencari nafkah, dia
pun bertanggung jawab terhadap pendidikan akhlak adik-adiknya dengan
mengajarinya shalat dan mengaji di mushala depan rumahnya.
Tasripin sendiri harus berhenti bersekolah karena
nunggak SPP, sementara adiknya Dandi dan Riyanti tidak melanjutkan sekolah
karena malu sering diejek oleh teman-temannya. Hanya Daryo, adik bungsunya yang
masih bersekolah di PAUD dusun tersebut.
Melihat kegigihannya, orang-orang disekitarnya yang
bersimpati mengkomuni-kasikan keadaan kehidupan mereka kepada pihak lain yang
mana akhirnya diketahui oleh publik secara luas.
Dari keterbukaan informasi ini akhirnya dapat mengetuk
hati para pejabat dan dermawan untuk membantunya.
Dengan adanya pemberitaan publik, beberapa anggota TNI
dari Kodim 0701 Banyumas dan Korem 071 Wijayakusuma tergerak untuk melakukan
bedah rumah Tasripin menjadi rumah yang sehat ber MCK, memperbesar kamar tidur,
mengganti dinding yang lapuk dan memperbaiki dapur agar lebih terang. Lantai
disemen ulang dan halaman rumah dipasang paving block.
Sedangkan untuk membantu meringankan beban hidupnya,
pihak TNI dan para dermawan untuk sementara menanggung biaya hidup Tasripin dan
ketiga adiknya.
Selama rumah direhab, Tasripin diinapkan di Hotel
Wisata Niaga Purwokerto, dengan fasilitas
kasur empuk, kamar berpendingin udara, kamar mandi dengan air panas/dingin, dan tayangan televisi yang
jernih. Makanan serta cemilan dari para donatur datang mengalir ke kamar hotel.
Anak-anak dapat
bersenda gurau seperti tak ada beban.
Namun
demikian Tasripin dan adik-adiknya tetap ingin segera pulang. Ia kangen
dengan bunyi-bunyian jangkrik dan tongeret di rumahnya yang terpencil.
Hotel mewah
bukan habitatnya.
Dilain pihak
Kuswito (42) ayah Tasripin yang bekerja di perkebunan sawit di
Kalimantan sedang dalam perjalanan
pulang dengan menaiki kapal laut. Rencana setibanya di Purwokerto akan menemui keempat anaknya
di hotel dan membawa
pulang bersama-sama ke Dusun Pesawahan.
Kepergian Kuswito (pekerja
serabutan) selama
delapan bulan ke Kalimantan karena tidak ada pekerjaan yang bisa memenuhi
kebutuhan hidup keluarga mereka dan keinginannya untuk merenovasi rumah.
Kisah Perjuangan hidup Tasripin sampai juga ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kepala negara meminta pejabat terkait, yaitu staf khusus dan Gubernur Jateng untuk turun tangan membantu Tasripin.
"Tasripin terlalu kecil untuk
memikul beban dan tanggung jawab ini. Secara moral saya dan kita semua harus
membantunya," kata SBY di akun twitternya.
Tasripinpun menangis haru saat menerima bantuan dari Presiden SBY yang diserahkan melalui Staf Khusus bidang Pangan dan Energi, Hariyanto, pada Jumat sore (19/4/2013).
Tasripinpun menangis haru saat menerima bantuan dari Presiden SBY yang diserahkan melalui Staf Khusus bidang Pangan dan Energi, Hariyanto, pada Jumat sore (19/4/2013).
Perhatian terhadap Tasripin tidak
hanya dalam bentuk perombakan rumah, biaya hidup, dan biaya sekolah. Tasripin juga akan diberi kambing.
Tasripin,
kecil telah menyita perhatian banyak kalangan. Kematangan hidupnya telah jauh
tumbuh melebihi yang seharusnya terjadi di usianya. Kegigihan untuk melawan
rintangan boleh dikatakan luar biasa. Bagi kita yang punya anak seusia dia bisa
membandingkan bagaimana anak (usia 12) kita menghadapi kehidupannya.
Ketergantungannya pada orang tua dan saudara-saudaranya, kemanjaannya, atau
bahkan ke-egoisan dan kebandelannya. Seandainya anak kita harus menghadapi
situasi seperti Tasripin, apa yang akan terjadi? Hidup menjadi tulang punggung
keluarga, merawat 3 orang adik, sekaligus menjadi kepala keluarga. Hampir pasti
semua kita akan mengamini bahwa anak kita tidak akan sanggup. Dan diantara kita
barangkali ada yang kerkaca-kaca meneteskan air mata membayangkan andai anak,
buah hati yang kita cintai mengalami hal serupa Tasripin, sambil berdoa semoga
Tuhan menjauhkan kita dan anak-anak kita dari ujian seberat itu.
Tasripin telah memberikan contoh mulia kepada kita cara bertahan hidup dan menghidupi banyak orang. Tasripin telah mengajari kita bahwa jangankan lulus UN, mendapatkan pelajaran saja tidak karena dia harus memilih putus sekolah, tetapi tanggung jawab tetap bisa diemban. Saya tidak yakin fenomena Tasripin terjadi hanya ditopang oleh sebuah kekuatan dari Tuhan yang kita sebut dengan insting, tetapi saya menduga dengan sangat bahwa insting itulah energi yang membuat Tasripin sekuat itu. Insting akan kecintaan kepada orang-orang yang disayangi. Insting untuk melindungi wajah-wajah kecil tanpa orang tua di sisi mereka. Insting untuk melihat keceriaan adik-adiknya bahwa walaupun ayah jauh di rantau, ibu sudah tiada, tetapi masih ada kakak kalian, yang siap melindungi kalian. Kalian tidak usah takut. Kalian tak perlu sedih.
Tasripin barangkali tidak pernah berpikir seperti kita orang dewasa bahwa hidup dan kehidupan orang-orang yang disayangi harus tetap berlangsung, tetapi kita semua telah menjadi saksi bahwa dia telah melakukan semua itu. Tasripin tidak sedang mengajarkan kepada kita bagaimana cara hidup yang benar ketika kehidupan bertindak kejam kepadanya. Dia hanya melakukan sesuatu yang menurut anak 12 tahun itu harus dilakukan. Itulah kehidupan yang kadang tidak adil, bengis dan pedih, walau kita yakin, ‘Pahlawan’ seperti Tasripin tak merasakan kepedihan itu, karena dia begitu pintar menjalani hidupnya sehingga hidup pemberian Tuhan ini terasa nyaman-nyaman saja. Tasripin sudah benar. Anak 12 tahun itu sudah betul mengambil keputusan. Tetap hidup menjadi pilihan walau harus putus sekolah.
Untunglah hari ini dia sudah bisa menikmati es krim, merasakan indahnya hotel dan sejenak bisa beristirahat dari tugas-tugas beratnya sebagai kepala keluarga. Selamat dan terima kasih kepada saudara-saudara kita yang telah membantu meringankan beban Tasripin. Semoga Tuhan membalasnya berlipat.
Pelajaran
mempertahankan hidup secara sederhana, polos dan ikhlas ini dapat kita lihat
juga pada kisah Sung Bong Choi salah satu peserta Corean Got Talent bersuara
emas (http://www.youtube.com/watch?v=gxK8A83nB5s)
yang sejak usia lima tahun hidup sebatangkara. Menjadi penjual asongan
minuman dan permen karet di jalan-jalan Korea Selatan. Tidur di toilet umum.
Kehidupan pahit itu telah dijalaninya selama 10 tahun hingga akhirnya suara
emasnya itu diperdengarkan di ajang IMB-nya negeri gingseng dan setelah itu
kehidupan baru menghiasi hari-harinya. Para juri terharu mendengar kisahnya
yang disampaikan dengan sangat ‘cool’. “Unbelievable” (tapi dalam bahasa Korea)
komentar salah seorang juri. Tapi kisah Choi tidak seheroik Tasripin. Choi
hanya bertanggung jawab atas dirinya dan di tengah-tengah kepahitan hidupnya
Choi masih berhasil mendapatkan ijasah persamaan setingkat SD dan SMP. Hanya
saja usia 5 tahun Choi ketika itu lebih belia dibanding Tasripin. Yang jelas
anak-anak ini memberi pelajaran sangat berharga bagi kita.
Kembali ke kisah pilu Tasripin, bukan tidak mungkin, bukan satu-satunya cerita nyata kehidupan anak-anak Negeri kaya ini. Tasripin hanya satu diantara mereka. Bahkan mereka lebih malang dari Tasripin, karena hari ini Tasripin telah menjadi ’selebriti’ kecil yang atas kehendak Tuhan insya Allah akan kembali sekolah dan menjalani kehidupannya secara wajar dengan ayahnya dan berbagai bantuan yang akan meringankan hidup mereka. Tetapi bagaimana dengan anak-anak lain yang senasib Tasripin -sebelum menjadi ’selebriti’- yang disinyalir jumlahnya masih banyak. Mereka tak semujur Tasripin yang ditemukan media dan kemudian dientaskan kehidupannya. Mereka akan tetap seperti itu, bergelimang kepahitan dan kesulitan hidup. Kita hanya berharap semoga mereka bisa menemukan jalan keluar yang tidak harus seperti Tasripin. Tuhan punya seribu satu cara untuk mengasihi hamba-Nya. Semoga saja kita bisa mengambil peran dalam kisah-kisah ini. Peran untuk meringankan beban hidup mereka.
Pancaran cahaya wajah bahagia dari Tasripin dan
ketiga adiknya mulai terlihat. Harapannya
tumbuh kembali.
Sambil mengungkapkan
keinginannya untuk melanjutkan pendidikan dan
berkumpul
kembali bersama
orang tuanya. Suatu keinginan yang sederhana tidak neko-neko.
Tasripin kecilpun bersyukur kepada Tuhan Allah SWT Yang Maha Mengatur yang menentukan jalan hidupnya dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada para dermawan atas bantuan yang saat ini atau ke depan yang akan dia terima.
Tasripin akhirnya bisa berbagi beban
hidupnya.
Tetes air
mata kadang berarti ganda, bisa berarti kesedihan, tetapi bisa pula berarti
kebahagiaan, tergantung dari sudut mana kita mengartikan.
Hari ini
kita telah mendapat pelajaran tentang arti kehidupan.
Jangan takut
hidup!.
Disunting
dari berbagai sumber. Doc. By Bio
Ref: