Makam Adipati Mrapat |
Sejak penetapan hari jadi Kabupaten Banyumas pada 1990, hingga
kini tiap menjelang peringatan hari jadi acap muncul polemik. Ihwal silang
pendapat itu menurut Prof. Dr. Drs. Sugeng Priyadi, M.Hum. Ahli Sejarah Banyumas akibat dari keminiman dan ketiadaan sumber atau data sejarah kelahiran daerah tersebut.
Penyelenggaraan seminar pada 14 November 1989, seperti pemaksaan bahwa tanggal
6 April 1582 adalah hari kelahiran daerah itu.
Keputusan itu lahir karena penulis makalah hari jadi tidak menemukan prasasti
penetapan hari lahir daerah itu, dan yang sering dicari adalah prasasti zaman
Hindu dan Buddha. Jadi, penetapan tanggal itu sebagai hari jadi tidak tercantum
dalam data mana pun sejarah Banyumas, bahkan tidak lebih dari hasil perkiraan
yang tidak mendasar.
Bupati Djoko Sudantoko yang menyatakan tidak puas atas hasil ketetapan
tersebut, pada 2 Februari 1995 mengirim surat, membalas usulan penelitian yang
penulis ajukan dengan biaya nol rupiah. Pada intinya ia menugaskan untuk
kembali menulis tentang hari jadi, berdasarkan penelitian yang sama sekali
baru. Sekaligus berjanji menyeminarkan hasil penelitian.
Sebelum kembali mengusulkan penelitian, saya sudah bekerja lebih dari 4 tahun
(1991-1995) sehingga tidak lagi memerlukan dana penelitian. Pada Maret 1995,
penulis menyerahkan hasil penelitian itu kepada pemkab. Setahun lebih tidak
mendapat tanggapan, dan baru pada 12 Maret 1996 melalui surat atas nama bupati,
Sekda Drs Soediman menyatakan bahwa surat penulis mengenai penelitian itu belum
dapat dipertimbangkan.
Keputusan itu mendasarkan pada fakta bahwa keputusan mengenai hari jadi sudah
ditetapkan melalui Perda Nomor 2 Tahun 1990 dan telah diundangkan dalam
Lembaran Daerah Seri D Nomor 4 Kabupaten Banyumas tanggal 28 Mei 1990. Sekda periode berikut, Drs Moetia Harjatmo, pada 17 Desember 1996 mengundang
penulis membahas hasil penelitian hari jadi tiga hari mendatang. Jadi,
peristiwa pada 20 Desember 1990 itu sudah melapangkan jalan menuju tinjauan
ulang. Namun Pemilu 1997 dan kelengseran Djoko Sudantoko dari jabatan bupati
tahun 1998 karena menjadi Wagub Jateng, membuat tinjauan ulang itu tidak
terselesaikan.
Buku Putih
Wacana hari jadi kembali muncul lewat harian terbitan Banyumas melalui tulisan
Sugeng Priyadi. Hasil penelitian dan beberapa artikel kemudian diterbitkan oleh
Kaliwangi Offset Yogyakarta tahun 2001 menjadi buku Tinjauan Ulang Hari
Jadi Kabupaten Banyumas. Selanjutnya, masalah tinjauan ulang hanya dibicarakan
lewat pemberitaan. Mardjoko sebagai Cabup (2008) berjanji meninjau ulang,
tetapi setelah dilantik, ia menyatakan tidak perlu mengutak-atik hari jadi.
Berkait berita di harian ini (SM, 16/3/13), penulis berpendapat bahwa sejarah
Kabupaten Banyumas tidak memerlukan buku putih. Karya penulis pun tidak perlu
disebut buku putih mengingat tidak pernah ada buku hitam. Penyelenggaraan
kegiatan pada 21 Februari 2005 adalah seminar yang dipakarsai Paguyuban Kerabat
Mataram. Hasil seminar menyatakan alternatif hari jadi adalah 27 Ramadan 978 H
atau 22 Februari 1571, mendasarkan berbagai sumber sejarah.
Sulit untuk menerima pendapat bahwa peringatan sejarah hari jadi semata-mata
simbolis, mengingat peristiwa sejarah selalu bersifat faktual. Jika hari
jadi tiap 6 April itu diperingati, tetapi tidak berdasar fakta sejarah maka
kita memperingati hari jadi yang konyol. Lagi pula, peristiwa sejarah tidak
sama dengan peristiwa sastra yang memang sering dibuat dalam bentuk simbol. Simbol
yang dibuat tanpa fakta sejarah akan menjadikan hari jadi seperti
dongeng. Sejarah dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi penting sebagai
refleksi masa depan berdasarkan hari ini supaya hari esok jauh lebih baik.
Pembiaran mengenai hari jadi, tanpa perbaikan, justru menguras energi
masyarakat Banyumas karena mereka selalu mempertanyakan masalah tersebut.
Penulis pun harus berulang-ulang menjawab pertanyaan dari berbagai pihak
seolah-olah masalah kebanyumasan hanyalah seputar hari jadi. (Prof Dr Sugeng
Priyadi MHum, guru besar Ilmu Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah
Purwokerto)
Peringatan Tri
Catur Berdirinya Nagari Banyumas Diisi Dengan Diskusi
Hari jadi ke-444 atau Tricatur Jumenengan Djoko
Kahiman sebagai Adipati Mrapat atau Adipati Warga Utama II diperingati oleh
Pemerhati Sejarah dan Budayawan Banyumasan dengan acara diskusi pada hari Minggu
(22/2/2015).
Inisiator agenda tersebut, Ir. Sunardi, MT.
alias Eyang Nardi mengatakan, acara ini sebagai upaya untuk tidak melupakan
sejarah dan peran pemimpin Banyumas terdahulu. Ia juga mengapresiasi peserta
diskusi lantaran sebagai penyelenggara dirinya tidak membuat surat undangan
resmi melainkan hanya pemberitahuan acara yang di-posting lewat jejaring sosial
Facebook. Eyang Nardi termasuk aktif di dunia jejaring sosial.
"Kebetulan hari ini bertepatan dengan peringatan
tricatur atau 444 tahun pengangkatan Joko Kahiman sebagai Adipati Mrapat. Jadi
tidak ada salahnya kita berkumpul, gendu-gendu rasa sambil nguri-uri sejarah
Banyumas bersama-sama," kata Eyang Nardi.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada hari Minggu
Pahing tanggal 22 Februari 2015, bertempat di Dj@gongan Community Cafe
diselenggarakan peringatan sekedarnya. Hanya dengan informasi melalui jejaring
sosial facebook telah hadir sekitar 50 orang peduli Sejarah Banyumas (terdiri
dari: akademisi, politisi, seniman, pemerhati budaya, mahasiswa dan masyarakat
umum), untuk berdiskusi (gendhu-gendhu rasa) dengan tema: "Peringatan Tri
Catur (444) Warsa Penobatan Adipati Wargautama II".
Profesor Sugeng Priyadi, sejarawan Banyumas dan
Nasirin L Sukarta dari Desa Kalisube, Banyumas sebagai penulis Banyumasan,
didaulat menjadi pembicara diskusi.
Ket: berbaju batik+kacamata Prof Sugeng Priyadi, berbaju hitam Nasirin L.S. |
Keduanya menceritakan beberapa kepingan sejarah hasil
temuan dan penelitian yang pernah dilakukan, terkait sejarah berdirinya Negara
Banyumas, kepemimpinan adipati pertama hingga wafat sampai pembahasan seputar
bahasa Banyumasan.
"Jadi tanggal 22 Februari ini tepat dengan apa
yang disebutkan dalam Naskah Babad Kalibening buatan abad 16-an, Sultan
Hadiwijaya mengangkat Djoko Kahiman sebagai Adipati pada Rabu Pon sore tangga
27 poso (Ramadhan). Setelah dikonversi ke penanggalan masehi, tepat hari ini",
Profesor Sugeng Priyadi MHum, Sejarawan Banyumas, Minggu (22/2).
"Kalau mengacu dari hasil temuan dan penelitian
saya, hari ini memang tepat dengan hari dimana Joko Kahiman diangkat menjadi
Adipati Mrapat pada tahun 1571. Konon hari itulah yang dijadikan tonggak
sejarah berdirinya Banyumas," ujar Prof Sugeng.
Beberapa pertanyaan seputar berapa lama Adipati Mrapat
memerintah juga mengemuka di forum tersebut. Menurut Prof Sugeng, dari beberapa
sumber naskah kuno yang pernah dibaca dan ditelitinya, Adipati Mrapat
memerintah sejak 1571 hingga wafat 1582 atau selama 11 tahun. Prof Sugeng dan
Nasirin juga mengupas sejarah nama Banyumas, bahasa Banyumasan sampai
pembahasan adanya fakta sebaran keturunan wong Banyumas di seluruh dunia. SatelitPost,
Senin Pon, 23 Februari 2015.
22 Februari 1571 - 22 Februari 2015
Prof. Dr. Drs. Sugeng Priyadi, M.Hum. Ahli Sejarah Banyumas menyampaikan bahwa dalam penelitian yang pernah dilakukannya,
ditemukan fakta sejarah bahwa di dalam Naskah Kalibening disebutkan pada
tanggal 27 bulan Puasa tahun 1490 Jimakhir R. Jaka Kaiman atau R. Jaka Kahiman
pergi ke Pajang menghadap Sultan Hadiwijaya untuk diangkat sebagai Adipati
Wirasaba dengan gelar Adipati Wargautama II, menggantikan Adipati Wargautama I
yang telah wafat.
Sesuai perhitungan Prof. Sugeng Priyadi, tanggal 27
bulan Puasa tahun Jawa 1490 Jimakhir bila dikonversi dengan tahun Masehi, maka
jatuh pada tanggal 22 Februari 1571. Dengan demikian, sampai dengan tanggal 22
Februari 2015 maka telah genap 444 tahun penobatan Adipati Wargautama II, yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Adipati Mrapat karena membagi wilayah
Kadipaten Wirasaba menjadi 4 (empat) bagian, yang masing-diserahkan kepada
ketiga saudaranya dan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar