Yoo.. Hindari Perilaku Korup...!!

Sabtu, 23 Juli 2016

BIOGRAFI KI DALANG ‘SENTEL’ NAWAN PATMOMIHARDJO

Ki Nawan Partomihardjo
Ki Nawan Partomihardjo dilahirkan di Desa Karangnangka pada tanggal 11 Maret 1911, putra pertama dari tiga bersaudara pasangan Ki Poerwasemita dan Nyi Sidem. Dua saudaranya bernama Kasem dan adik bungsunya Urip hilang pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Ki Nawan Patmomihardjo berasal dari Desa Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas. Nama kecilnya Nawan, setelah menikah sebagaimana lazimnya tradisi masyarakat Banyumas mendapat nama tambahan Patomihardjo sebagai tanda telah menjadi orang tua.

Ki Nawan Patmomiharjo adalah dalang multi-talenta yang menguasai seni pedalangan, karawitan, dan seni suara sekaligus. Ki Nawan juga sebagai penggerak masyarakat pedesaan yang sangat peduli dengan kondisi sosial kemasyarakatan, dengan cara terjun langsung menjadi garda terdepan penggerak masyarakat desa baik melalui pikiran, tenaga, juga harta bendanya demi kesejahteraan dan menolong sesama warga desanya.

Darah seninya mengalir deras dari ayahandanya Ki Poerwasemita, budayawan yang menguasai seni Ringgit Purwa, yang pada usia senjanya menjadi Dalang Ruwat di berbagai pelosok desa. 

Perjalanan Mendalang 

Sejak pertama kali manggung pada tahun 1932 Ki Nawan Patmomihardjo telah dikenal penggemar wayang kulit karena pesonanya, selalu tampil atraktif, menghibur, dan tak keluar dari pakem.

Mulai mendalang pada usia 21 tahun, sesudah sekian lama nyantrik (berguru) seni pedalangan dan karawitan kepada Ki Lukmadi, dalang kondang dan mumpuni dari Kalimanah, Purbalingga. Murid-murid Ki Lukmadi yang satu angkatan maupun kakak dan adik seperguruan diantaranya: Ki Bongkot, Ki Warjan (Kalimanah), Ki Soejoed (Somagede), dan Ki Niswan (Keniten, Kedungbanteng). Ki Niswan adalah adik seperguruan yang menjalin persaudaraan sangat erat dengan Ki Nawan Patmomihardjo, dimana putranya yang bernama Ki Soegito Poerbotjarito belajar mendalang kepadanya.

Untuk menambah kemampuan ilmu pedalangan, Ki Nawan Patmomihardjo juga berguru kepada Ki Jono, dalang kharismatik yang tinggal di Desa Bangsa Kecamatan Kroya. Ki Jono dikenal masyarakat dengan sebutan ‘Situmang’ dan mendapat gelar ‘Empu Dalang Wayang Kulit Gagrag Banyumasan’.

Dalang Situmang memang piawai; mempunyai kemampuan dalam cara menyanyikan (sulukan), berbicara (antawacana), menceritakan (janturan), teknik sabet, dan sanggit lakon yang dikemudian hari ternyata sangat berpengaruh dalam perjalanan karir Ki Nawan Patmomihardjo, dimana dia menjadi dalang kesayangan masyarakat di wilayah Banyumas Raya, Tegal dan sekitarnya. 

Kreativitas Ki Nawan Patmomihardjo menciptakan tokoh: Sentel, Sarkowi, Santamin, Dhegel, dll patut diacungi jempol. Dengan inovasi tokoh wayang ciptaannya, Ki Nawan mengajak masyarakat, terutama penggemar wayang, untuk berinteraksi dengan situasi sosial yang terjadi di lingkungannya.
Nama-nama tokoh Sentel, Sarkowi, Santamin, Dhegel, dll digali dan diambil dari perilaku kehidupan masyarakat sehari-hari seperti: sikap menyebalkan (me-dhegel-i bhs Banyumasan), Sentimen (Santamin), dan Salah Sangka (Sarkowi). Sedangkan sikap Blakasuta, Ksatria, Lembah Manah, Andhap Asor, digambarkan dengan ‘Sentel’.

Diantara tokoh Sentel, Sarkowi, Santamin, dan Dhegel.., tokoh ‘Sentel’ paling digemari dan tervaforit di hati penggemar setia Ki Nawan karena penampilan ‘Sentel’ selalu membuat gemas dan tingkah lakunya menghibur.
Pada waktu Goro-goro yang biasanya menampilkan Punakawan Semar, Bawor, Gareng dan Petruk; karena juga dikeluarkannya tokoh-tokoh wayang yang diciptakan Ki Nawan ini, maka sajiannya menjadi lebih menarik, mengundang kekaguman, gelak tawa dan tepuk riuh penontonnya.
Wayang Sentel menjadi ‘trade mark’ Ki Nawan Patmomihardjo yang akhirnya melekat menjadi nama panggilan ‘Dalang Sentel’.

Ki Nawan Patmomiharjo dikenal juga sebagai dalang pakem; yang terampil dalam suluk, olah sabetan dan penguasaan panggung, dimana penggermar merasa terhibur dan mendapat pesan-pesan moral disertai humor yang bernilai budi pekerti, pendidikan, sejarah dan budaya tanpa merusak tatanan seni pedalangan. 

Dikelilingi Pangrawit Berkelas Yang Multi-talenta 

Ki Nawan Patmomihardjo didukung oleh Pangrawit (Nayaga=penabuh gamelan) hebat dan berkuaitas (The Dream Team) karena rata-rata mempunyai keahlian menabuh gamelan, perbendaharaan gendhing dan menguasai seni lainnya. Nayaganya berasal dari berbagai Desa, Kecamatan dan Kabupetan yang berbeda beda, diantaranya; Kartomintardjo (Sokaraja, Banyumas,) Gondo (Kaliori, Banyumas), Wardjo (Beji, Kutasari Purbalingga) dan Bewo (Purwokerto).

Kartomintardjo asal Sokaraja, Banyumas misalnya; tak hanya trampil memainkan alat musik gamelan tetapi juga seorang komposer/pencipta lagu 'Gethuk Goreng’ sekitar tahun 1962-1963, sebuah lagu yang sangat populer dan merakyat sampai sekarang. Lagunya sering dinyanyikan sindhen saat goro-goro, juga dinyanyikan oleh Waranggono (sindhen) kondang Waljinah serta diproduksi dalam bentuk pita rekaman.

Begitu pula Gondo (Kaliori, Banyumas) adalah sosok nayaga yang mempunyai keahlian membuat wayang kulit dan membuat tokoh wayang "Sentel" yang menjadi tokoh wayang kulit favorit masyarakat penggemar setia Ki Nawan Patmomihardjo.

Sedangkan Wardjo dari Desa Beji, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga menjadi penabuh kendhang yang sangat terkenal dengan tepakan (pukulan-pukulan tangannya), membuat irama musik rancak-dinamis disaat adegan perang maupun saat goro-goro. Ini telah menambah semarak pertunjukkan wayang kulit oleh Ki dalang Sentel.

Satu lagi nayaga yang dimiliki Ki Nawan Patmomihardjo yang mempunyai keahlian bidang seni lainnya adalah Bewo. Disamping menjadi nayaga ia adalah seorang seniman wayang orang dan kethoprak yang sangat mahir memerankan berbagai tokoh dan lakon dalam setiap pertunjukannya.

Bewo seperti Kartomihardjo berperan ganda menjadi nayaga juga wiraswara, dimana keturunan Bewo (Purwokerto) bernama Sapto Dono dan Indrajit mengikuti jejak kakeknya menjadi nayaga.

Kakak beradik Sapto Dono dan Indrajit menjadi nayaga dalang kondang masa kini yaitu Ki Dalang Enthus Susmono (Tegal), Ki Dalang Kukuh Bayu Aji, (Pageralang, Kemranjen, Banyumas), dan Dalang cucu-cucu Ki Soegino Siswotjarito yaitu Ki Yakut Adib Ganta Nuraidin dan Ki Julung Gandhik Ediasmoro (Notog, Patikraja, Banyumas). 

Puncak Karir 

Pada era keemasan, hampir setiap malam Ki Nawan manggung dari desa ke desa, kecamatan ke kecamatan, dan kabupaten ke kabupaten. Yang nangggap adalah hajatan pribadi, kelompok masyarakat, dan Pemerintahan.

Di Kabupaten Tegal, Ki Nawan Patmomihardjo menjadi dalang langganan Pabrik Gula Pangkah sebagai pengisi acara khas ‘Buka Giling’. Malam wayangan di PG Pangkah biasanya disaksikan oleh Administratur, karyawan dan masyarakat sekitar pabrik. Meski ditanggap setiap tahun, tetap saja penonton berduyun-duyun menyaksikan pagelarannya karena diakui tidak membosankan.

Dalam kurun waktu satu bulan, Ki Nawan Patmomihardjo mendapat job tanggapan 24 kali, bahkan bisa lebih. Walau telah menjadi dalang kondang pada masa penjajahan Belanda, Jepang dan pasca kemerdekaan, tetap saja membutuhkan kerja ekstra-keras karena sarana dan prasarana transportasi seperti sepeda motor dan mobil waktu itu belum sebaik sekarang.

Untuk mencapai tempat hajatan Ki Nawan menggunakan sepeda ‘Hartog’ (sepeda ber-merk yang lumayan harganya) sebagai alat transportasi ke lokasi tanggapan.
Mengayuh sepeda Hartog sudah menjadi keharusan bagi Ki Nawan karena tak ada pilihan lain agar sampai ke tempat tujuan tepat waktu. Berangkat bersama pangrawit dan sindhen, sementara alat musik gamelan meminjam kepada kerabat atau sahabat yang mempunyai perangkat gamelan di sekitar lokasi manggung.

Salah satu prestasi yang pernah ditorehakan Ki Dalang Senthel adalah saat diundang manggung di Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1956 dengan lakon ‘Wisanggeni Lahir’, dimana menjadi tonggak awal mulai berkibarnya Wayang Kulit Gagrag Banyumasan di tingkat nasional.

Puncak penampilan adalah saat manggung di lapangan IKADA Jakarta (sekarang Monas) disiarkan secara live-nasional oleh Stasiun RRI Jakarta. Ki Nawan Patmomihardjo mencatatkan diri sebagai ‘Dalang Pertama dari Banyumas’ yang manggung disiarkan langsung oleh RRI Jakarta. 

Mengorbitkan Nyi Kunes Si Ratu Sindhen 

Beberapa pesinden hasil binaan Ki Dalang Sentel diantaranya; Nyi Kunes (Sokaraja, Banyumas), Nyi Suryati (Blater, Purbalingga), Nyi Murnilah, Nyi Kamiyati (Patikraja, Banyumas), Nyi Murnilah (Keniten, Kedungbanteng, Banyumas), Nyi Sujatmi (Purbalingga), Nyi Maryati (Kutaliman, Kedungbanteng, Banyumas).

Nyi Murnilah adalah putri Ki Dalang Niswan dan adik kandung Ki Dalang Soegito Poerbotjarito dari Desa Keniten, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas yang dikemudian hari dipersunting menjadi istri dalang kondang Somagede bernama Ki Soejoed.

Satu pesindhen yang meroket namanya dan menjadi legenda Sindhen Wayang Kulit Gagrag Banyumasan adalah Nyi Kunes dari Sokaraja. Nama Nyi Kunes sampai hari ini masih tetap disegani karena Nyi Kunes merupakan lambang kejayaan pesindhen yang mempunyai kemampuan olah seni suara yang tiada duanya.
Nyi Kunes dijuluki 'Masterpiece-nya Sindhen" Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, Yogyakarta dan Surakarta sejak dahulu sampai sekarang. Ia mempunya ketrampilan dan keunggulan dalam olah vokal yang sempurna karena suaranya merdu, menguasai secara sempurna setiap lagu dan sehingga sulit mencari kekurangannya.
Nyi Kunes menjadi pilihan dan langganan dalang-dalang kondang legendaris baik dalang Gagrak Banyumasan, Gagrag Yogyakarta maupun Surakarta, seperti: Ki Narto Sabdo (Surakarta), Ki Warjan (Kalimanah, Purbalingga), Ki Soejoed (Somagede, Banyumas), Ki Surono (Banjarnegara), dll. 

Dalang Ruwat yang Mumpuni 

Saat memasuki usia 50 tahun-an Ki Nawan Patmomihardjo berprofesi ganda, yaitu menjadi dalang pada umumnya dan merangkap menjadi Dalang Ruwat. Dalang Ruwat adalah sebuah profesi yang mempersyaratkan kematangan usia, keilmuan dan kedalaman spiritual.
Tak mudah dan tak semua dalang dapat melakukan ruwatan. Berdasarkan tradisi secara turun-temurun, seorang Dalang Ruwat selain turunan seorang dalang, harus mempunyai kepribadian istimewa, luhur budi pekertinya, tinggi laku spiritualnya, telah puluhan tahun berpengalaman mendalang dan menguasai lakon "Murwakala".

Meskipun telah mendalang berpuluh-puluh tahun, seorang dalang belum tentu mampu menjadi Dalang Ruwat, Jam terbang seorang dalang bukan menjadi tolok ukur, begitu pula usia, seorang dalang bukan jaminan dapat menjadi seorang Dalang Ruwat.
Seorang Dalang Ruwat harus mampu menguasai berbagai kidung diantaranya, Kidung Madalagiri, Kidung Puji Bayu, Kidung Kakancingan, Kidung Panengeran, Kidung Ruwat Panggung, Kidung Panulak, Kidung Pangruwat Pamungkas, dll.

Ritual Ruwatan dalam tradisi masyarakat Jawa dibagi menjadi 3 kategori, meliputi:
1.Ruwatan Sukerta (Diri)
2.Ruwatan Lingkungan
3.Ruwatan Wilayah


Dalang Ruwat harus mampu dan mahir memimpin prosesi ritual ruwatan yang meliputi 136 Sukerta. Sukerta adalah jenis-jenis manusia yang telah dijanjikan oleh Sang Batara Guru kepada Batara Kala untuk menjadi makanan atau santapannya, sebagimana tertulis dalam Kitab Pustaka Radja Purwa karangan pujangga pamungkas R. Ng Ronggowarsito (halaman 194).
Ki Nawan Patmomihadjo adalah sosok Dalang Ruwat yang mumpuni, karena memiliki perpaduan ilmu, pengalaman, usia, keunggulan laku spiritual dan tak kalah pentingnya beliau mendapat bimbingan langsung dari ayahnya Ki Poerwasemita, yang juga seorang Dalang Ruwat kondang.

Ritual Ruwatan yang dilakukan selalu berjalan hidmad dan angres (hening). Baik yang diruwat maupun semua yang hadir larut dalam suasana sakral mengikuti prosesi ruwatan yang dipimpin Ki Nawan Patmomihardjo.

Beberapa warga masyarakat, kelompok/organisasi, pemerintahan dan lembaga swasta di wilayah Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Tegal, Cilacap, dll. pernah mengundangnya untuk memimpin Prosesi Ruwat.

Ritual Ruwatan khususnya Ruwatan Sukerta biasanya dilakukan pada siang hari, sedangkan Ruwat Bumi atau Ruwat Wilayah dilakukan pada siang atau malam hari.

Acara ruwatan yang dilaksanakan telah diatur tidak boleh menggangu jadwal manggung Ki Nawan pada malam harinya. Beliau tetap memenuhi undangan manggung sesuai jadwal yang telah ditentukan jauh hari sebelumnya. 

Guru Dalang Wayang Kulit Gagrag Banyumasan 

Ki Nawan adalah salah satu tokoh Pakeliran yang mempunyai andil besar dalam perkembangan sejarah dan kejayaan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan. Berkat jasa pria berbadan gemuk, santun dan berwibawa ini, keberadaan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan mulai diperhitungkan. Ki Nawan juga disegani oleh dalang-dalang senior di jamannya, dalang-dalang seangkatan/seperguruan, murid-muridnya, maupun generasi sesudahnya. Kejayaan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan sejak tahun 1950 sampai sekarang tak dapat dilepaskan dari buah tangan dingin Dalang Sepuh yang Guru Dalang ini. Jadi Madzhab, gaya, pola dan corak Gagrag Banyumasan yang berlaku pada masa kini diantaranya juga berkat sentuhan-sentuhan dan ilmu yang diturunkannya.

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, yang lebih pas disebut ‘Gagrag Pesisiran’, adalah salah satu gaya pedalangan di tanah Jawa yang dikenal dengan istilah ‘Pakeliran Banyumasan’, dimana Pakeliran ini berbeda dengan Pakeliran Keraton seperti Gagrag Yogyakarta dan Gagrag Surakarta. Gagrag Banyumasan dicirikan dengan corak kerakyatan. Tumbuh dan berkembang dari hasil eksplorasi kultur sosial masyarakat Banyumas Raya dengan sikapnya yang jujur, lugas, blakasuta (apa adanya), merakyat, penuh humor, gembira dan suka cita. Ciri tersebut mampu bertahan sampai sekarang karena tidak tergantung pada kekuatan penguasa (Keraton).

Gelar "Guru Dalang Gagrag Banyumasan" disematkan kepadanya oleh karena Ki Nawan Patmomiharjo banyak melahirkan dalang-dalang kondang dan legendaris di wilayah Banyumas Raya seperti: Ki Soegito Poerbotjarito (Keniten, Kedungbanteng), Ki Soegino Siswotjarito (Notog Patikraja), Ki Daulat (Sidaboa, Patikraja), Ki Koesno (Munggangsari, Ajibarang), Ki Soewito (Kalisari, Cilongok), dll. 

Sastrawan Winasis 

Ki Nawan Patmomihardjo tergolong dalang langka pada jamannya, menguasai berbagai macam ilmu. Beliau memiliki dan menguasai ilmu pedalangan, karawitan, olah suara, tembang, suluk, kidung dan pengarang serat/suluk, serta ilmu lain-lainnya.

Beliau mampu membaca kidung selama 7 malam berurut-turut dari berbagai macam kidung yang telah tersusun dalam rangkaian pembacaan kidung sesuai dengan urutan yang telah dibakukan oleh para pujangga sebelumnya yaitu Kitab Kidung Mantrawedha salah satu isinya adalah Kidung ‘Rumeksa Ing Wengi’.

Saat Ki Nawan membaca kidung suasana menjadi hening, semua yang hadir terbawa lantunan kata demi kata, bait demi bait, hanyut menyentuh hati dan rasa pendengarnya. Tak ada satupun hadirin dan pendengar bergerak sejengkal dari tempat duduknya, semua terpaku, tertuju apa yang diucapkannya.

Kidung adalah puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah dalam tiap bait, jumlah suku kata tiap baris dan pola rima akhir sesuai dengan metrum yang membingkainya. Satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari satu metrum.
Tak hanya pandai mendalang, memainkan gamelan, olah vokal/suara dan membaca, Ki Nawan Patmomihardjo mampu menulis ilmu seni pedalangan, seni karawitan, serat/suluk, tembang, dll. yang ditulis tangan dengan teknik penulisan menggunakan kaidah penulisan huruf Jawa yang sangat rapi dan terkumpul dalam satu buku dalam ratusan halaman.

Berdasarkan penuturan putra-putri Ki Nawan Patmomihardjo yang ditemui Kang Mul di rumah kediaman almarhum, tentang Buku atau Kitab karangan yang ditulis ayahandanya, semua putra-putrinya pernah melihat tersimpan dalam sebuah tempat. Namun ternyata di kemudian hari, buku itu tak dapat diketemukan lagi.
Sungguh sangat disayangkan, peninggalan berharga karya Ki Nawan Patmomihardjo puluhan tahun silam telah hilang atau mungkin rusak, oleh karena putra-putri beliau banyak bekerja di luar Kabupaten Banyumas, sehingga karya besar dalang asal desa Karangnangka itu lepas dari penguasaan dan tak dapat diketemukan kembali.

Tidak bisa dibayangkan seandainya buku karya Ki Nawan Patmomihardjo dapat diketemukan, maka akan dapat diketahui naskah-naskah suluk/serat, tembang, ilmu pedalangan, karawitan, dll yang dihasilkan beserta isinya, dimana kelak kemudian hari akan menjadi kepustakaan berharga bagi Budaya Sastra Banyumasan dan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan untuk generasi berikutnya. 

Sosok Pemimpin dan Leadership yang Humanis 

Jagad Pakeliran Wayang Kulit merupakan satu kesatuan utuh tak terpisahkan dari tiga komponen utama pelaku seni yang terdiri dari Dalang, Pangrawit (Nayaga) dan Wiraswara (penggerong=penyanyi pria dan sindhen=penyanyi wanita).

Sedangkan paraga wayang, gamelan, kelir, kostum (pakaian seragam pentas) dan ubo-rampe (perlengkapan) lainnya merupakan sarana untuk menyatukan dan mendukung ketiga komponen utama dalam menentukan kualitas dan suksesnya pagelaran seorang dalang.

Kegemilangan Ki Nawan Patmomihardjo dalam Pakeliran Wayang Kulit Gagrag Banyumas pada masanya juga tak terlepas dari peran penting para Pangrawit (penabuh intstrumen gamelan yang disebut Nayaga), Wiraswara (penyanyi laki-laki) dan Sindhen (sosok perempuan yang bertugas menyanyikan tembang Jawa mulai dari Mijil sampai Maskumambang) untuk mengiringi setiap adegan dalam lakon wayang.

Oleh karena itu Ki Dalang Sentel sangat menghargai peran dan jasa para Nayaga, Wiraswara dan Sindhen. Berkat jasa dan keahlian mereka maka kesuksesannya dapat bertahan selama berpuluh-puluh tahun.

Seorang dalang hebat dan mumpuni sekalipun apabila tak didukung Pangrawit dan Wiraswara yang trampil dan kompak, maka tak akan menghasilkan pagelaran yang bermutu. Jadi kolaborasi antara dalang, nayaga, wiraswara dan sindhen adalah syarat mutlak untuk menghasilkan pagelaran wayang kulit yang berkelas.

Sabet (gerak) wayang yang indah dipandang mata, alunan musik gamelan yang pas nada dan titi-larasnya, serta wiraswara dan pesindhen yang bersuara merdu menambah kharisma suatu pagelaran.

Dalang adalah seorang leader dan pemimpin yang harus mampu mengelola anggotanya dalam segala hal, baik urusan teknis maupun non teknis yang harus dikelola dan diputuskan berdasarkan pendekatan dari hati ke hati, diskusi secara kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong sebagaimana ciri khas kepemimpinan Banyumasan.

Kepemimpinan dan sifat kebapakan yang melekat pada diri Ki Sentel membuat para Nayaga, Wiraswara dan Sindhen menyebut namanya dengan panggilan ‘Ramane’ (Ayah/Bapak), sebagai wujud ungkapan menyedulur (bhs Banyumasan; artinya rasa kekeluargaan. Di masyarakat Banyumasan berarti berperan sebagai Ayah).

Ki Sentel menganggap Nayaga dan Sindhen yang selalu setia menyertainyanya dalam setiap manggung adalah anggota keluarganya tanpa harus dibeda-bedakan asal-usul daerah, keturunan, status sosial, ekonomi dan pendidikannya, karena semua manusia harus dihormati dan diperlakukan sama, setara dan bermartabat. Ki Nawan menyadari dan mahfum tentang hal itu, karena sudah menjadi tugas dan tanggung jawab seorang dalang sebagai pimpinan.

Sikap humanis, yang didasari ketulusan, keluwesan, keteduhan dan sifat kebapakan memancar dari sanubari yang teramat dalam, membuat para Nayaga dan Sindhen tetap setia dan betah mendampingi Ki Sentel dalam setiap manggungnya.

Banyak Nayaga dan Sinden ketika awal menjadi pengiring Ki Dalang Sentel masih belum banyak menguasai ilmu karawitan dan tembang, namun berkat ketekunan, kesabaran dan keuletan Ki Sentel, seiring dengan berjalannya waktu pelan namun pasti para Nayaga dan Sindhen berhasil menjadi Nayaga dan Sindhen yang sukses dan melegenda.

Hubungan kekeluargaan antara Nayaga dan sindhen dengan Ki Nawan Patmomihardjo selalu terjaga. Mereka tetap berkunjung ke rumahnya di Desa Karangnangka, meskipun sudah tidak lagi menjadi Nayaga. Mereka datang untuk melepas kerinduan, meminta nasehat atau bersilaturahmi saat lebaran Idul Fitri. 

Sang Maestro Dalang Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Berpulang 

Sejak terakhir kalinya mangung di acara peringatan ulang tahun sebuah organisasi kepemudaan di rumah putra keduanya Sasmito Desa Karangnangka pada tahun 1984, kesehatan Ki Dalang Sentel berangsur-angsur mulai menurun. Seiring dengan bertambahnya usia yang mulai senja, beliau tak sekuat dulu lagi pergi melanglangbuana bersama nayaga dan sindhennya menyusuri desa, kota dan antar kabupaten.

Namun di usia senjanya meski sudah tak mendalang lagi, Ki Nawan tak begitu saja meninggalkan seni wayang kulit yang telah membesarkan namanya. Beliau tetap aktif memberi saran dan nasehat kepada murid-muridnya yang datang berkunjung ke rumah untuk berdiskusi tentang ilmu pedalangan dan membagi pengalaman selama manggung. Beliau juga masih menjadi rujukan sahabat-sahabat dalang di wilayah Banyumas Raya dan sekitarnya, untuk bertukar pikiran membahas perkembangan pakeliran, memberikan sumbang saran dan gagasan-gagasannya melalui organisasi Pepadi (dulu bernama Ganasidi), maupun perseorangan.

Ki Nawan Patmomihardjo menyadari, di tangan sahabat-sahabatnya dan dalang generasi baru, kelangsungan dan perkembangan kesenian wayang kulit bakal berada. Untuk itulah ia ingin berbagi dan mewariskan seluruh ilmu dan pengalaman yang dimiliki kepada penerusnya. Beliau juga membaca tanda-tanda, bahwa pada masa yang akan datang bakal terjadi perubahan dan dinamika kesenian wayang kulit seiring dengan perkembangan zaman.

Kepada anak-anaknya, Ki Nawan Patmomihardjo juga memperkenalkan seni pedalangan, karawitan dan tembang dengan cara mengajarinya di rumah sejak kecil hingga dewasa, bahkan sesudah berkeluarga. Memang tak ada satupun putra-putrinya yang meneruskan profesi menjadi dalang atau berkecimpung dalam seni wayang kulit, karena semua putra-putrinya memilih menjadi pegawai negeri (PNS), pegawai swasta atau pekerjaan lain, namun harus tetap menguasai ilmu seni wayang kulit walau hanya sebagai hobby bukan menjadi profesi. 

Menjadi dalang kondang pada zaman dahulu tak sehebat dibandingkan dengan dalang pada masa kini, karena dalang pada masa Ki Nawan Patmomihardjo tidak dapat diandalkan secara ekonomi. Profesi dalang pada saat itu lebih bersifat sosial dimana peran kesenian wayang kulit menjadi sarana tuntunan (dakwah) dan tontonan. Sebagai seorang dalang sepuh yang telah malang-melintang menekuni dunia pedalangan sejak manggung pertama kalinya menerma bayaran pada tahun 1932 sampai akhir tahun 70-an, kehidupan keluarga Ki Nawan Patmomihardjo bersama istri dan anak-anaknya boleh dikatakan biasa-biasa saja, bahkan sederhana.

Memasuki usia 77 tahun, pada tahun 1988 Ki Nawan Patmomihardjo menghembuskan nafas di RS DKT Purwokerto, karena sakit yang dideritanya, setelah beberapa hari dirawat oleh tim dokter. Dalang kondang seba bisa yang mengusai berbagai ilmu itu berpulang ke hadapan Sang Maha Pencipta setelah mengabdikan dan mengabadikan diri sepanjang hidupnya untuk kesenian wayang kulit.
Duka menyelimuti seluruh keluarga, sahabat dan penggermar setia Ki Nawan Patmomihardjo. Tangis kehilangan, kesedihan dan duka mengiringi kepergian ‘Sang Maestro’ yang telah berjasa membesarkan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan.

Jenazah Ki Dalang ‘Sentel’ Nawan Patmomihardjo dimakamkan di TPU Desa Karangnangka, diantar oleh keluarga, murid-murid, sahabat-sahabat, nayaga, sindhen, tokoh-tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, masyarakat Desa Karangnangka dan penggemar setianya yang sengaja datang dari berbagai daerah ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Ki Sentel, jasa dan buah karyamu akan tetap dikenang dan menghiasi Jagat Pakeliran Wayang Kulit Gagrag Banyumasan. Selesai.

Karangnangka, 23 Juli 2016

Mulyono Harsosuwito Putra (FB: Kang Mul​)
Ketua Institut Studi Pedesaan dan Kawasan

Sumber:
Wawancara dengan putra-putri Ki Nawan Patmomihardjo: Mas Kuncoro, Mas Sasmito dan Mbakyu Retno Marhaeni​ pada hari Selasa 19 Juli & Jumat 22 Juli 2016 dan Kepustakaan.

Disunting-selaraskan oleh Mudibyo Whs​, S.AP, M.M.
Pembina KSSC Jabodetabek, Pemerhati Budaya Banyumasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar