Yoo.. Hindari Perilaku Korup...!!

Senin, 18 April 2016

EKSISTENSI BAHASA PENGINYONGAN

Photo by Kang Mulyono.
Latar Belakang Diadakannya Seminar Bahasa Penginyongan

Berangkat dari keprihatinan menurunya penggunaan Bahasa Jawa khususnya Banyumasan, mendorong diadakannya Seminar Bahasa Penginyongan di Aula LPPM Universitas Jendral Soedirman Karangwangkal Purwokerto. Seminar Bahasa Penginyongan menjadi ajang berkumpulnya berbagai komponen pengguna, pemerhati, pendidikan, budayawan dll. Tumpah ruahnya peserta seminar juga karena dalam rangka Harlah Majalah ANCAS ke-6 kerjasama Yayasan Carablaka dan Puslitbudpar LPPM Unsoed.

Seminar tersebut menampilkan tiga nara sumber masing Prof. Dr. Teguh Supriyanto. M.Hum Guru Besar Sastra UNNES Semarang, Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, Guru Besar UMP Purwokerto dan Drs. Pardi Sratno, M.Hum Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah dengan dipandu pegiat sastra Banyumas Bambang Wadoro, S.Pd bertindak sebagai moderator.

Acara Seminar diawali Sekapur Sirih Budayawan Banyumas sekaligus Pemimpin Redaksi ANCAS mengurai perjalanan media tulis yang didirikan enam tahun silam dengan sederet suka dan duka seiring visi dan misi Majalah ANCAS sebagai media berbahasa Banyumasan yang sudah terbit sebanyak 71 kali, tentu banyak kekurangan seiring merebaknya media online menjadi tantangan agar eksistensi Majalah ANCAS sebagai media cetak tetap lestari dan berjaya.

Keresahan menurunnya penggunaan bahasa daerah khusunya Bahasa Jawa di Jawa Tengah membutuhkan perhatian seluruh komponen masyarakat Jawa Tengah untuk membangkitkan penggunaaan bahasa Jawa dengan menekankan dua solusi; yang pertama kebijakan Pemprov, Pemda, Pemkot dengan menerbitkan Perda, Pergub, Surat Edaran dan sejumlah Peraturan yang ditetapkan oleh lembaga di bawahnya. Kedua keingnan dan kemauan Masyarakat Jawa Tengah tetap menggunakan bahasa-bahasa Jawa setiap hari diseluruh Jawa Tengah baik di rumah, di kebun, di pasar, di setiap pertemuan dan kegiatan lainnya. Menurunya penggunanaan bahasa Jawa dari 15% menjadi 11 % merupakan lampu merah untuk segera melakukan berbagai pendekatan agar bahasa Jawa tidak menjadi asing kelak dikemudian hari bagi generasi muda, begitu kata Drs. Pardi Suratno, Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Prof. Dr. Teguh Supiyanto, M.Hum menyoroti menurunnya penggunaan bahasa Jawa akibat pergaulan saat menuntut ilmu, bekerja merantau di kota-kota besar yang multi etnik bahasa yang menyebabkan generasi muda menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan agar memudahkan dalam berkomunikasi setiap hari. Juga kurang perhatian orang tua menggunakan bahasa Jawa di rumah lebih memilih bahasa Indoensia sebagai bahasa komunikasi setiap hari, bahkan anak-anak sejak kecil kini mulai dikenalkan bahasa Inggris, mereka lebih bangga anak-anaknya pandai berbahasa Inggris ketimbang bahasa daerah. Padahal sama artinya orang tua sedang menjauhkan kesadaran identitas jati diri sebagai pemilik bahasa daerah.

Dialek Banyumasan merupakan satu dialek yang berkembang dalam peradaban Jawa, ia jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa Jawa sehingga tidak bisa dikatakan sebagai bahasa Jawa. Oleh karena dialek Banyumasan merupakan warisan Majapahit sebagaimana dinyatakan dalam Babad-babad Banyumas yang disebut Wirasaba (Witen Sohan) merupakan negara bagian Majapahit yang paling barat yang berbatasan dengan Pasirluhur. Sungai Banjaran di sebelah timur dan Sungai Bodas di sebelah barat merupakan batas antara Wirasaba dan Pasirluhur, demikian sepenggal paparan Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, Guru Besar Sejarah Banyumas UMP Purwokerto.


Menimbang Upaya Pelestarian Bahasa Jawa Di Jawa Tengah

Drs. Pardi Suratno, M.Hum Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah menyampaikan, bahwa beberapa tahun ini dalam setiap kesempatan yang membahas bahasa dan budaya daerah (khususunya di Jawa Tengah ketika membahas kondisi dan pembelajaraan bahasa Jawa) entah itu berupa diskusi, sarasehan, seminar, dialog, maupun lokakarya, selalu diwarnai sikap kecewa terhadap kehidupan bahasa dan budaya yang semakin merosot.

Seolah kondisi itu dibiarkan, ditandai oleh semakin berkurangnya masyarakat yang mampu dan mau menggunakan bahasa daerah, termasuk juga semakin memudarnya masyarakat yang mau dan mampu bersikap sesuai dengan budaya lokalnya, yakni berbahasa Jawa. Melihat kondisi itu, muncul keinginan untuk mengembalikan pemakaian bahasa Jawa seperti pada masa lalu.

Keinginan untuk melestarikan bahasa Jawa harus dilakukan dalam dua hal.
Pertama, sebagai representasi negara yang berkewajiban memelihara budaya bangsa, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengambil langkah yang terencana dan terukur. Dalam kaitan ini, pemerintah provinsi Jawa Tengah telah cukup memadai menerbitkan regulasi atas pelestarian bahasa Jawa yakni melalui Perda, Pergub, Surat Edaran dan sejumlah peraturan yang ditetapkan oleh lembaga di bawahnya. Karena regulasi sudah baik, yang perlu dilakukan adalah tindakan riil atas pelaksanaan regualsi tersebut.
Kedua, adalah keinginan dan kemauan masyarakat Jawa Tengah. Jika keinginan dan kemauan masyarakat dapat menyatu pelaksanaan regulasi akan berhasil dengan baik. Pada saat ini dapat dilihat keinginan pemerintah masih belum bersifat masif atau utuh. Sebagai misal, pelestarian bahasa Jawa yang baik adalah melalui pendidikan sekolah. Dalam hal ini, beberpa titik kelemahan yang tidak dapat diantisipasi dan penanganan dari pemerintah sebagai representasi negara, antara lain adalah pengadaan tenaga pendidik atau guru bahasa Jawa. Pengadaan guru tidak mendapatkan perhatian pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan pengadaan bahan atau media penunjangg belum dipikirkan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Kondisi ini dapat membuat lembaga penyedia tenaga guru kehabisan energi atau berputus asa (kemerosotan animo masuk ke program studi pendidikan bahasa/daerah).

Penanganan pendidikan bahasa Jawa yang kurang memadai menimbulkan sikap ragu-ragu dan pesimistis yang semakin terbuka bagi generasi muda untuk turut melestarkan bahasa Jawa. Dalam konteks ini, kemerosostan minat memasuki pendidikan guru bahasa daerah merupakan dampak dari isu kurikulum 2013 yang menjadi penyebab dunia kelam pengajaran bahasa daerah (bahasa Jawa). Program studi pendidikan bahasa Jawa yang semula dapat diharapkan sebaga jembatan dan peluang memperoleh kesempatan mengajar di sekolah, secara tiba-tiba jatuh ke titik yang sangat memilukan, misalnya terjadi penurunan jumlah mahasiswa yang drastis dan hampir-hampir tiada layak dipertahankan program studi tersebut jika dirasionalisasi antara jumlah dosen dan mahasiswa sebagai ukuran. Hal itu terjadi di prodi pendidikan bahasa Jawa di Universitas Sebelas Maret, Universitas Veteran Bangun Nusantara, Universitas Widya Darma Klaten, Universitas PGRI Semarang, dan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Saya berpendapat sesuai dengan harapan dan keluhan masyarakat atas pelestarian bahasa daerah yang terencana, bersama-sama, terukur dan terevaluasi perlu mendapat penanganan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Para pejabat pemerintah sebagai pengemban dan penjaga amanat moral dalam pelestarian bahasa Jawa, bukan wacana yang hanya bertujuan menghibur atau meredam keresahan masyarakat atas semakin merosotnya pemakaian bahasa Jawa. Satu hal yang perlu dicatat adalah perlunya pemahaman yang serius dari penyelenggara pemerintahan atas dominannya budaya kapitalis. Dalam konteks kapitalis semua tindakan harus diukur dari untung dan rugi secara ekonomi. Tidak pernah ada pihak kapitalis dalam konteks ini pengusaha atau pemilik modal swasta bersedia melakukan tindakan tidak bernilai ekonomi. Pelestarian bahasa dan budaya lokal tidak memberikan keuntungan secara kapitalis.

Oleh sebab itu, tidak boleh pemerintah dan masyarakat mengharapkan atau mengandalkan kehadiran swasta atau pemilik modal dalam pelestarian bahasa dan budaya Jawa. Untuk itu ketika pihak kapitalis tidak mengambil peran dan peluang karena pertimbangan ekonomi, pemerintah harus mengambil bagian utama dalam menangani bahasa dan budaya lokal. Sebagai misal, masyarakat kita sudah tidak memiliki pemahaman kosa kata bahasa Jawa secara memadai. Akibatnya, untuk berbicara dalam bahasa Jawa seseorang tidak memiliki kosa kata bahasa Jawa yang cukup. Sementara itu, bacaan berbahasa Jawa di Jawa tengah hampir-hampir tidak ada sama sekali. Masyarakat tidak mendapatkan bahan untuk belajar menambah dan memperkaya kosa kata bahasa Jawanya.

Dalam kontek ini dbutuhkan adalah kehadiran Majalah berbahasa Jawa, Surat Kabar berbahasa Jawa, bacaan sastra yang berkualitas, dan terbitan berbahasa Jawa lainnya yang dikemas sesuai dengan semangat dan sifat masyarakat Jawa dewasa ini. Saya mengambil contoh, Edaran Gubernur Jawa Tengah untuk sehari berbahasa Jawa bagi pegawai pemerintah pada hari Kamis, pada dasarnya sebagai langkah yang tepat dalam pelestarian budaya lokal. Akan tetapi dalam pelaksanaanya kurang mempertimbangkan kondisi atau kecakapan pegawai pemerintah dalam berbahasa Jawa. Akibatnya, tidak ada evaluasi, penangan dan kebijakan penunjang yang memadai untuk menciptakan pegawai mahir berbahasa Jawa. salah satunya tidak ada bacaan berbahasa Jawa yang dapat digunakan sebagai latihan atau "gladhen" berbahasa Jawa.

Saya meminta pemeritah provinsi dapat menerbitkan majalah berbahasa Jawa dan sejenisnya secara memadai dalam jumlah yang cukup dan didistribusikan kepada masyarakat luas. Jika kondisi penanganan sudah terbangun, tidak mustahil masyarakat akan memberi dukungan yang memadai untuk kebijakan lanjutan, misalnya sehari berbahasa Jawa bagi masyarakat Jawa Tengah, khususnya bagi keluarga dan lembaga swasta di Jawa Tengah. Jika peran pemerintah ini mencapai dampak yang bagus dan berhasil, tidak tertutup kemungkinan pihak pemilik modal dan kalangan swasta akan tertarik untuk menerbitkan majalah atau koran berbahasa Jawa.

Pada gilirannya, masyarakat Jawa Tengah akan merasa percaya diri ketika mampu atau mahir berbahasa Jawa. Kemahiran berbahasa Jawa dipandang bukan sebagai bahasa masyarakat kelas dua, tetapi kemahiran tersebut sebagai gambaran pribadi yang cerdas, berbudaya dan tinggi budi bahasanya. Selanjutnya, tidak tertutup kemungkinan akan membangun budaya masyarakat yang merasa malu ketika tidak mampu berbahasa Jawa secara memadai.

Semua harus menyadari bahwa bahasa Jawa adalah Wadah Budaya Jawa. Oleh karena itu suburnya pemakaian bahasa Jawa akan berdampak pada suburnya masyarakat berpikir dan berperilaku atas dasar nilai-nilai budaya Jawa. Sebaliknya, merosotnya pemakaian bahasa Jawa tanda semakin merosotnya pemahaman dan perilaku masyarakat atas niali-nilai budaya Jawa. Terkait dengan paradigma pemikiran seperti itu, mulai sekarang sebaiknya lembaga pemerintah dan masyarakat (baik individu maupun kelompok) mengambil peran nyata dalam pelestarian budaya Jawa. Bukan waktunya lagi semua pihak hanya turut membangun wacana, terlebih lagi untuk mengeluh, atas kondisi bahasa Jawa yang tidak memadai lagi pada dewasa ini.

Sekecil apapun asal sesuai dengan kemampuan, kekuatan dan kewenangan masing-masing pihak, harus dimanfaatkan untuk turut andil dalam pelestarian bahasa dan budaya Jawa. Saat ini merupakan titik waktu yang sangat menentukan dalam perjalanan bahasa Jawa ke depan. Dewasa ini masyarakat yang memliki kepedulian terhadap budaya lokal rata-rata sudah berada pada usia 55 tahun. Dalam dua dekade ke depan jumlah mereka semakin merosot. Untuk itu, mari kita bekerja bersama-sama untuk mengambil bagian dalam pelestarian bahasa Jawa, kita bekerja secara berjamah dalam penanagan bahasa dan budaya Jawa.

Kita dapat bertemu bersama lintas lembaga untuk berbagi peran dalam penanagan bahasa Jawa. Sebagai misal, Dinas Pendidikan mengambil dan diserahi mandat penanagan di bidang apa. Dinas Kebudayaan mengambil peran dibidang apa. Dewan Kesenian diberi tanggung jawab peran pada penanganan bidang apa, perguruan tinggi mendapat tugas dan peran apa, LSM diberdayakan seperti apa, Balai Bahasa dapat memberi dukungan apa, dan sebagainya. Kita duduk bersama, merencanakan kerja, merencanakan perna dan tanggung jawab masing-masing yang dapat dikontrol bersama dan sejenisnya.

Jika sikap yang utuh dan kesadaran untuk bekerja bersama-sama itu dapat menjadi paradigma semua pihak, kita meyakini secara pasti pemakaian bahasa Jawa akan semakin membaik. Kelemahan kita dewasa ini, kadang-kadang memlih bekerja secara sendiri-sendiri sehingga hasilnya tidak tampak. Hanya kelelahan dan penggunaan dana yang tidak memberi dampak positif, bahkan dapat membuat seseorang atau lembaga frustasi yang akhirnya berputus asa serta menyerah dan mengakui gagal.

Saya matur secara objektif dan dalam bahasa yang sederhana apa anane, ora ndhakik-ndhakik karena merefleksikan kecintaan masyarakat terhadap bahasa dan budaya saking khawatir masyarakat terhadap situasi yang membawa bahasa Jawa semakin merosot, saking ketakutan masyarakat pada saat ini bagaimana kelak jika orang-orang yang memiliki perhatian terhadap bahasa Jawa semakin berkurang.

Maka dari itu, saya menegaskan perlunya:
(1) bekerja secara bersama-sama dan berjamaah serta pembagian peren yang terencana, terukur dan terkontrol (dievaluasi tingkat hambatan dan keberhasilannya.
(2) Pemerintah harus mengabil peran utama dalam penanganan bahasa dan budaya Jawa sebagai tanggung jawab moral, sebagai penjaga nilai-nilai budaya lokal.
(3) Masyarakat harus memberi dukunganriil dalam peran-peran yang dimilikinya.
(4) Saiyek Saeka Praya dari semua pihak yang mengakui bahwa pelestarian bahasa Jawa adalah tanggung jawabnya dalam menciptakan generasi masa kini dan masa depan yang berbudaya tinggi, yakni generasi yang memliliki sikap hidup harmoni (saling menghormati dalam keberagaman), solidaritas tinggi terhadap sesama, tertib sosial, taat hukum, menghargai lingkungan hidup bersih, menghargai perbedaan, intelek atau cerdas, dan tinggi budi bahasa.

Pada intinya, kita berharap lahirnya generasi Jawa yang berjiwa "memangun karyenak tyasing sesama linambaran andhap asor, rila legawa, rukun, berpikir positif, kanggo nggayuh urip mulya lan kanugrahaning Gusti Allah kang Maha Mirah lan Kasih. Kula sampun ngaturaken ide ingkang baku utawa pokok 'mendasar' sarasehan lan nyata riil, salajengipun, kula gadhah pangajab narasumber ing sarasehan punika kersa ngaturaken pamawas ingkang sipatipun praktis. Kajawi punika saenipun Dinas Kebudayaan lan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah saged minangka inisiator saha koordinator kangge mranani langkah-langkah saha aplikasi pelestarian bahasa Jawa. Saeba saenipu menawi Disbudpar Jawa tengah kersa ngadani pertemuan koordinatif kaliyan pemerintah kabupaten/kota ing Jawa tengah kanthi pangajab pelestarian bahasa Jawa kanthi jamaah saged dipun leksanaaken, linambaran sesanti "ana prekara padha dirembug, ana gawe padha disengkuyung bareng".

Lahirnya Perda No.9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra dan Aksara berdampak besar dalam pelestarian bahasa Jawa. Perda itu melahirkan sejumlah kebijakan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam paparan ini saya harus mengatakan bahwa pelaksanaan masih perlu ditingkatkan dengan memahami tujuan yang hendak dicapai dalam pengembangan, perlindungan dan pembinaan bahasa, yakni adanya asas mafaat dan dilakukan secara sistematis, terarah, terencana dan berkelanjutan.

Kita perlu menanyakan apakah manfaat atas pengembangan dan pembinaan bahasa Jawa sudah dirumuskan secara terinci?. Kemudian apakah kegiatan sudah terencana dan terukur? Artinya terukur, terencana dari kegiatan apapun akan mengarahkan pada tujuan kualitatif dan kuantitaif. Padahal tujuan dalam Perda No.9 tahun 2012 ini terumuskan secara baik dan idealis, yakni menggali nilai-nilai budaya dalam bahasa, sastra dan aksara Jawa dan mendayagunakan bahasa, sastra dan aksara Jawa untuk pembangunan karakter dan budi pekerti.

Dilihat dari manfaat pembelajaran atau pemanfaatan bahasa daerah, tidak ada alasan untuk tidak menangani pelestarian dan pembinaan, termasuk pembelajaran bahasa Jawa secara memadai dan bermartabat.

Posisi 'Basa Penginyongan' Dalam Naskah Babad Banyumas Pada Tahap Awal

Menurut Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, bahwa; Dialek Banyumasan sebagai salah satu dialek yang berkembang di dalam peradaban Jawa sesungguhnya berada pada usia yang lebih tua dari pada bahasa Jawa sehingga ia tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari bahasa Jawa. Keberadaaan dialek tersebut merupakan warisan Majapahit. Hal itu dinyatakan dalam naskah-naskah babad bahwa Banyumas yang pada waktu itu disebut Wirasaba (Witen Sohan) merupakan bagian Majapahit paling barat, yang berbatasan dengan Pasirluhur.

Kota Purwokerto (baca:Purwakerta) yang berada di sebelah timur Sungai Banjaran dan di sebelah barat Kali Bodas diduga merupakan daerah batas antara Wirasaba dan Pasirluhur. Toponim Paguwon sebagai desa cikal bakal kota Purwokerto yang dibangun tahun 1932 secara darurat itu berpotensi sebagai kota kedua. Tradisi lisan masyarakat Purwokerto menyatakan bahwa tempat klenteng Hok Tek Bio adalah kediaman penguasa Purwakerta yang berada di sebelah barat Kali Putih, sedangkan Pasar Wage itu dulu alun-alunnya. Purwakerta berasal dari perserikatan empat desa yang terdiri atas Purwakerta Lor, Purwakerta Wetan, Purwakerta Kidul dan Purwakerta Kulon.

Paguwon sering lengket dengan beberapa nama Adipati Wirasaba menurut versi Babad Banyumas tertentu. Sebenarnya, Paguwon itu bukan nama diri seseorang, tetapi nama lain dari Wirasaba. Wirasaba itu nama yang berasal dari Babad Banyumas, sedangkan Paguwon dari Pararaton atau Negerakertagama. Paguwon merupakan bacaan dari Paguhan, yaitu sebuah bagian Majapahit yang dilekatkan kepada seorang Raja Kecil Bhre Paguhan atau Batara I Paguhan, Paguwon atau Paguwan adalah sisa-sisa ingatan masyarakat Banyumas terhadap daerahnya.

Ekstistensi bagian dari Majapahit menjadi kebanggaan masyarakat Banyumas sehingga teks-teks Babad Banyumas selalu menenek-moyangkan Raja Majapahit. Legitimasi tersebut memang umum sebagaimana banyak ditemukan pada teks-teks sejenis di Jawa. Babad Banyumas di situ berkedudukan sebagai tradisi besar yang membawahi tradisi kecil yang masih hidup dalam kelisanan di pedesaan. Tradisi besar tadi diimbangi oleh tradisi besar lain yaitu babad Pasirluhur. Kenyataan menunjukkan bahwa Banyumas adalah serambi kebudayaan Sunda jika dilihat dari Jawa, atau sebaliknya serambi kebudayaan Jawa bila ditatap dari Sunda. Ada kemungkinan bahwa bahasa Jawa Kuna itu berhadapan saling berkomunikasi dengan bahasa Sunda Kuna pada masa-masa akhir Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda atau sebelumnya.

Namun tampaknya, Jawa Kuna lebih dominan di dalam perkembangannya karena kisah Babad Banyumas terkandung dalam karya Pangeran Wangsakerta, Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara (purwa 2, sargah 4). Ada dugaan bahwa pada abad ke-17, di Banyumas terdapat naskah berbahasa Jawa Kuna yang dibawa ke Cirebon pada tahun 1980. Sampai hari ini belum ditemukan teks Babad Banyumas atau Babad Pasir dalam bahasa Sunda Kuna atau Sunda. Pengaruh Sunda yang tampak kuat adalah Kisah Kamandaka atau Lutung Kasarung dalam teks Babad Pasir dan kosa kata bahasa Sunda atau Sunda. Peran orang Sunda terhadap bahasa Jawa Kuna atau dialek Banyumas tergolong kecil karena orang Sunda sendiri selalu kagok berbahasa Jawa meskipun mereka sudah pernah tinggal lama di Jawa. Sanghyang Siksa Kanda ing Karestan sendiri menyatakan hal itu, selain juga sifat orang Sunda yang mempunyai ego yang besar untuk selalu berbahasa Sunda meskipun hanya dua orang saja.

Teks yang dijadikan acuan oleh Pangeran Wangsakerta kelihatannya tidak identik dengan Naskah Kalibening sebagai naskah tertua Babad Banyumasan yang juga berasal dari abad ke-17. Seperti halnya di Majapahit, tampaknya di Banyumas juga hidup bahasa Jawa Kuna di satu sisi, dan berkembang bahasa Jawa Pertengahan di sisi lain. Naskah-naskah lontar di Banyumas, agaknya, hanya menjadi legenda saja karena kisah keberadaanya ditutur orang-orang tua, tetapi belum ditemukan warisan tradisi lontar hingga sekarang. Ada kemungkinan tradisi lontar telah bergeser ke penulisan naskah dengan kulit kayu. Hal itu terbukti dengan penemuan salah satu naskah dari abad ke-17 di Kalibening, Dawuhan, Banyumas. Naskah lain yang juga berbahasa Jawa Pertengahan berisi ajaran Tasawuf Heterodhoks. Bahasa Jawa Pertengahan inilah yang menjadi nenek moyang bahasa dialek Banyumas di dalam perkembangan selanjutnya.

Tradisi keberaksaraan yang pernah ada pada abad ke-17, warisannya sangat terbatas yang masih lolos dari seleksi alam. Keberlanjutan peradaban abad tidak ada sisa-sisa yang berbekas dalam kehidupan sehari-hari, Orang-orang yang melek huruf kiranya juga terbatas karena ada tempat-tempat yang disebut ahli Filologi sebagai skriptorium atau sejenis padepokan-padepokan Jawa Kuna atau Jawa Pertengahan.

Ada jurang yang terpisahkan antara teks abad ke -17 dengan abad ke-19. Ada jeda satu abad, para Penulis dan Penyalin Babad yang karyanya tidak dapat diperoleh karena tidak sampai kepada masa sekarang. Kemungkinan besar adalah tidak adanya karya-karya yang ditulis atau mengalami kemacetan budaya dimana ruh Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan tidak berlanjut sehingga masyarakat Banyumas hanya dapat menikmati naskah Kalibening sebagai satu-satunya saksi sejarah keberadaan bahasa warisan nenek moyang. Diintegrasi budaya ini tidak dapat menjelaskan proses ‘mendialek-Banyumaskan’ dari Jawa Kuna atau Jawa Pertengahan ke arah yang kita kenal sekarang. Tidak heranlah, jika teks mula yang menggunakan dialek Banyumasan itu belum ditemukan, padahal pada awal abad ke-18, posisi Banyumas di Keraton Mataram sedang naik dan memerlukan legitimasi, terutama bagi para Bupati yang memakai Yudanegara, yang dimulai dari tokoh leluhur yang bernama Mertayuda I.

Akibat Mertayuda II (Yudanegara I, tumenggung Seda Masjid) dan Yudanegara II (Tumenggung Seda Pendapa) mendapat hukuman Raja. Mungkin inilah yang menyebabkan kekososngan karya selama satu abad. Kiranya pujangga Banyumas tidak berani menulis Babad Banyumas yang penuh legitimasi. Kisah wangsa Yudanegara baru muncul ketika Yudanegara III menjadi Pepatih dalem Kasultanan Yogyakarta. Di Yogyakarta, berkembang subur penulisan Babad Banyumas versi Danurejan, baik gancaran maupun tembang.

Paling tidak pada tahap awal, bisa dijelaskan bahwa Babad Banyumas dalam bahasa Jawa Kuna telah ditolong dengan kenyataan teks yang terkandung pada karya Wangsakerta dari tahun 1980. Setelah itu, Babad Banyumas yang tertulis pada Naskah Kalibening memberi tanggapan dalam bentuk bahasa yang lebih muda dengan masih membawa sisa-sisa karakter Jawa Pertengahan yang egaliter, yang oleh orang masa sekarang disebut ngoko dari karya Wangsakerta yang berbahasa dari Jawa Kuna. Hal itu didukung oleh huruf yang dipakai juga berasal dari abad ke-17. Selanjutnya, naskah-naskah yang lain lebih banyak mengandung kosa kata yang oleh Pigeaud atau sifatnya sebagai kata-kata yang sulit yang akan dimasukan ke dalam kamus yang akan disusunnya. Pigeaud memberi catatan pada margin kanan setiap halaman terhadap kata-kata tersebut, yang sebenarnya kosa kata dialek Banyumas yang berbaur dengan bahasa Jawa modern dari hasil sistem pendidikan kolonial, setelah Belanda menguasai Banyumas seusai Perang Diponegoro berakhir.

Saniki Mawon Ngendikan Basa Panginyongan

Prof.Dr.Teguh Supriyanto, M.Hum, Guru Besar Sastra Unversitas Negeri Semarang berpendapat; Jika kita melangkah ke tetangga sebelah barat yaitu Jawa Barat, kita sering iri karena begitu masuk Bandung sebagai pusat kota paling besar di Jawa Barat masih banyak ditemukan remaja Bandung berbicara antar mereka dengan bahasa Sunda tanpa harus merasa minder. Kemudian jika kita pergi ke arah timur, tepatnya masuk wilayah Jawa Timur dan tinggal di Surabaya kota terbesar di Jawa timur kita juga masih menemukan mayoritas anak-anak muda mereka berbahasa dialek Jawa Timuran dengan logatnya yang khas. Jangan heran di wilayah ini kita masih menemukan majalah berbahasa Jawa "Jayabaya" dan "Penyebar Semangat" masih bertebaran dan eksis sampai sekarang. Nah bagaimana dengan kota terbesar Jawa tengah? Semarang, misalnya?

Di Semarang, sikap loyalitas keluarga Jawa terhadap bahasa Jawa pernah diteliti setidaknya menunjukkan bahwa keluarga Jawa mengalamai kemerosotan yang signifikan mengenai keluarga Jawa terhadap bahasanya. Dilihat dari usia, generasi penerus usia sekolah mulai dari umur 5-16 tahun hanya 37% di kota kecil dan 14% di kota besar ini terjadi pada tahun penelitian 2004. Sudi Utama dkk mengadakan penelitian ulang pada tahun 2009 menemukan kenyataan yang sangat mengejutkan terutama di Kota Semarang menunjukkan sikap loyalitas pada usia 5-16 hanya 9% ; Kurun lima tahun menunjukkan penurunan yang sangat signifikan.

Selama ini selalu ada dua alasan sebagai faktor pemicu yaitu internal dan eksternal. Faktor internal diyakini karena kurang percaya diri atau "pede". Sementara itu, faktor eksternal yang menjadi "kambing hitam" adalah budaya global. Gejala bahasa semacam ini dapat kita lihat pada kasus bahasa Jawa yang hidup di daerah eks Karesidenan Banyumas dan sekitarnya. Yang dimaksud adalah kasus merosotnya loyalitas keluarga Jawa yang berbahasa Panginyongan istilah basa Panginyongan dikenalkan pada masyarakat terutama dengan munculnya gagasan Konggres Basa Panginyongan untuk membendung istilah "Basa Ngapak". Di luar wilayah eks Karesidenan Banyumas terutama di kota besar "Basa Ngapak" sangat dikenal jika dibandingkan dengan Basa Panginyongan. Bahkan dimedia merasa enak didengar slogan "Ora Ngapak Ora Kepenak".
Sayangnya munculnya istilah Ngapak sangat dipengaruhi aspek politis bahasa bahwa selain bahasa yang dipandang baku (Solo-Jogja) dan bahasa di kota besar seperti Semarang dan sekitarnya bahasa di wilayah eks Karesidenan Banyumas dan wilayah Tegal dipandang "Ndesa" dan tidak "mriyayi". Pandangan ini sebenarnya susah dibuktikan tetapi ditataran praktis penutur bahasa yang dipandang baku memperlihatkan sikap "meremehkan". Trend ini bahkan merambah ke dunia hiburan, bahasa Jawa yang kita sebut Basa Penginyongan justru dimanfaatkan untuk bahan tertawaan.

Pandangan mengenai kurang "pede" ini sangat mungkin namun belum ada penelitian yang memadai mengenai hal ini. Begitu juga pengaruh budaya global merubah dampak kemerosostan sikap loyalitas bahasa juga belum ada penelitian yang memadai. paling banter sinyalemen yang seolah membenarkan adagium tersebut. Budaya global merupakan hal yang tidak dapat kita hindari. Manakala kita membendung dengan menutup diri sebagai bangsa tidaklah mungkin. Mengisolasi diri adalah keniscayaan pada era sekarang ini.

Ada kesan sebagai contoh negara seperti Jepang, China dan Korea tak terkecuali juga dilanda budaya global. Namun apakah mereka tergilas oleh budaya global? ternyata justru mereka mampu ikut bermain dalam pusaran global. Justru budaya mereka sekarang melanda kita menandingi budaya Barat yang terlebih dahulu melanda kita. Bukankah Bandung dan Semarang juga seperti kita mengalami benturan budaya global.? Marilah kita bicarakan kemungkinan berbagai faktor lain, selain tersebut di atas serta strategi supaya bahasa Penginyongan dituturkan, minimal dalam ranah keluarga.

Ada banyak faktor lain yang memungkinkan merosotnya loyalitas anak muda atau masyarakat tutur Basa Panginyongan yang dapat kita diskusikan ini. Bahwa menggunakan bahasa Panginyongan bagi anak muda terutama jika mereka pindah tempat seperti karena tuntutan studi lanjut ke kota besar menjadi kurang enak atau kurang "sreg". Pertama lawan tutur mayoritas bukan berasal dari daerah yang sama. Namun, yang membuat kita heran dan kagum bahwa masyarakat tutur kita sangat gampang adaptif. Artinya sangat gampang menyesuaikan bahasa dan logat dimana mereka tinggal.

Faktor lain yang menyebabkan merosotnya loyalitas keluarga Jawa terhadap bahasa Jawa misalnya bagi orang tua dan anak muda adalah kurangnya kesadaran bahwa bahasa adalah identitas. Wilayah atau Basa pangingonyan merupakan wilayah agraris dan masyarakatnya memiliki mata pencaharian bercocok tanam. Dengan demikian Kebudayaan Penginyongan yang dihasilkan tentulah bercorak agraris. Salah satu ciri agraris yang dominan adalah kebersamaan (guyub) seperti terlihat pada aktivitas mengolah tanah pertanian, membuat rumah, memanen padi, makan bersama, menari bersama. Oleh karena itu tidaklah aneh semua bentuk budaya yang dihasilkannya menjadi milik bersama (collectivity). Hal ini sangat berbeda dengan bahasa keraton yang diciptakan oleh para Pujangga melalui cara "mesu brata' sehingga sangat rumit, njilmet, dan menurut kaca mata mereka dinamakan "adhiluhung". Belum ditemukan catatan literer kapan Basa Panginyongan sebagai produk budaya masyarakat Panginyongan muncul.

Ada dugaan bahwa munculnya Budaya Panginyongan yang membedakan dengan budaya "Nagarigung" (Solo) dimulai sejak Tragedi Setu Pahing di Balai Malang di wilayah Kedu Purworejo) ketika Adipati Wirasaba (ayah mertua Joko Kaiman atau Adipati Mrapat) dibunuh oleh pesuruh Sultan Pajang. Karena kekeliruan itulah menantu Adipati Banyumas dijadikan pengganti ayah mertuanya diangkat menjadi Adipati. Hal ini disebabkan tak seorangpun anak Adipati Banyumas yang berani datang ke Pajang memenuhi undangan Sultan. Namun demikian dari segi linguistik dugaan tersebut menjadi terpatahkan. Kebudayaan Banyumasan sudah ada jauh sebelum peristiwa "Balaimalang" sejak manusia mendiami tlatah Banyumas Bahasa Banyumaasan atau Panginyongan menjadi penanda hal tersebut terutama dari segi fonem dan morfem yang condong memiliki kemiripan dengan bahasa Jawa Kuna, Sekedar contoh kata "neng kana" ....ngkana (Jawa Kuna) maring dalam bahasa Jawa Kuna (maring) niki, inyong ....(i ngong), rika (Jawa Kuna: rika, i rika). Ucapan bunyi a diakhir kata seperti rika, ngapa, tidak diucapkan sopo, ngopo tapi tetap. Bunyi a i u e o e sangat jelas diucapkan. Begitu pula bunyi k dan g di akhir kata tetap kedengaran dengan jelas seperti ndhog, pitik, jangkrik, wareg. Inilah ciri fonemis yang sangat dominan dalam bahasa Jawa dialek Banyumas sehingga bahasa tersebut dikenal bahasa Ngapak atau Panginyongan.

Budaya panginyongan yang menjadi milik bersama tersebut bersifat terbuka. Ambil contoh di bidang seni, seni Ebeg atau Embeg (Kuda Kepang) misalnya sangat terbuka. Penonton bisa jadi ikut menari karena trance (Mendem), Kostum dan riasan sangat sederhana. Pertunjukkan Calung pada saat tertentu mengajak penonoton ikut menari bersama penari.

Dalam wilayah budaya Jawa, budaya masyarakat tutur Penginyongan menjadi ciri pembeda dengan budaya Keraton sebagaimana dijelaskan di depan. Budaya Keraton diciptakan oleh pujangga, tertulis, rumit, sakral dan tertutup. Sebaliknya, produk budaya masyarakat tutur Penginyongan bersifat anonym, collection, tradisi lisan sopran dan terbuka. Simpulan ini dapat dilihat pada setiap produk budaya masyarakat tutur Penginyongan terutama dari jenis seni. Seni wayang gagrag salah satu daerah bahasa Penginyongan, misalnya Banyumasan bentuknya pendek sunggungan, sederhana (jarang dan besar-besar, pewarnaanya menggunakan jenis warna yang cenderung kusam (merah saga).

Hal ini berbeda dengan gaya Solo, jenis wayang panjang, sungingan rumit, pewarnaanya sangat detail dan beraneka, cerah sehingga terkesan mewah. Bentuk wayang gaya (gagrag) Solo tidak sama dengan gagrag Banyumasan. Wayang Werkudara gagrag Solo pakaian (kain celana) sampai di bawah lutut, sebaliknya Bima gagrab Banyumas lututnya kelihatan. Bentuk wayang Solo pastlah kurus tinggi, dengan tatahan dan pengecetan (sungging) yang sangat rumit. Sebaliknya wayang Banyumasan bentuknya pendek dan gemuk serta disunging dengan sederhana. Meskipun wajah wayang Bima, Gathutkaca, Antareja berwarna hitam namun diberi kumis bercat merah. Tidaklah aneh sebuah wayang ukuran kecil gaya Solo harganya pastilah mahal. sebaliknya wayang gaya Banyumasan pastilah murah. Keadaan ini justru menguntungkan karena gaya Banyumasan menjadi gampang didapat, kondisi ini saya alami sewaktu masih kecil sekitar tahun 1970-an.

Pada seni gerak tarian sangat sederhana dan berulang-ulang sehingga sangat mudah ditiru penonton. Pada corak batik, jika corak Solo runcing-runcing dan isinya rumit, gaya Banyumasan bercorak sederhana bulat-bulat isinya sangat jarang. Warna batik Banyumasan sangat khas dibandingkan warna batik Solo yang beraneka dan terkesan mewah. Pakaian adat Solo dan Banyumas pastilah berlawanan. Banyumasan menggunakan ikat kepala yang praktis dan gampang dibongkar berwarna gelap sementara gaya Solo rapi, terbentuk dan beraneka corak. Senjata masyarakat Jawa Keris yang berbentuk runcing sementara Banyumasan berbentu bulat disebut "Kudhi". Meskipun jenis kuliner Banyumasan beraneka namun umumnya rasa didominasi oleh rasa asin dan pedas berbeda dengan rasa nagarigung yang dominan manis dan bersantan.

Ciri pembeda itulah yang menjadikan budaya masyarakat tutur Penginyongan termasuk Basa Penginyongan itu sebagai identitas yang berbeda dengan wilayah bahasa lain di Jawa ini, bahkan di Indonesia. Inilah ciri pembeda mengapa Bahasa Penginyongan sebagai produk budaya Penginyongan memiliki sifat yang sangat terbuka dan setara (Egaliter?). Kendati yang sangat kaya ini justru banyak yang tidak dimengerti bukan saja oleh anak muda tetapi justru oleh orang tua.

Salah satu cara mengatasi ketidak "pedean", ketidak mengertian dan kurangnya kesadaran berbahasa Jawa Penginyongan perlu disusun arah dan strategi yang jelas. Arah kebijkan, misalnya difokuskan kepada remaja usia sekolah dengan strategi melalui jalur pendidikan formal mulai dari anak usia dini, sekolah dasar sampai ke jenjang menengah ke atas. Peran pemerintah dan keluarga sebagai bagian masyarakat menjadi sangat strategis. Orang tua harus menjadi teladan dan memberikan ruang kosong bagi anak-anaknya untuk berkembang dengan bahasa ibunya. Strategi berikutnya adalah perlunya payung hukum dan media.
Untuk payung hukum kita sudah memiliki Perda, Pergub, dan mungkin Perbup. Tinggal bagaimana mengimplementasikan di ranah keluarga, sekolah dan masyarakat. Media menjadi kunci berhasil tidaknya strategi ini. Era global ditandai dengan teknologi informasi yang sangat maju. Barang siapa menguasai media itulah yang berhasil menguasai segala aspek kehidupan. Inilah kelemahan kita sehingga budaya kita menjadi terpinggirkan oleh budaya global. Karena kita tidak atau belum mampu ikut bermain dalam arus pusaran global. Kita termasuk yang masih beruntung karena sewaktu kecil masih dikepung oleh lingkungan budaya lokal melalui berbagai media. Oleh karena itu kita percaya bahwa penggunaan media merupakan kunci lestarinya budaya, termasuk di dalamnya Bahasa Penginyongan. Namun, setidaknya jika kita memiliki kemauan pasti kita mampu mempertahankan apa yang kita miliki. Sikap loyalitas bahasa bagi keluarga Jawa masyarakat tutur bahasa Penginyongan menjadi penting dan kunci ke arah sikap loyalitas yang positip. Kalau tidak mulai dari sekarang kapan lagi? Saniki Mawon Ngendikan Basa Penginyongan.

Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai faktor yang mempengaruhi merosotnya sikap loyalitas bagi Masyarakat Tutur Bahasa Penginyongan dapat diatasi melalui arah dan strategi yang jelas. Arah kebijakan ditujukan kepada penerus yaitu anak usia sekolah mulai dari PAUD sampai sekolah menengah. Strategi yang paling efektif melalui jalur pendidikan. Ranah keluarga merupakan kunci suksesnya strategi tersebut karena orang tua adalah teladan bagi anaknya.

Karangnangka, 18 April 2016
Oleh Mulyono Harsosuwito Putra, Ketua Institut Studi Pedesaan dan Kawasan.
Diturunkan dan diselaraskan oleh Mudibyo WHS, S.AP, MM

Catatan:

Makalah di atas adalah materi yang dikemukakan pada Seminar Bahasa Penginyongan dalam rangka Hari Ulang Tahun Majalah ANCAS yang ke-6 di Purwokerto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar