Photo by Kang Mulyono. |
Latar
Belakang Diadakannya Seminar Bahasa Penginyongan
Berangkat dari keprihatinan menurunya
penggunaan Bahasa Jawa khususnya Banyumasan, mendorong diadakannya Seminar
Bahasa Penginyongan di Aula LPPM Universitas Jendral Soedirman Karangwangkal
Purwokerto. Seminar Bahasa Penginyongan menjadi ajang berkumpulnya berbagai
komponen pengguna, pemerhati, pendidikan, budayawan dll. Tumpah ruahnya peserta
seminar juga karena dalam rangka Harlah Majalah ANCAS ke-6 kerjasama Yayasan
Carablaka dan Puslitbudpar LPPM Unsoed.
Seminar tersebut menampilkan tiga nara
sumber masing Prof. Dr. Teguh Supriyanto. M.Hum Guru Besar Sastra UNNES
Semarang, Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, Guru Besar UMP Purwokerto dan Drs.
Pardi Sratno, M.Hum Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah dengan dipandu pegiat
sastra Banyumas Bambang Wadoro, S.Pd bertindak sebagai moderator.
Acara Seminar diawali Sekapur Sirih
Budayawan Banyumas sekaligus Pemimpin Redaksi ANCAS mengurai perjalanan media
tulis yang didirikan enam tahun silam dengan sederet suka dan duka seiring visi
dan misi Majalah ANCAS sebagai media berbahasa Banyumasan yang sudah terbit
sebanyak 71 kali, tentu banyak kekurangan seiring merebaknya media online
menjadi tantangan agar eksistensi Majalah ANCAS sebagai media cetak tetap
lestari dan berjaya.
Keresahan menurunnya penggunaan bahasa
daerah khusunya Bahasa Jawa di Jawa Tengah membutuhkan perhatian seluruh
komponen masyarakat Jawa Tengah untuk membangkitkan penggunaaan bahasa Jawa
dengan menekankan dua solusi; yang pertama kebijakan Pemprov, Pemda, Pemkot
dengan menerbitkan Perda, Pergub, Surat Edaran dan sejumlah Peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga di bawahnya. Kedua keingnan dan kemauan Masyarakat Jawa
Tengah tetap menggunakan bahasa-bahasa Jawa setiap hari diseluruh Jawa Tengah
baik di rumah, di kebun, di pasar, di setiap pertemuan dan kegiatan lainnya.
Menurunya penggunanaan bahasa Jawa dari 15% menjadi 11 % merupakan lampu merah
untuk segera melakukan berbagai pendekatan agar bahasa Jawa tidak menjadi asing
kelak dikemudian hari bagi generasi muda, begitu kata Drs. Pardi Suratno, Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
Prof. Dr. Teguh Supiyanto, M.Hum
menyoroti menurunnya penggunaan bahasa Jawa akibat pergaulan saat
menuntut ilmu, bekerja merantau di kota-kota besar yang multi etnik bahasa yang
menyebabkan generasi muda menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan
agar memudahkan dalam berkomunikasi setiap hari. Juga kurang perhatian orang
tua menggunakan bahasa Jawa di rumah lebih memilih bahasa Indoensia sebagai
bahasa komunikasi setiap hari, bahkan anak-anak sejak kecil kini mulai
dikenalkan bahasa Inggris, mereka lebih bangga anak-anaknya pandai berbahasa
Inggris ketimbang bahasa daerah. Padahal sama artinya orang tua sedang
menjauhkan kesadaran identitas jati diri sebagai pemilik bahasa daerah.
Dialek Banyumasan merupakan satu
dialek yang berkembang dalam peradaban Jawa, ia jauh lebih tua dibandingkan
dengan bahasa Jawa sehingga tidak bisa dikatakan sebagai bahasa Jawa. Oleh
karena dialek Banyumasan merupakan warisan Majapahit sebagaimana dinyatakan
dalam Babad-babad Banyumas yang disebut Wirasaba (Witen Sohan) merupakan negara
bagian Majapahit yang paling barat yang berbatasan dengan Pasirluhur. Sungai
Banjaran di sebelah timur dan Sungai Bodas di sebelah barat merupakan batas
antara Wirasaba dan Pasirluhur, demikian sepenggal paparan Prof. Dr. Sugeng
Priyadi, M.Hum, Guru Besar Sejarah Banyumas UMP Purwokerto.
Seolah kondisi itu dibiarkan, ditandai oleh semakin berkurangnya masyarakat yang mampu dan mau menggunakan bahasa daerah, termasuk juga semakin memudarnya masyarakat yang mau dan mampu bersikap sesuai dengan budaya lokalnya, yakni berbahasa Jawa. Melihat kondisi itu, muncul keinginan untuk mengembalikan pemakaian bahasa Jawa seperti pada masa lalu.
Dilihat dari manfaat
pembelajaran atau pemanfaatan bahasa daerah, tidak ada alasan untuk tidak menangani
pelestarian dan pembinaan, termasuk pembelajaran bahasa Jawa secara memadai dan
bermartabat.
Menimbang
Upaya Pelestarian Bahasa Jawa Di Jawa Tengah
Drs. Pardi Suratno, M.Hum Kepala Balai
Bahasa Jawa Tengah menyampaikan, bahwa beberapa tahun ini dalam setiap
kesempatan yang membahas bahasa dan budaya daerah (khususunya di Jawa Tengah ketika
membahas kondisi dan pembelajaraan bahasa Jawa) entah itu berupa diskusi,
sarasehan, seminar, dialog, maupun lokakarya, selalu diwarnai sikap kecewa
terhadap kehidupan bahasa dan budaya yang semakin merosot.
Seolah kondisi itu dibiarkan, ditandai oleh semakin berkurangnya masyarakat yang mampu dan mau menggunakan bahasa daerah, termasuk juga semakin memudarnya masyarakat yang mau dan mampu bersikap sesuai dengan budaya lokalnya, yakni berbahasa Jawa. Melihat kondisi itu, muncul keinginan untuk mengembalikan pemakaian bahasa Jawa seperti pada masa lalu.
Keinginan untuk melestarikan bahasa
Jawa harus dilakukan dalam dua hal.
Pertama, sebagai representasi negara yang berkewajiban
memelihara budaya bangsa, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengambil
langkah yang terencana dan terukur. Dalam kaitan ini, pemerintah provinsi Jawa
Tengah telah cukup memadai menerbitkan regulasi atas pelestarian bahasa Jawa
yakni melalui Perda, Pergub, Surat Edaran dan sejumlah peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga di bawahnya. Karena regulasi sudah baik, yang perlu
dilakukan adalah tindakan riil atas pelaksanaan regualsi tersebut.
Kedua, adalah keinginan dan kemauan
masyarakat Jawa Tengah. Jika keinginan dan kemauan masyarakat dapat menyatu
pelaksanaan regulasi akan berhasil dengan baik. Pada saat ini dapat dilihat
keinginan pemerintah masih belum bersifat masif atau utuh. Sebagai misal,
pelestarian bahasa Jawa yang baik adalah melalui pendidikan sekolah. Dalam hal
ini, beberpa titik kelemahan yang tidak dapat diantisipasi dan penanganan dari
pemerintah sebagai representasi negara, antara lain adalah pengadaan tenaga
pendidik atau guru bahasa Jawa. Pengadaan guru tidak mendapatkan perhatian
pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan pengadaan bahan atau media penunjangg
belum dipikirkan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Kondisi ini
dapat membuat lembaga penyedia tenaga guru kehabisan energi atau berputus asa
(kemerosotan animo masuk ke program studi pendidikan bahasa/daerah).
Penanganan pendidikan bahasa Jawa yang
kurang memadai menimbulkan sikap ragu-ragu dan pesimistis yang semakin terbuka
bagi generasi muda untuk turut melestarkan bahasa Jawa. Dalam konteks ini, kemerosostan
minat memasuki pendidikan guru bahasa daerah merupakan dampak dari isu
kurikulum 2013 yang menjadi penyebab dunia kelam pengajaran bahasa daerah
(bahasa Jawa). Program studi pendidikan bahasa Jawa yang semula dapat
diharapkan sebaga jembatan dan peluang memperoleh kesempatan mengajar di
sekolah, secara tiba-tiba jatuh ke titik yang sangat memilukan, misalnya
terjadi penurunan jumlah mahasiswa yang drastis dan hampir-hampir tiada layak
dipertahankan program studi tersebut jika dirasionalisasi antara jumlah dosen
dan mahasiswa sebagai ukuran. Hal itu terjadi di prodi pendidikan bahasa Jawa
di Universitas Sebelas Maret, Universitas Veteran Bangun Nusantara, Universitas
Widya Darma Klaten, Universitas PGRI Semarang, dan Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Saya berpendapat sesuai dengan harapan
dan keluhan masyarakat atas pelestarian bahasa daerah yang terencana,
bersama-sama, terukur dan terevaluasi perlu mendapat penanganan oleh pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota. Para pejabat pemerintah sebagai pengemban dan
penjaga amanat moral dalam pelestarian bahasa Jawa, bukan wacana yang hanya
bertujuan menghibur atau meredam keresahan masyarakat atas semakin merosotnya
pemakaian bahasa Jawa. Satu hal yang perlu dicatat adalah perlunya pemahaman
yang serius dari penyelenggara pemerintahan atas dominannya budaya kapitalis.
Dalam konteks kapitalis semua tindakan harus diukur dari untung dan rugi secara
ekonomi. Tidak pernah ada pihak kapitalis dalam konteks ini pengusaha atau
pemilik modal swasta bersedia melakukan tindakan tidak bernilai ekonomi. Pelestarian
bahasa dan budaya lokal tidak memberikan keuntungan secara kapitalis.
Oleh sebab itu, tidak boleh pemerintah
dan masyarakat mengharapkan atau mengandalkan kehadiran swasta atau pemilik
modal dalam pelestarian bahasa dan budaya Jawa. Untuk itu ketika pihak kapitalis
tidak mengambil peran dan peluang karena pertimbangan ekonomi, pemerintah harus
mengambil bagian utama dalam menangani bahasa dan budaya lokal. Sebagai misal,
masyarakat kita sudah tidak memiliki pemahaman kosa kata bahasa Jawa secara
memadai. Akibatnya, untuk berbicara dalam bahasa Jawa seseorang tidak memiliki
kosa kata bahasa Jawa yang cukup. Sementara itu, bacaan berbahasa Jawa di Jawa
tengah hampir-hampir tidak ada sama sekali. Masyarakat tidak mendapatkan bahan
untuk belajar menambah dan memperkaya kosa kata bahasa Jawanya.
Dalam kontek ini dbutuhkan adalah kehadiran
Majalah berbahasa Jawa, Surat Kabar berbahasa Jawa, bacaan sastra yang
berkualitas, dan terbitan berbahasa Jawa lainnya yang dikemas sesuai dengan
semangat dan sifat masyarakat Jawa dewasa ini. Saya mengambil contoh, Edaran
Gubernur Jawa Tengah untuk sehari berbahasa Jawa bagi pegawai pemerintah pada
hari Kamis, pada dasarnya sebagai langkah yang tepat dalam pelestarian budaya
lokal. Akan tetapi dalam pelaksanaanya kurang mempertimbangkan kondisi atau
kecakapan pegawai pemerintah dalam berbahasa Jawa. Akibatnya, tidak ada
evaluasi, penangan dan kebijakan penunjang yang memadai untuk menciptakan
pegawai mahir berbahasa Jawa. salah satunya tidak ada bacaan berbahasa Jawa
yang dapat digunakan sebagai latihan atau "gladhen" berbahasa Jawa.
Saya meminta pemeritah provinsi dapat
menerbitkan majalah berbahasa Jawa dan sejenisnya secara memadai dalam jumlah
yang cukup dan didistribusikan kepada masyarakat luas. Jika kondisi penanganan
sudah terbangun, tidak mustahil masyarakat akan memberi dukungan yang memadai
untuk kebijakan lanjutan, misalnya sehari berbahasa Jawa bagi masyarakat Jawa
Tengah, khususnya bagi keluarga dan lembaga swasta di Jawa Tengah. Jika peran
pemerintah ini mencapai dampak yang bagus dan berhasil, tidak tertutup
kemungkinan pihak pemilik modal dan kalangan swasta akan tertarik untuk menerbitkan
majalah atau koran berbahasa Jawa.
Pada gilirannya, masyarakat Jawa
Tengah akan merasa percaya diri ketika mampu atau mahir berbahasa Jawa.
Kemahiran berbahasa Jawa dipandang bukan sebagai bahasa masyarakat kelas dua,
tetapi kemahiran tersebut sebagai gambaran pribadi yang cerdas, berbudaya dan
tinggi budi bahasanya. Selanjutnya, tidak tertutup kemungkinan akan membangun budaya
masyarakat yang merasa malu ketika tidak mampu berbahasa Jawa secara memadai.
Semua harus menyadari bahwa bahasa
Jawa adalah Wadah Budaya Jawa. Oleh karena itu suburnya pemakaian bahasa Jawa
akan berdampak pada suburnya masyarakat berpikir dan berperilaku atas dasar nilai-nilai
budaya Jawa. Sebaliknya, merosotnya pemakaian bahasa Jawa tanda semakin
merosotnya pemahaman dan perilaku masyarakat atas niali-nilai budaya Jawa.
Terkait dengan paradigma pemikiran seperti itu, mulai sekarang sebaiknya lembaga
pemerintah dan masyarakat (baik individu maupun kelompok) mengambil peran nyata
dalam pelestarian budaya Jawa. Bukan waktunya lagi semua pihak hanya turut
membangun wacana, terlebih lagi untuk mengeluh, atas kondisi bahasa Jawa yang
tidak memadai lagi pada dewasa ini.
Sekecil apapun asal sesuai dengan
kemampuan, kekuatan dan kewenangan masing-masing pihak, harus dimanfaatkan
untuk turut andil dalam pelestarian bahasa dan budaya Jawa. Saat ini merupakan
titik waktu yang sangat menentukan dalam perjalanan bahasa Jawa ke depan.
Dewasa ini masyarakat yang memliki kepedulian terhadap budaya lokal rata-rata
sudah berada pada usia 55 tahun. Dalam dua dekade ke depan jumlah mereka
semakin merosot. Untuk itu, mari kita bekerja bersama-sama untuk mengambil
bagian dalam pelestarian bahasa Jawa, kita bekerja secara berjamah dalam penanagan
bahasa dan budaya Jawa.
Kita dapat bertemu bersama lintas
lembaga untuk berbagi peran dalam penanagan
bahasa Jawa. Sebagai misal, Dinas Pendidikan mengambil dan diserahi mandat penanagan di bidang apa. Dinas
Kebudayaan mengambil peran dibidang apa. Dewan Kesenian diberi tanggung jawab
peran pada penanganan bidang apa,
perguruan tinggi mendapat tugas dan peran apa, LSM diberdayakan seperti apa,
Balai Bahasa dapat memberi dukungan apa, dan sebagainya. Kita duduk bersama,
merencanakan kerja, merencanakan perna dan tanggung jawab masing-masing yang
dapat dikontrol bersama dan sejenisnya.
Jika sikap yang utuh dan kesadaran untuk
bekerja bersama-sama itu dapat menjadi paradigma semua pihak, kita meyakini
secara pasti pemakaian bahasa Jawa akan semakin membaik. Kelemahan kita dewasa
ini, kadang-kadang memlih bekerja secara sendiri-sendiri sehingga hasilnya
tidak tampak. Hanya kelelahan dan penggunaan dana yang tidak memberi dampak
positif, bahkan dapat membuat seseorang atau lembaga frustasi yang akhirnya
berputus asa serta menyerah dan mengakui gagal.
Saya matur secara objektif dan dalam
bahasa yang sederhana apa anane, ora ndhakik-ndhakik karena merefleksikan
kecintaan masyarakat terhadap bahasa dan budaya saking khawatir masyarakat
terhadap situasi yang membawa bahasa Jawa semakin merosot, saking ketakutan
masyarakat pada saat ini bagaimana kelak jika orang-orang yang memiliki
perhatian terhadap bahasa Jawa semakin berkurang.
Maka dari itu, saya menegaskan
perlunya:
(1) bekerja secara bersama-sama dan
berjamaah serta pembagian peren yang terencana, terukur dan terkontrol
(dievaluasi tingkat hambatan dan keberhasilannya.
(2) Pemerintah harus mengabil peran utama dalam penanganan bahasa dan budaya Jawa sebagai tanggung jawab moral, sebagai penjaga nilai-nilai budaya lokal.
(3) Masyarakat harus memberi dukunganriil dalam peran-peran yang dimilikinya.
(4) Saiyek Saeka Praya dari semua pihak yang mengakui bahwa pelestarian bahasa Jawa adalah tanggung jawabnya dalam menciptakan generasi masa kini dan masa depan yang berbudaya tinggi, yakni generasi yang memliliki sikap hidup harmoni (saling menghormati dalam keberagaman), solidaritas tinggi terhadap sesama, tertib sosial, taat hukum, menghargai lingkungan hidup bersih, menghargai perbedaan, intelek atau cerdas, dan tinggi budi bahasa.
(2) Pemerintah harus mengabil peran utama dalam penanganan bahasa dan budaya Jawa sebagai tanggung jawab moral, sebagai penjaga nilai-nilai budaya lokal.
(3) Masyarakat harus memberi dukunganriil dalam peran-peran yang dimilikinya.
(4) Saiyek Saeka Praya dari semua pihak yang mengakui bahwa pelestarian bahasa Jawa adalah tanggung jawabnya dalam menciptakan generasi masa kini dan masa depan yang berbudaya tinggi, yakni generasi yang memliliki sikap hidup harmoni (saling menghormati dalam keberagaman), solidaritas tinggi terhadap sesama, tertib sosial, taat hukum, menghargai lingkungan hidup bersih, menghargai perbedaan, intelek atau cerdas, dan tinggi budi bahasa.
Pada intinya, kita berharap lahirnya
generasi Jawa yang berjiwa "memangun karyenak tyasing sesama linambaran
andhap asor, rila legawa, rukun, berpikir positif, kanggo nggayuh urip mulya
lan kanugrahaning Gusti Allah kang Maha Mirah lan Kasih. Kula sampun ngaturaken
ide ingkang baku utawa pokok 'mendasar' sarasehan lan nyata riil, salajengipun,
kula gadhah pangajab narasumber ing sarasehan punika kersa ngaturaken pamawas
ingkang sipatipun praktis. Kajawi punika saenipun Dinas Kebudayaan lan
Pariwisata Provinsi Jawa Tengah saged minangka inisiator saha koordinator
kangge mranani langkah-langkah saha aplikasi pelestarian bahasa Jawa. Saeba
saenipu menawi Disbudpar Jawa tengah kersa ngadani pertemuan koordinatif
kaliyan pemerintah kabupaten/kota ing Jawa tengah kanthi pangajab pelestarian
bahasa Jawa kanthi jamaah saged dipun leksanaaken, linambaran sesanti "ana
prekara padha dirembug, ana gawe padha disengkuyung bareng".
Lahirnya Perda No.9 Tahun 2012 tentang
Bahasa, Sastra dan Aksara berdampak besar dalam pelestarian bahasa Jawa. Perda
itu melahirkan sejumlah kebijakan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam
paparan ini saya harus mengatakan bahwa pelaksanaan masih perlu ditingkatkan
dengan memahami tujuan yang hendak dicapai dalam pengembangan, perlindungan dan
pembinaan bahasa, yakni adanya asas mafaat dan dilakukan secara sistematis,
terarah, terencana dan berkelanjutan.
Kita perlu menanyakan apakah manfaat
atas pengembangan dan pembinaan bahasa Jawa sudah dirumuskan secara terinci?. Kemudian
apakah kegiatan sudah terencana dan terukur? Artinya terukur, terencana dari
kegiatan apapun akan mengarahkan pada tujuan kualitatif dan kuantitaif. Padahal
tujuan dalam Perda No.9 tahun 2012 ini terumuskan secara baik dan idealis,
yakni menggali nilai-nilai budaya dalam bahasa, sastra dan aksara Jawa dan mendayagunakan
bahasa, sastra dan aksara Jawa untuk pembangunan karakter dan budi pekerti.
Posisi
'Basa Penginyongan' Dalam Naskah Babad Banyumas Pada Tahap Awal
Menurut Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum,
dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, bahwa; Dialek Banyumasan sebagai
salah satu dialek yang berkembang di dalam peradaban Jawa sesungguhnya berada
pada usia yang lebih tua dari pada bahasa Jawa sehingga ia tidak bisa dikatakan
sebagai bagian dari bahasa Jawa. Keberadaaan dialek tersebut merupakan
warisan Majapahit. Hal itu dinyatakan dalam naskah-naskah babad bahwa Banyumas
yang pada waktu itu disebut Wirasaba (Witen Sohan) merupakan bagian Majapahit paling barat, yang berbatasan dengan Pasirluhur.
Kota Purwokerto (baca:Purwakerta) yang
berada di sebelah timur Sungai Banjaran dan di sebelah barat Kali Bodas diduga
merupakan daerah batas antara Wirasaba dan Pasirluhur. Toponim Paguwon sebagai
desa cikal bakal kota Purwokerto yang dibangun tahun 1932 secara darurat itu
berpotensi sebagai kota kedua. Tradisi lisan masyarakat Purwokerto menyatakan
bahwa tempat klenteng Hok Tek Bio adalah kediaman penguasa Purwakerta yang
berada di sebelah barat Kali Putih, sedangkan Pasar Wage itu dulu alun-alunnya.
Purwakerta berasal dari perserikatan empat desa yang terdiri atas Purwakerta
Lor, Purwakerta Wetan, Purwakerta Kidul dan Purwakerta Kulon.
Paguwon sering lengket dengan beberapa
nama Adipati Wirasaba menurut versi Babad Banyumas tertentu. Sebenarnya,
Paguwon itu bukan nama diri seseorang, tetapi nama lain dari Wirasaba. Wirasaba
itu nama yang berasal dari Babad Banyumas, sedangkan Paguwon dari Pararaton
atau Negerakertagama. Paguwon merupakan bacaan dari Paguhan, yaitu sebuah bagian
Majapahit yang dilekatkan kepada seorang Raja Kecil Bhre Paguhan atau Batara I
Paguhan, Paguwon atau Paguwan adalah sisa-sisa ingatan masyarakat Banyumas
terhadap daerahnya.
Ekstistensi bagian dari Majapahit
menjadi kebanggaan masyarakat Banyumas sehingga teks-teks Babad Banyumas selalu
menenek-moyangkan Raja Majapahit. Legitimasi tersebut memang umum sebagaimana
banyak ditemukan pada teks-teks sejenis di Jawa. Babad Banyumas di situ
berkedudukan sebagai tradisi besar yang membawahi tradisi kecil yang masih
hidup dalam kelisanan di pedesaan. Tradisi besar tadi diimbangi oleh tradisi besar
lain yaitu babad Pasirluhur. Kenyataan menunjukkan bahwa Banyumas adalah
serambi kebudayaan Sunda jika dilihat dari Jawa, atau sebaliknya serambi
kebudayaan Jawa bila ditatap dari Sunda. Ada kemungkinan bahwa bahasa Jawa Kuna
itu berhadapan saling berkomunikasi dengan bahasa Sunda Kuna pada masa-masa
akhir Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda atau sebelumnya.
Namun tampaknya, Jawa Kuna lebih
dominan di dalam perkembangannya karena kisah Babad Banyumas terkandung dalam
karya Pangeran Wangsakerta, Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara (purwa 2,
sargah 4). Ada dugaan bahwa pada abad ke-17, di Banyumas terdapat naskah
berbahasa Jawa Kuna yang dibawa ke Cirebon pada tahun 1980. Sampai hari ini
belum ditemukan teks Babad Banyumas atau Babad Pasir dalam bahasa Sunda Kuna
atau Sunda. Pengaruh Sunda yang tampak kuat adalah Kisah Kamandaka atau Lutung
Kasarung dalam teks Babad Pasir dan kosa kata bahasa Sunda atau Sunda. Peran
orang Sunda terhadap bahasa Jawa Kuna atau dialek Banyumas tergolong kecil karena
orang Sunda sendiri selalu kagok berbahasa Jawa meskipun mereka sudah pernah
tinggal lama di Jawa. Sanghyang Siksa Kanda ing Karestan sendiri menyatakan hal
itu, selain juga sifat orang Sunda yang mempunyai ego yang besar untuk selalu
berbahasa Sunda meskipun hanya dua orang saja.
Teks yang dijadikan acuan oleh
Pangeran Wangsakerta kelihatannya tidak identik dengan Naskah Kalibening
sebagai naskah tertua Babad Banyumasan yang juga berasal dari abad ke-17.
Seperti halnya di Majapahit, tampaknya di Banyumas juga hidup bahasa Jawa Kuna
di satu sisi, dan berkembang bahasa Jawa Pertengahan di sisi lain.
Naskah-naskah lontar di Banyumas, agaknya, hanya menjadi legenda saja karena
kisah keberadaanya ditutur orang-orang tua, tetapi belum ditemukan warisan
tradisi lontar hingga sekarang. Ada kemungkinan tradisi lontar telah bergeser
ke penulisan naskah dengan kulit kayu. Hal itu terbukti dengan penemuan salah
satu naskah dari abad ke-17 di Kalibening, Dawuhan, Banyumas. Naskah lain yang
juga berbahasa Jawa Pertengahan berisi ajaran Tasawuf Heterodhoks. Bahasa Jawa
Pertengahan inilah yang menjadi nenek moyang bahasa dialek Banyumas di dalam
perkembangan selanjutnya.
Tradisi keberaksaraan yang pernah ada
pada abad ke-17, warisannya sangat terbatas yang masih lolos dari seleksi alam.
Keberlanjutan peradaban abad tidak ada sisa-sisa yang berbekas dalam kehidupan
sehari-hari, Orang-orang yang melek huruf kiranya juga terbatas karena ada
tempat-tempat yang disebut ahli Filologi sebagai skriptorium atau sejenis
padepokan-padepokan Jawa Kuna atau Jawa Pertengahan.
Ada jurang yang terpisahkan antara
teks abad ke -17 dengan abad ke-19. Ada jeda satu abad, para Penulis dan Penyalin
Babad yang karyanya tidak dapat diperoleh karena tidak sampai kepada masa
sekarang. Kemungkinan besar adalah tidak adanya karya-karya yang ditulis atau
mengalami kemacetan budaya dimana ruh Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan tidak
berlanjut sehingga masyarakat Banyumas hanya dapat menikmati naskah Kalibening
sebagai satu-satunya saksi sejarah keberadaan bahasa warisan nenek moyang.
Diintegrasi budaya ini tidak dapat menjelaskan proses ‘mendialek-Banyumaskan’
dari Jawa Kuna atau Jawa Pertengahan ke arah yang kita kenal sekarang. Tidak heranlah,
jika teks mula yang menggunakan dialek Banyumasan itu belum ditemukan, padahal pada
awal abad ke-18, posisi Banyumas di Keraton Mataram sedang naik dan memerlukan
legitimasi, terutama bagi para Bupati yang memakai Yudanegara, yang dimulai
dari tokoh leluhur yang bernama Mertayuda I.
Akibat Mertayuda II (Yudanegara I,
tumenggung Seda Masjid) dan Yudanegara II (Tumenggung Seda Pendapa) mendapat
hukuman Raja. Mungkin inilah yang menyebabkan kekososngan karya selama satu
abad. Kiranya pujangga Banyumas tidak berani menulis Babad Banyumas yang penuh
legitimasi. Kisah wangsa Yudanegara baru muncul ketika Yudanegara III menjadi
Pepatih dalem Kasultanan Yogyakarta. Di Yogyakarta, berkembang subur penulisan
Babad Banyumas versi Danurejan, baik gancaran maupun tembang.
Paling tidak pada tahap awal, bisa dijelaskan
bahwa Babad Banyumas dalam bahasa Jawa Kuna telah ditolong dengan kenyataan
teks yang terkandung pada karya Wangsakerta dari tahun 1980. Setelah itu, Babad
Banyumas yang tertulis pada Naskah Kalibening memberi tanggapan dalam bentuk
bahasa yang lebih muda dengan masih membawa sisa-sisa karakter Jawa Pertengahan
yang egaliter, yang oleh orang masa sekarang disebut ngoko dari karya
Wangsakerta yang berbahasa dari Jawa Kuna. Hal itu didukung oleh huruf yang
dipakai juga berasal dari abad ke-17. Selanjutnya, naskah-naskah yang lain
lebih banyak mengandung kosa kata yang oleh Pigeaud atau sifatnya sebagai
kata-kata yang sulit yang akan dimasukan ke dalam kamus yang akan disusunnya.
Pigeaud memberi catatan pada margin kanan setiap halaman terhadap kata-kata
tersebut, yang sebenarnya kosa kata dialek Banyumas yang berbaur dengan bahasa
Jawa modern dari hasil sistem pendidikan kolonial, setelah Belanda menguasai Banyumas
seusai Perang Diponegoro berakhir.
Saniki
Mawon Ngendikan Basa Panginyongan
Prof.Dr.Teguh Supriyanto, M.Hum, Guru
Besar Sastra Unversitas Negeri Semarang berpendapat; Jika kita melangkah ke tetangga
sebelah barat yaitu Jawa Barat, kita sering iri karena begitu masuk Bandung
sebagai pusat kota paling besar di Jawa Barat masih banyak ditemukan remaja
Bandung berbicara antar mereka dengan bahasa Sunda tanpa harus merasa minder.
Kemudian jika kita pergi ke arah timur, tepatnya masuk wilayah Jawa Timur dan
tinggal di Surabaya kota terbesar di Jawa timur kita juga masih menemukan
mayoritas anak-anak muda mereka berbahasa dialek Jawa Timuran dengan logatnya
yang khas. Jangan heran di wilayah ini kita masih menemukan majalah berbahasa
Jawa "Jayabaya" dan "Penyebar Semangat" masih bertebaran
dan eksis sampai sekarang. Nah bagaimana dengan kota terbesar Jawa tengah?
Semarang, misalnya?
Di Semarang, sikap loyalitas keluarga
Jawa terhadap bahasa Jawa pernah diteliti setidaknya menunjukkan bahwa keluarga
Jawa mengalamai kemerosotan yang signifikan mengenai keluarga Jawa terhadap
bahasanya. Dilihat dari usia, generasi penerus usia sekolah mulai dari umur
5-16 tahun hanya 37% di kota kecil dan 14% di kota besar ini terjadi pada tahun
penelitian 2004. Sudi Utama dkk mengadakan penelitian ulang pada tahun 2009
menemukan kenyataan yang sangat mengejutkan terutama di Kota Semarang
menunjukkan sikap loyalitas pada usia 5-16 hanya 9% ; Kurun lima tahun
menunjukkan penurunan yang sangat signifikan.
Selama ini selalu ada dua alasan
sebagai faktor pemicu yaitu internal dan eksternal. Faktor internal diyakini
karena kurang percaya diri atau "pede". Sementara itu, faktor
eksternal yang menjadi "kambing hitam" adalah budaya global. Gejala
bahasa semacam ini dapat kita lihat pada kasus bahasa Jawa yang hidup di daerah
eks Karesidenan Banyumas dan sekitarnya. Yang dimaksud adalah kasus merosotnya
loyalitas keluarga Jawa yang berbahasa Panginyongan istilah basa Panginyongan
dikenalkan pada masyarakat terutama dengan munculnya gagasan Konggres Basa
Panginyongan untuk membendung istilah "Basa Ngapak". Di luar wilayah
eks Karesidenan Banyumas terutama di kota besar "Basa Ngapak" sangat
dikenal jika dibandingkan dengan Basa Panginyongan. Bahkan dimedia merasa enak
didengar slogan "Ora Ngapak Ora Kepenak".
Sayangnya munculnya istilah Ngapak
sangat dipengaruhi aspek politis bahasa bahwa selain bahasa yang dipandang baku
(Solo-Jogja) dan bahasa di kota besar seperti Semarang dan sekitarnya bahasa di
wilayah eks Karesidenan Banyumas dan wilayah Tegal dipandang "Ndesa"
dan tidak "mriyayi". Pandangan ini sebenarnya susah dibuktikan tetapi
ditataran praktis penutur bahasa yang dipandang baku memperlihatkan sikap
"meremehkan". Trend ini bahkan merambah ke dunia hiburan, bahasa Jawa
yang kita sebut Basa Penginyongan justru dimanfaatkan untuk bahan tertawaan.
Pandangan mengenai kurang
"pede" ini sangat mungkin namun belum ada penelitian yang memadai
mengenai hal ini. Begitu juga pengaruh budaya global merubah dampak
kemerosostan sikap loyalitas bahasa juga belum ada penelitian yang memadai.
paling banter sinyalemen yang seolah membenarkan adagium tersebut. Budaya
global merupakan hal yang tidak dapat kita hindari. Manakala kita membendung
dengan menutup diri sebagai bangsa tidaklah mungkin. Mengisolasi diri adalah
keniscayaan pada era sekarang ini.
