Jenderal Soedirman |
Soedirman
terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Jenderal dari
Banyumas yang Muhamadiyah namun juga percaya kekuatan supranatural ini
dikabarkan memiliki bermacam kesaktian. Jenderal Soedirman disebut sebagai
penganut aliran kejawen Sumarah. Ia gemar mengoleksi keris. Ia juga percaya
benda pusaka sebagai piyandel yang bisa melindunginya atas ijin Gusti Allah.
Anak bungsu
Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya terpojok di lereng
Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa menyelamatkan pasukannya, atas
ijin Tuhan yang Maha Esa. Padahal ketika itu tentara gerilyawan tak punya celah
meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Soedirman
tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, dan
mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir
dan angin menghantam-hantam. Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan
pengepungan Belanda. Lagi-lagi pasukan Soedirman selamat.
Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk.
Beberapa tahun setelah Soedirman meninggal pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru, Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak mengembalikan cundrik Soedirman yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya. "Cundrik itu kami titipkan di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya," ujar Teguh. "Tapi sekarang hilang."
Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno. Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di rumahnya. "Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat," kata Presiden. "Temuilah segera Panglima Soedirman." Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.
Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia kenalkan kepada Roem sebagai "orang pintar". Rupanya, anak muda yang dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan "memperkuat jiwa" Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas. "Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara," kata Soedirman. "Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya."
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. "Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful," katanya, seperti ditulis Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Lain lagi cerita dari warga desa Bajulan. Desing pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap pada suatu hari di awal Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Timur, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalanan itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke balik pepohonan. Warga Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.
Di rumahnya ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meskipun tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi dari dapur,” kata Jirah, September lalu.
Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil ”Kiaine” atau Pak Kiai itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya. Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk.
Beberapa tahun setelah Soedirman meninggal pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru, Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak mengembalikan cundrik Soedirman yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya. "Cundrik itu kami titipkan di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya," ujar Teguh. "Tapi sekarang hilang."
Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno. Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di rumahnya. "Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat," kata Presiden. "Temuilah segera Panglima Soedirman." Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.
Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia kenalkan kepada Roem sebagai "orang pintar". Rupanya, anak muda yang dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan "memperkuat jiwa" Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas. "Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara," kata Soedirman. "Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya."
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. "Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful," katanya, seperti ditulis Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Lain lagi cerita dari warga desa Bajulan. Desing pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap pada suatu hari di awal Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Timur, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalanan itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke balik pepohonan. Warga Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.
Di rumahnya ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meskipun tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi dari dapur,” kata Jirah, September lalu.
Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil ”Kiaine” atau Pak Kiai itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya. Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu. Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan tentara Belanda.
Dari curi dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu bahwa orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan napas tercekat yang dipanggil Kiaine tersebut adalah Jenderal Soedirman. “Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa ini,” ujarnya.
Waktu itu Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Proklamasi. Jirah ingat, rombongan yang berjumlah 77 orang itu, datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Di rumahnya, Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo, Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah tetangga.
Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki penduduk. “Itu berkat doa-doa pak Dirman,” kata Jirah. Soedirman seolah-olah tahu tiap kali Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid tersebut selalu gagal.
Akan tetapi, cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah pertempuran sengit, menurut santri itu, Jendral Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan meniupkan bubuk merica. Teguh berkomentar, "Gila, ini tak masuk nalar."
Wallohu a’lam bisowab
Diturunkan dari tulisan FB Ferri Mustika, 23 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar