Fenomena***
Fenomena alam yang akan kami ceriterakan adalah
migrasi babi hutan yang melintasi daerah Slatri.
Slatri adalah salah satu daerah yang lokasinya berada
di wilayah Kecamatan Karangkobar di belahan utara Kabupaten Banjarnegara. Untuk
ke lokasi ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat melalui jalan provinsi
yang menghubungkan antara kota Banjarnegara melalui Banjarmangu menuju Kota
Kecamatan Karangkobar.
Kondisi jalan beraspal dan dapat ditempuh dengan
sepeda motor, mobil pribadi atau angkutan umum. Untuk angkutan umum jam
operasionalnya terbatas, kecuali mau menumpang truk pengangkut hasil bumi atau
ternak dengan resiko duduk bersama kambing atau sayur-mayur. Bila diteruskan,
jalan ini mentok tepat di pertigaan sebelah kantor Desa Wanayasa. Dilanjutkan
ke arah kiri menuju Kalibening dan berakhir di Kabupaten Pekalongan. Sedangkan
ke arah kanan menuju Kecamatan Batur dan berakhir di dataran tinggi Dieng.
Ilustrasi |
Peristiwanya sendiri terjadi sekitar pertengahan tahun 1981, harinya Minggu.
Saat mana saya hampir dua minggu sekali pergi-pulang
dari Sokaraja Kabupaten Banyumas ke Wanayasa Kabupaten Banjarnegara untuk
mengantar istri yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan di Kecamatan Wanayasa.
Karena besoknya istri harus bertugas menangani kasus wabah penyakit perut di
salah satu desa terpencil, maka mau tidak mau Minggu sore harus sudah sampai di
rumah dinas guna mempersiapkan alat kesehatan dan obat-obatan untuk pelayanan.
Di Sokaraja seharian hujan turun terus-menerus. Keluarga dan kawan-kawan istri juga bertandang ke rumah, maka jam keberangkatan ke tempat dinas menjadi mundur.
Menggunakan kendaraan umum sudah tidak mungkin lagi karena jadwal routenya telah habis, maka digunakanlah sepeda motor untuk mengantar. Perjalanan terasa lambat, karena keadaan mesin yang sudah tua dan barang-barang bawaan cukup banyak sehingga harus hati-hati untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Purworejo Klampok terlewati, lantas Bawang, ke kiri waduk Mrica (sekarang : waduk Jenderal Soedirman) menuju kota kecamatan Wanadadi (tempat kelahiran penyanyi Ebiet G. Ade). Sampai disini keadaan jalan masih relatif datar.
Lepas Kecamatan Wanadadi menuju Banjarmangu jalan mulai naik berkelok-kelok. Diteruskan mencapai Paweden, yaitu lokasi wisata alam dan pemandian, mesin sepeda motor terasa panas sekali, bau olie terbakar menyengat, maka mau tidak mau harus diistirahatkan dulu.
Waktu istirahat kami gunakan untuk berbincang-bincang dengan penduduk setempat sambil makan jagung rebus. Seorang ibu paruh baya menyarankan menginap saja di rumahnya karena sebentar lagi hari gelap, dengan hujan mengguyur deras dan petir yang menyambar-nyambar sangat rawan untuk perjalanan malam, sedang orang yang bepergian di saat seperti ini bisa dihitung dengan jari, itupun mesti menggunakan mobil yang memadai.
Di Sokaraja seharian hujan turun terus-menerus. Keluarga dan kawan-kawan istri juga bertandang ke rumah, maka jam keberangkatan ke tempat dinas menjadi mundur.
Menggunakan kendaraan umum sudah tidak mungkin lagi karena jadwal routenya telah habis, maka digunakanlah sepeda motor untuk mengantar. Perjalanan terasa lambat, karena keadaan mesin yang sudah tua dan barang-barang bawaan cukup banyak sehingga harus hati-hati untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Purworejo Klampok terlewati, lantas Bawang, ke kiri waduk Mrica (sekarang : waduk Jenderal Soedirman) menuju kota kecamatan Wanadadi (tempat kelahiran penyanyi Ebiet G. Ade). Sampai disini keadaan jalan masih relatif datar.
Lepas Kecamatan Wanadadi menuju Banjarmangu jalan mulai naik berkelok-kelok. Diteruskan mencapai Paweden, yaitu lokasi wisata alam dan pemandian, mesin sepeda motor terasa panas sekali, bau olie terbakar menyengat, maka mau tidak mau harus diistirahatkan dulu.
Waktu istirahat kami gunakan untuk berbincang-bincang dengan penduduk setempat sambil makan jagung rebus. Seorang ibu paruh baya menyarankan menginap saja di rumahnya karena sebentar lagi hari gelap, dengan hujan mengguyur deras dan petir yang menyambar-nyambar sangat rawan untuk perjalanan malam, sedang orang yang bepergian di saat seperti ini bisa dihitung dengan jari, itupun mesti menggunakan mobil yang memadai.
Karena tuntutan tugas, istri memberi kode kita harus
tetap jalan. Setelah mesin sepeda motor cukup dingin, saya pamitan ke ibu tadi.
Sambil bersalaman, si ibu komat-kamit membacakan doa dengan dialek
Banjarnegara, yang artinya agar kami selamat sampai tujuan. Dalam hati saya
berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, di zaman seperti ini masih ada
orang yang ikhlas dan mempedulikan kami walau hanya dalam bentuk doa, saya
mengapresiasi dengan mengamininya.
Perjalanan kami teruskan.
Belokan, tanjakan, turunan, dan belok lagi begitu
seterusnya, saya harus tetap mengendalikan kecepatan dan menjaga keseimbangan
kendaraan agar tidak tergelincir dan jatuh ke jurang.
Saat memasuki daerah Slatri memang hujan agak mereda namun ruang pandang sudah terbatas karena hari mulai gelap, hanya sorot lampu sepeda motor dan cahaya kilat sesekali saja menerangi jalan. Keadaan jalan menanjak makin ekstrim, di sebelah kiri tebing dengan aliran air parit di pinggir jalan yang menggelegak, sedang di sebelah kanan hutan pinus yang pucuknya berayun- ayun beradu tertiup angin, sementara semak belukar dan jurang di bawahnya sudah kelihatan menghitam. Sekitar waktu mahgrib kami lewat di sini.
Sedang berkonsentrasi mengendarai sepeda motor
tiba-tiba terdengar suara aneh, gemeruduk dan berisik sekali seperti ada benda
yang diseret melewati semak-belukar, saya belum pernah mendengar suara seperti
ini sebelumnya. Disusul dengan suara “buuk” ada benda sebesar anak kerbau
berwarna hitam jatuh dari atas tebing ke tengah jalan, disusul dengan suara
melengking bersaut-sautan.
Sepeda motor seketika saya hentikan, sorot lampu saya arahkan ke benda tersebut yang jaraknya lebih kurang 15 meter dari tempat saya berhenti.
Heran kenapa jatuh, apakah ini batu yang longsor
karena hujan...?
Setelah diperhatikan, ternyata seekor babi hutan.
Mengetahui keberadaan saya berdua beserta raungan suara mesin sepeda motor yang
saya keraskan ditambah sorot lampu besar, maka tanpa tolah-toleh lagi dia
langsung bangkit dan lari ke arah hutan pinus, selanjutnya masuk semak belukar
menuju lembah.
Perasaan sedikit lega setelah binatang tadi pergi, tetapi tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian menyusul kawanan lain berjatuhan dan bangkit berjalan beriringan satu persatu dengan tertib seperti ada yang memberi komando (urut kacang). Ada yang besar, kecil, sedang, yang besar lagi, kecil lagi, sedang dan besar begitu terus menerus silih berganti berjalan beriringan pada garis route yang sama. Kiranya yang jatuh pertama adalah pejantan pembuka jalan karena taringnya baru kelihatan dua buah dan belum terlalu panjang.
Tak berapa lama kemudian saya terkesima, karena di
sisi kiri jalan tiba-tiba muncul seekor babi sebesar kerbau jantan dewasa dan
berdiri waspada sambil mengamati lingkungan sekitarnya. Seperti memberi komando
agar rombongan bergerak cepat karena menyadari didekatnya ada ancaman. Sorot
matanya tajam berwibawa, taringnya berjumlah empat buah termasuk yang pendeknya
melengkung panjang sekitar 20 s.d. 30 cm seperti gading gajah. Bulu di
punggungnya bagaikan duri, berdiri tegak mulai dari tengkuk hingga ke
pinggangnya.
Suara mesin sepeda motor saya kecilkan, lampu saya
alihkan ke spot pendek, dan arah sepeda motor saya rubah sedikit-sedikit pada
posisi untuk kabur menyelamatkan diri apabila situasi tiba-tiba berubah. Istri
saya berbicara pelan agar tetap tenang dan meminta bersama-sama membaca surat
Al-Alaq. Yang terpikir oleh saya adalah menyusun strategi bagaimana cara
menyelamatkan diri yang paling memungkinkan. Saya ambil cadangan olie di
jerigen kecil dari bagasi depan kemudian saya tumpahkan pelan-pelan di sekitar
sepeda motor, dengan asumsi binatang liar biasanya akan menghindari bau asing
yang menyengat. Betul saja, ada reaksi dari pejantan yang sedang berjaga
itu. Dia kelihatan gelisah dan sering mengangkat kepala serta menggerakan
cuping hidungnya untuk mencium bau olie. Kelihatannya tak nyaman, tetapi
pekerjaan pengawalan belum selesai.
Disusul kemudian induk yang membawa anak-anaknya, ini
dapat dicirikan karena bentuk badanya lebih besar dan tambun hampir sebesar
kerbau betina tetapi tidak bertaring. Berikutnya adalah anak-anak tanggung dan
yang masih kecil-kecil. Bilamana yang kecil jalannya tidak cepat atau keluar
dari barisan, maka induk yang berposisi di belakangnya langsung mendorongnya
agar masuk ke dalam barisan sambil mengeluarkan suara dengusan keras.
Diperkirakan satu kelompok berjumlah sekitar 15 s.d. 20 ekor, di situ ada
induk, pejantan, anak-anak tanggung sampai bayi yang berkulit agak terang.
Pejantan dicirikan badannya tegap berwarna hitam dan bertaring, cara
berjalannya lurus dengan langkah tegap. Sedangkan bayi-bayi jalannya sedikit
meloncat-loncat dan banyak berpaling ke kanan-kiri.
Istri saya menghitung sudah sekitar 40 rombongan konvoi berlalu tanpa putus, tetapi si jantan masih saja berdiri mengawasi, padahal waktu sudah menghabiskan sekitar 25 menit.
Ada sekelompok babi tanggung yang sudah bertaring dua
atau empat buah berjumlah sekitar 25 ekor beriringan dengan rapihnya. Saya
perkirakan ini kelompok remaja atau dewasa karena kelihatan kompak dan seragam.
Waktu 30 menit sudah berlalu, belum juga ada
tanda-tanda konvoi berakhir, karena masih ada lagi rombongan induk sekitar 10
ekor yang jalannya terpincang-pincang dan beberapa ekor lagi kepalanya
tertunduk ke tanah dikawal oleh satu ekor babi sebesar kerbau, rupanya ini
adalah rombongan babi hutan yang terluka atau sakit. Rombongan berikutnya
didominasi oleh bayi-bayi kecil jumlahnya sekitar 60 ekor dikawal oleh 3 ekor
induk.
Hitungan waktu hampir menunjukan menit ke 40, ketika
tiba-tiba si Komandan menyeringai dan mengeluarkan suara menguik panjang. Saya
kaget, dalam benak ini pasti akan menyerang, ia masih pada posisi semula, namun
suara lengkingannya makin sering. Tak lama muncul lagi rombongan berjumlah 12
ekor babi hutan yang rata-rata sebesar kerbau jantan dengan taring panjang
tetapi bulu di punggungnya masih pendek. Diantaranya ada yang berdarah-darah
terluka di sekitar punggung dan bahunya, mungkin bekas berkelahi atau karena
serangan binatang buas lainnya.
Beberapa saat menunggu tidak ada lagi rombongan yang muncul, mungkin sudah habis. Sang komandan yang tadinya hanya berdiri gelisah tiba-tiba meloncat ke arah seberang jalan. Dengan dua kali loncatan sudah dapat menyeberang dan masuk hutan pinus.
Serta merta suara mesin saya raungkan keras-keras dan
lampu besar saya sorotkan kearah depan. Saya minta istri untuk berpegang
erat-erat, saya akan tancap gas meneruskan perjalanan. Begitu situasi dianggap
aman, perjalanan saya lanjutkan.
Di dalam perjalanan saya setengah menganalisa.
Ini kekuasaan Tuhan, saya diselamatkan dan sekaligus
dipertunjukan suatu keajaiban alam ciptaannya. Betapa tidak, binatang yang
tidak punya daya pikir, hanya dengan naluri kebinatangannya dapat mengkoordinir
masyarakatnya dengan begitu rapih, komunikatif, penuh kasih sayang dan
bertanggung jawab. Mengevakuasi warga ke tempat yang lebih menjanjikan pastinya
diawali dengan survey lokasi dan perencanaan yang matang.
Komunitas yang terdiri dari beratus-ratus warga babi hutan ini diperkirakan datangnya dari Gunung Rogojembangan di sebelah utara Wanayasa. Kemungkinan persediaan makanan disana menipis, habitatnya terganggu atau mengikuti tanda alam. Setelah situasi dan waktunya tepat, warga segera diperintahkan berangkat menuju daerah baru, kemungkinan tujuannya adalah lembah di sekitar Paweden, PLTA Tulis, Maung Banjarmangu atau sekitar waduk Mrica dan disekitarnya yang masih tersedia bahan makanan.
Yang lebih mengagumkan lagi ialah bagai mana mereka
menentukan pembagian wilayah tempat mencari makan berdasarkan kelompok dan
pimpinannya. Karena sampai sekarang saya belum pernah mendengar kerusakan
ladang pertanian yang sampai total puso. Bisa dibayangkan kalau babi hutan yang
jumlahnya beratus-ratus itu menyerang ladang bersama-sama, pastilah dalam satu
malam berhektar-hektar tanaman bisa hancur. Namun di daerah Banjarnegara belum
pernah terdengar ada kejadian ladang rusak total, berarti dalam mencari makanan
babi hutan tidak serakah seperti manusia yang mempunyai prinsip aji mumpung.
Suatu manajemen dunia babi yang sempurna.
Doc. By Kang Wirya
mantap.....ternyata ning banjar ana desa slatri juga....kirain ning brebes tok sing ana desa slatri
BalasHapus