Ada kesan sebagai contoh negara
seperti Jepang, China dan Korea tak terkecuali juga dilanda budaya global. Namun
apakah mereka tergilas oleh budaya global? ternyata justru mereka mampu ikut
bermain dalam pusaran global. Justru budaya mereka sekarang melanda kita
menandingi budaya Barat yang terlebih dahulu melanda kita. Bukankah Bandung dan
Semarang juga seperti kita mengalami benturan budaya global.? Marilah kita
bicarakan kemungkinan berbagai faktor lain, selain tersebut di atas serta
strategi supaya bahasa Penginyongan dituturkan, minimal dalam ranah keluarga.
Ada banyak faktor lain yang memungkinkan
merosotnya loyalitas anak muda atau masyarakat tutur Basa Panginyongan yang
dapat kita diskusikan ini. Bahwa menggunakan bahasa Panginyongan bagi anak muda
terutama jika mereka pindah tempat seperti karena tuntutan studi lanjut ke kota
besar menjadi kurang enak atau kurang "sreg". Pertama lawan tutur
mayoritas bukan berasal dari daerah yang sama. Namun, yang membuat kita heran
dan kagum bahwa masyarakat tutur kita sangat gampang adaptif. Artinya sangat
gampang menyesuaikan bahasa dan logat dimana mereka tinggal.
Faktor lain yang menyebabkan merosotnya
loyalitas keluarga Jawa terhadap bahasa Jawa misalnya bagi orang tua dan anak
muda adalah kurangnya kesadaran bahwa bahasa adalah identitas. Wilayah atau
Basa pangingonyan merupakan wilayah agraris dan masyarakatnya memiliki mata
pencaharian bercocok tanam. Dengan demikian Kebudayaan Penginyongan yang dihasilkan
tentulah bercorak agraris. Salah satu ciri agraris yang dominan adalah
kebersamaan (guyub) seperti terlihat pada aktivitas mengolah tanah pertanian,
membuat rumah, memanen padi, makan bersama, menari bersama. Oleh karena itu
tidaklah aneh semua bentuk budaya yang dihasilkannya menjadi milik bersama
(collectivity). Hal ini sangat berbeda dengan bahasa keraton yang diciptakan oleh
para Pujangga melalui cara "mesu brata' sehingga sangat rumit, njilmet,
dan menurut kaca mata mereka dinamakan "adhiluhung". Belum ditemukan
catatan literer kapan Basa Panginyongan sebagai produk budaya masyarakat
Panginyongan muncul.
Ada dugaan bahwa munculnya Budaya Panginyongan
yang membedakan dengan budaya "Nagarigung" (Solo) dimulai sejak
Tragedi Setu Pahing di Balai Malang di wilayah Kedu Purworejo) ketika Adipati Wirasaba
(ayah mertua Joko Kaiman atau Adipati Mrapat) dibunuh oleh pesuruh Sultan
Pajang. Karena kekeliruan itulah menantu Adipati Banyumas dijadikan pengganti
ayah mertuanya diangkat menjadi Adipati. Hal ini disebabkan tak seorangpun anak
Adipati Banyumas yang berani datang ke Pajang memenuhi undangan Sultan. Namun
demikian dari segi linguistik dugaan tersebut menjadi terpatahkan. Kebudayaan
Banyumasan sudah ada jauh sebelum peristiwa "Balaimalang" sejak
manusia mendiami tlatah Banyumas Bahasa Banyumaasan atau Panginyongan menjadi
penanda hal tersebut terutama dari segi fonem dan morfem yang condong memiliki
kemiripan dengan bahasa Jawa Kuna, Sekedar contoh kata "neng kana"
....ngkana (Jawa Kuna) maring dalam bahasa Jawa Kuna (maring) niki, inyong
....(i ngong), rika (Jawa Kuna: rika, i rika). Ucapan bunyi a diakhir kata
seperti rika, ngapa, tidak diucapkan sopo, ngopo tapi tetap. Bunyi a i u e o e
sangat jelas diucapkan. Begitu pula bunyi k dan g di akhir kata tetap kedengaran
dengan jelas seperti ndhog, pitik, jangkrik, wareg. Inilah ciri fonemis yang
sangat dominan dalam bahasa Jawa dialek Banyumas sehingga bahasa tersebut
dikenal bahasa Ngapak atau Panginyongan.
Budaya panginyongan yang menjadi milik bersama tersebut bersifat terbuka. Ambil contoh di bidang seni, seni Ebeg atau Embeg (Kuda Kepang) misalnya sangat terbuka. Penonton bisa jadi ikut menari karena trance (Mendem), Kostum dan riasan sangat sederhana. Pertunjukkan Calung pada saat tertentu mengajak penonoton ikut menari bersama penari.
Dalam wilayah budaya Jawa, budaya
masyarakat tutur Penginyongan menjadi ciri pembeda dengan budaya Keraton
sebagaimana dijelaskan di depan. Budaya Keraton diciptakan oleh pujangga,
tertulis, rumit, sakral dan tertutup. Sebaliknya, produk budaya masyarakat
tutur Penginyongan bersifat anonym, collection, tradisi lisan sopran dan
terbuka. Simpulan ini dapat dilihat pada setiap produk budaya masyarakat tutur
Penginyongan terutama dari jenis seni. Seni wayang gagrag salah satu daerah
bahasa Penginyongan, misalnya Banyumasan bentuknya pendek sunggungan, sederhana
(jarang dan besar-besar, pewarnaanya menggunakan jenis warna yang cenderung
kusam (merah saga).
Hal ini berbeda dengan gaya Solo,
jenis wayang panjang, sungingan rumit, pewarnaanya sangat detail dan beraneka,
cerah sehingga terkesan mewah. Bentuk wayang gaya (gagrag) Solo tidak sama
dengan gagrag Banyumasan. Wayang Werkudara gagrag Solo pakaian (kain celana)
sampai di bawah lutut, sebaliknya Bima gagrab Banyumas lututnya kelihatan.
Bentuk wayang Solo pastlah kurus tinggi, dengan tatahan dan pengecetan
(sungging) yang sangat rumit. Sebaliknya wayang Banyumasan bentuknya pendek dan
gemuk serta disunging dengan sederhana. Meskipun wajah wayang Bima, Gathutkaca,
Antareja berwarna hitam namun diberi kumis bercat merah. Tidaklah aneh sebuah
wayang ukuran kecil gaya Solo harganya pastilah mahal. sebaliknya wayang gaya
Banyumasan pastilah murah. Keadaan ini justru menguntungkan karena gaya
Banyumasan menjadi gampang didapat, kondisi ini saya alami sewaktu masih kecil
sekitar tahun 1970-an.
Pada seni gerak tarian sangat
sederhana dan berulang-ulang sehingga sangat mudah ditiru penonton. Pada corak
batik, jika corak Solo runcing-runcing dan isinya rumit, gaya Banyumasan bercorak
sederhana bulat-bulat isinya sangat jarang. Warna batik Banyumasan sangat khas
dibandingkan warna batik Solo yang beraneka dan terkesan mewah. Pakaian adat
Solo dan Banyumas pastilah berlawanan. Banyumasan menggunakan ikat kepala yang
praktis dan gampang dibongkar berwarna gelap sementara gaya Solo rapi,
terbentuk dan beraneka corak. Senjata masyarakat Jawa Keris yang berbentuk
runcing sementara Banyumasan berbentu bulat disebut "Kudhi". Meskipun
jenis kuliner Banyumasan beraneka namun umumnya rasa didominasi oleh rasa asin
dan pedas berbeda dengan rasa nagarigung yang dominan manis dan bersantan.
Ciri pembeda itulah yang menjadikan
budaya masyarakat tutur Penginyongan termasuk Basa Penginyongan itu sebagai
identitas yang berbeda dengan wilayah bahasa lain di Jawa ini, bahkan di
Indonesia. Inilah ciri pembeda mengapa Bahasa Penginyongan sebagai produk
budaya Penginyongan memiliki sifat yang sangat terbuka dan setara (Egaliter?). Kendati
yang sangat kaya ini justru banyak yang tidak dimengerti bukan saja oleh anak
muda tetapi justru oleh orang tua.
Salah satu cara mengatasi ketidak "pedean",
ketidak mengertian dan kurangnya kesadaran berbahasa Jawa Penginyongan perlu
disusun arah dan strategi yang jelas. Arah kebijkan, misalnya difokuskan kepada
remaja usia sekolah dengan strategi melalui jalur pendidikan formal mulai dari
anak usia dini, sekolah dasar sampai ke jenjang menengah ke atas. Peran
pemerintah dan keluarga sebagai bagian masyarakat menjadi sangat strategis.
Orang tua harus menjadi teladan dan memberikan ruang kosong bagi anak-anaknya
untuk berkembang dengan bahasa ibunya. Strategi berikutnya adalah perlunya
payung hukum dan media.
Untuk payung hukum kita sudah memiliki
Perda, Pergub, dan mungkin Perbup. Tinggal bagaimana mengimplementasikan di
ranah keluarga, sekolah dan masyarakat. Media menjadi kunci berhasil tidaknya
strategi ini. Era global ditandai dengan teknologi informasi yang sangat maju. Barang
siapa menguasai media itulah yang berhasil menguasai segala aspek kehidupan.
Inilah kelemahan kita sehingga budaya kita menjadi terpinggirkan oleh budaya
global. Karena kita tidak atau belum mampu ikut bermain dalam arus pusaran
global. Kita termasuk yang masih beruntung karena sewaktu kecil masih dikepung
oleh lingkungan budaya lokal melalui berbagai media. Oleh karena itu kita
percaya bahwa penggunaan media merupakan kunci lestarinya budaya, termasuk di
dalamnya Bahasa Penginyongan. Namun, setidaknya jika kita memiliki kemauan pasti
kita mampu mempertahankan apa yang kita miliki. Sikap loyalitas bahasa bagi
keluarga Jawa masyarakat tutur bahasa Penginyongan menjadi penting dan kunci ke
arah sikap loyalitas yang positip. Kalau tidak mulai dari sekarang kapan lagi? Saniki Mawon Ngendikan Basa Penginyongan.
Berdasar uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa berbagai faktor yang mempengaruhi merosotnya sikap loyalitas
bagi Masyarakat Tutur Bahasa Penginyongan dapat diatasi melalui arah dan
strategi yang jelas. Arah kebijakan ditujukan kepada penerus yaitu anak usia
sekolah mulai dari PAUD sampai sekolah menengah. Strategi yang paling efektif
melalui jalur pendidikan. Ranah keluarga merupakan kunci suksesnya strategi
tersebut karena orang tua adalah teladan bagi anaknya.
Karangnangka, 18 April 2016
Oleh Mulyono Harsosuwito Putra, Ketua Institut
Studi Pedesaan dan Kawasan.
Diturunkan dan diselaraskan oleh
Mudibyo WHS, S.AP, MM
Catatan:
Makalah di atas adalah materi yang
dikemukakan pada Seminar Bahasa Penginyongan dalam rangka Hari Ulang Tahun Majalah
ANCAS yang ke-6 di Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar